Mohon tunggu...
Ilmu Sejarah Rombel 2C
Ilmu Sejarah Rombel 2C Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Negeri Semarang

ini merupakan wadah untuk Ilmu Sejarah Rombel 2C dalam mengunggah hasil kajian penelitian

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

"Candi Cangkuang, Jejak Sejarah yang Tersembunyi di Jawa Barat"

6 Mei 2023   11:20 Diperbarui: 6 Mei 2023   11:22 2039
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Candi Cangkuang merupakan situs sejarah yang kurang dikenal di Jawa Barat, dan terdiri atas kompleks candi Hindu yang terletak di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut. Meski belum setenar Candi Borobudur atau Prambanan, Candi Cangkuang memiliki sejuta pesona dan makna sejarah yang patut untuk ditelusuri. 

Dalam artikel ini, kita akan melihat sejarah, keunikan, dan kualitas budaya Candi Cangkuang, yang berdiri sebagai saksi bisu sejarah di Jawa Barat. Mari kita telusuri lebih dalam keindahan dan makna Candi Cangkuang yang masih terpelihara hingga saat ini. Simak kisah lengkapnya di bawah ini.

Candi Cangkuang merupakan situs sejarah di Wilayah Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Jarak menuju Candi Cangkuang sendiri sekitar 19 km jika dimulai dari pusat kota Garut. Pengunjung dapat mengunjungi Candi Cangkuang dengan kendaraan yang memakan waktu sekitar 45 menit. Candi ini merupakan satu-satunya candi yang ada di Kabupaten Garut dan memiliki nilai sejarah yang tinggi karena sudah ada sejak zaman Kerajaan Pajajaran.

Candi Cangkuang terletak di tepi Danau Cangkuang yang dikenal sebagai danau terisolasi karena hanya terhubung dengan sungai kecil yang mengalir ke danau lainnya saat musim hujan tiba. Di sekitar Danau Cangkuang juga terdapat hutan konservasi yang menjaga keberadaan flora dan fauna asli daerah tersebut. Untuk sampai ke situs Candi Cangkuang pengunjung harus menyeberangi sungai dengan menggunakan rakit tradisional yang ditarik oleh tali yang dipegang oleh pengelola situs atau penduduk setempat. Perjalanan ini memakan waktu sekitar 15-20 menit, bergantung pada arus sungai yang cukup deras di beberapa bagian. Meski terlihat sepele, pengalaman menyeberangi sungai dengan menggunakan rakit menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung yang ingin mengunjungi Candi Cangkuang. 

Setelah menyeberangi sungai, pengunjung akan sampai di sebuah desa kecil yang terletak di lereng gunung yang merupakan komplek Candi Cangkuang.

Candi Cangkuang berdiri pada sebuah lahan persegi empat yang berukuran 4,7 x 4,7 meter, dengan tinggi 30 cm dan terbuat dari batu andesit serta batu bata merah. Candi ini dibangun oleh umat Hindu yang tinggal di daerah tersebut pada abad ke-8 Masehi. Candi Cangkuang dianggap sebagai salah satu situs religi Hindu tertua di Indonesia.

Sejarawan telah mengemukakan beberapa teori tentang tujuan pembangunan Candi Cangkuang. Berikut beberapa di antaranya:

  • Tempat Ibadah dan Pemujaan

Sejarawan telah mengemukakan beberapa teori tentang tujuan pembangunan Candi Cangkuang. Salah satu teori yang paling populer adalah bahwa Candi Cangkuang dibangun sebagai tempat ibadah dan tempat pemujaan. Hal ini didukung dengan bentuk arsitektur candi yang mengikuti gaya arsitektur Hindu pada masa itu, dan candi tersebut memiliki pelinggih atau tempat pemujaan.

  • Tempat Persinggahan Pedagang

Selain teori sebagai tempat ibadah, ada juga teori yang menghubungkan Candi Cangkuang dengan perdagangan di masa lampau. Sebagai candi tepi danau, Candi Cangkuang berfungsi sebagai tempat persinggahan sementara bagi para pedagang yang melewati daerah Garut pada saat itu. Teori ini didukung oleh artefak yang ditemukan di sekitar candi, seperti pecahan tembikar dan koin yang berasal dari masa Kerajaan Sunda.

  • Benteng Pertahanan

Klaim bahwa Candi Cangkuang dibangun sebagai benteng pertahanan juga cukup menarik untuk dibahas. Sejarah menceritakan bahwa dahulu daerah Garut sering diserang oleh musuh dari luar. Daerah ini terkenal dengan kekayaan alamnya seperti hasil pertanian, perkebunan teh, dan lain sebagainya yang menarik perhatian musuh untuk menaklukan daerah tersebut. Dalam kondisi seperti ini, bangunan dengan fungsi pertahanan menjadi sangat penting untuk melindungi manusia dan harta benda dari serangan musuh. Terletak di tengah hutan dan dikelilingi danau, menurut para sejarawan Candi Cangkuang merupakan benteng pertahanan yang sulit diakses dan strategis.

Namun, teori ini memiliki beberapa kelemahan. Pertama, bangunan candi biasanya tidak memiliki pertahanan yang memadai untuk melindungi dari serangan musuh. Kedua, tidak ada catatan tentang Candi Cangkuang sebagai benteng di masa lalu dalam sumber sejarah yang ada.

Tujuan dibangunnya Candi Cangkuang masih menjadi misteri hingga saat ini. Namun, keberadaan candi ini menjadi bukti sejarah yang penting dari zaman Hindu di Indonesia. Oleh karena itu, perlu adanya upaya pelestarian dan pemeliharaan terhadap Candi Cangkuang agar dapat terus dinikmati oleh generasi selanjutnya dan harus dilestarikan.

Fungsi, Toleransi dan Penetapan Sebagai Cagar Budaya 

Di dalam candi terdapat arca Hindu Siwa. Ini adalah candi pertama yang dipugar untuk mengisi celah sejarah antara Pajajaran dan Purnawarman. Berdasarkan  tingkat pelapukan batu dan kesederhanaan bentuk untaiannya, para ahli menduga bahwa Candi Cangkuang dibangun pada abad ke-8.

Selain pura, juga terdapat makam Muslim Embah Dalem Arief Muhammad, leluhur  warga desa Cangkuang. Tidak hanya itu, kawasan ini juga memiliki cagar budaya berupa kampung adat Kampung Pulo. Jadi Anda bisa langsung mengunjungi tiga lokasi sekaligus dalam satu kali kunjungan ke kawasan Cangkuang. Selain itu, situs sejarah tersebut memiliki latar belakang yang berbeda sehingga menjadi simbol toleransi di wilayah Garut.  Toleransi yang kuat juga tercermin dari  aturan adat yang tetap digunakan bahkan setelah sebagian besar orang memeluk agama Islam. Hal ini dibuktikan dengan adanya tradisi, dimana setiap hari Rabu merupakan hari besar bagi masyarakat setempat. Ziarah ke makam Arief Muhammad juga dilarang pada hari Rabu. Pada hari Rabu  hanya  kegiatan keagamaan yang dilakukan.

Cagar budaya merupakan nilai budaya suatu bangsa yang sangat penting untuk dilestarikan dan dilindungi, karena cagar budaya merupakan kekayaan bangsa dan warisan leluhur. keindahannya dijaga dan dilestarikan untuk menyadarkan hidup manusia dan patriotik konsep cagar budaya yang diatur dalam  ketentuan umum Pasal 1 ayat 1 Bab I. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Republik Indonesia tentang Pelestarian Budaya, yaitu Cagar budaya adalah benda budaya  berupa bangunan. Kawasan perlindungan cagar budaya, sarana cagar budaya, benda cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan/atau di dalam air yang keberadaannya harus dilestarikan  karena  nilai historisnya yang signifikan, melalui proses pengambilan keputusan melalui ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan/atau kebudayaan.

Oleh karena itu, situs Candi Cangkuang harus dilindungi secara hukum karena memang demikian adanya ratusan tahun. Oleh karena itu, sesuai Monumenten Ordinantie (MO)  9131  staatblad 238, terutama di bagian 1, yang mengatakan bahwa setiap benda bergerak atau tidak bergerak. Benda yang perlu dilindungi adalah benda bergerak yang berumur minimal 50 tahun  hukum sebagai benda cagar budaya.  Candi Cangkuang yang diperkirakan dibangun pada abad ke-8 Masehi ini berbeda dengan candi pada umumnya.

Candi Jawa Timur dan Jawa Tengah, baik dari segi bahan maupun modelnya bangunan dan dekorasi. Candi Cangkuang tidak memiliki relief atau hiasan sedikitpun gambar yang digunakan untuk cerita, seperti bangunan candi Borobudur atau bulan sangkala/perdates seperti mihrab Masjid Agung Demak, sehingga candi Cangkuang sudah sangat tua sederhana dalam bentuk. Situs Cangkuang juga memiliki daya tarik tersendiri karena benda-benda yang ada di sekitar candi  dapat dinikmati sebagai tempat wisata sejarah yang menarik seperti pemukiman adat Kampung Pulo yang berada di selatan Candi Cangkuang. Kampung Pulo sendiri merupakan  bagian dari cagar budaya  Desa Cangkuang yang masih satu kompleks dengan candi.

Kampung Pulo juga memiliki sejarah yang sangat menarik di mana desa ini merupakan tempat penyebaran agama Islam pertama kali di desa Cangkuang bahkan ada yang mengatakan bahwa penyebaran Islam pertama kali di Garut. Penyebaran Islam di sini dilakukan oleh seorang tokoh bernama Arif Muhammad atau biasa dikenal dengan Embah Dalem Arif Muhammad yang juga ikut berpartisipasi membangun peradaban di wilayah tersebut. 

Penduduk asli Kampung Pulo bersifat turun-temurun asli darinya. Tokoh Arif Muhammad sendiri adalah panglima perang pribumi Kerajaan Mataram. Selama menjabat sebagai panglima, ia diberhentikan oleh Sultan Agung berperang melawan VOC di Batavia. Namun dalam pertempuran ini dia dikalahkan  VOC dan pergi ke daerah Garut. Dia menetap di desa Cangkaung di Garut  dan memutuskan untuk menyebarkan ajaran Islam di sana. 

Sekarang menjadi makam Embah Dalem Arif Muhammad Kampung Pulo, dekat  Candi Cangkuang, adalah sebuah desa kecil yang terdiri dari enam  rumah dan  enam anggota keluarga. Di Kamapung Pulo sudah menjadi aturan umum bahwa jumlah rumah dan kepala keluarga  harus enam orang dalam penataan rumah, tiga rumah di  kiri dan tiga seberang rumah di sebelah kanan  juga ada satu bangunan di Kampung Pulo masjid sebagai tempat ibadah bagi warga Kampung Pulo. Karenanya rumah baris kedua tidak boleh ditambah atau dikurangi. 

Jika  anak itu sudah dewasa dan menikah, selambat-lambatnya dua minggu setelah pernikahan, seseorang harus meninggalkan rumah asalnya, keluar dari enam lingkungan  rumah adat  dan kembali ke asalnya jika tersedia keluarga meninggal  dengan syarat harus anak perempuan dan ditentukan oleh pilihan keluarga lokal.

Spot di Cangkuang

Di sana pengunjung tidak hanya mengetahui tentang sejarahnya, tetapi juga dapat mengumpulkan kenangan menarik dengan mengabadikan foto seperti yang telah didokumentasikan rombel 2C Ilmu Sejarah Universitas Negeri Semarang yang melakukan kajian peninggalan sejarah di kawasan tersebut. Adapun dokumentasi ini layak diposting karena spotnya yang instagramable.

Spot pertamanya tentu saja rakit bambu yang digunakan sebagai transportasi untuk menyebrang menuju lokasi utama, mengingat situs Cangkuang sendiri berada di sebuah pulau. Menaiki rakit diperlukan biaya seharga Rp 5.000,- untuk dewasa dan Rp 3.000,- untuk anak-anak. Namun apabila datang dengan rombongan diperbolehkan menyewa rakit dengan kapasitas maksimal 20 orang seharga Rp 100.000,-. Ini berlaku dalam perjalanan bolak-balik. Keuntungannya yaitu tidak ada pembatasan waktu karena pengayuh rakit akan menunggu penyewanya kembali menuju ke lokasi awal, loket tiket. Selama menyebrang pengunjung bisa berfoto dengan latar bukit lokasi Candi Cangkuang serta pemandangan Gunung Kaledong.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi

Sebelum ke situs candi, pengunjung akan menjumpai rumah adat yang telah dijaga keasliannya oleh keturunan asli penyebar agama Islam, Embah Dalem Arif Muhammad sejak abad ke-17 berupa rumah panggung berjumlah enam dengan mushola yang dikenal dengan kawasan Kampung Pulo. Tempat ini berdasarkan sejarahnya merupakan kepunyaan anak perempuan Embah Dalem Arif Muhammad dan mushola milik anak laki-laki satu-satunya dari beliau.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi

Selanjutnya beralih pada spot utama dalam kajian ini yaitu Candi Cangkuang. Peninggalan Hindu dari abad ke-8 berfungsi sebagai tempat beribadah sekaligus peristirahatan pada zamannya. Hanya ada satu candi dengan ukuran 4,5 x 4 meter persegi dan tinggi 8,5 meter yang terdapat arca Dewa Siwa di dalamnya. Meskipun di depan candi diperbolehkan foto ataupun duduk di anak tangganya, untuk menjaga kebersihan pengunjung diharuskan melepas alas kaki.

Upaya Pemeliharaan

Candi Cangkuang telah menjadi situs cagar budaya yang dijaga ketat oleh pemerintah dan masyarakat setempat. Candi Cangkuang, kompleks candi Hindu berusia ratusan tahun, memiliki ciri sejarah, arsitektur, dan budaya yang tak ternilai harganya. Pemerintah Jawa Barat dan pihak terkait telah melakukan berbagai upaya pemeliharaan untuk memastikan kelangsungan jangka panjang Candi Cangkuang sebagai situs cagar budaya. Upaya pemeliharaan ini mencakup berbagai komponen, antara lain konservasi dan restorasi, pemantauan dan pengelolaan lingkungan hidup, penelitian dan pengajaran, serta kerjasama dengan pihak lain.

Untuk menjamin kelestarian dan keberlangsungan kekayaan budaya ini bagi generasi mendatang, upaya pelestarian Candi Cangkuang dilakukan secara lestari. Pemerintah, lembaga terkait, dan masyarakat setempat telah melakukan berbagai inisiatif pemeliharaan dan konservasi. Berikut beberapa contoh upaya pemeliharaan yang dilakukan untuk melestarikan Candi Cangkuang sebagai situs cagar budaya.

Restorasi dan Konservasi Arsitektur

Pelestarian dan pemugaran arsitektur merupakan aspek penting dalam pemeliharaan Candi Cangkuang. Hal ini dilakukan untuk menjaga keutuhan fisik candi dan menjaganya dari kerusakan akibat erosi, cuaca, dan unsur alam lainnya. Pemerintah dan organisasi lain telah melakukan banyak penelitian dan studi arkeologi untuk menentukan tingkat kehancuran candi dan mempersiapkan kegiatan pemugaran yang tepat.

Pemugaran arsitektur Candi Cangkuang dilakukan sesuai dengan prinsip konservasi, seperti menggunakan bahan yang mirip dengan aslinya, mengikuti teknik dan metode tradisional yang digunakan selama pembangunan candi, dan memperhatikan prinsip reversibilitas, yang memungkinkan candi untuk dikembalikan ke kondisi aslinya jika diperlukan di kemudian hari. Upaya pemeliharaan ini melibatkan tim arkeolog, arsitek, dan ahli konstruksi yang bekerja dengan cermat untuk menjamin pemugaran dilakukan dengan benar dengan tetap menghormati kepentingan dan keaslian sejarah Candi Cangkuang.

 Pengelolaan Lingkungan dan Lansekap

Sebagai bagian dari pemeliharaan berkelanjutan, perlu dilakukan pengelolaan kawasan dan lingkungan Candi Cangkuang. Vegetasi di daerah tersebut dijaga dan dipelihara dalam kondisi yang baik untuk mengurangi erosi dan dampak antropogenik. Pohon-pohon besar yang berdekatan dengan candi dipelihara dan dipangkas secara berkala untuk menghindari kemungkinan kerusakan fisik bangunan candi akibat pohon tumbang atau puing-puing.

Lingkungan sekitar Candi Cangkuang harus dikelola sebagai bagian dari upaya pemeliharaan yang berkelanjutan. Untuk mengurangi erosi dan kerusakan antropogenik, vegetasi di sekitarnya dilindungi dan dijaga dalam kondisi baik. Untuk mengurangi kemungkinan kerusakan fisik bangunan candi akibat pohon tumbang atau puing-puing, pohon-pohon besar yang dekat dengan candi dipelihara dan dipangkas secara berkala.

Pendidikan dan Penelitian

Penelitian dan pengajaran juga merupakan bagian dari kegiatan pelestarian Candi Cangkuang untuk mempromosikan pengetahuan tentang sejarah, arsitektur, dan budaya situs. Tim ahli arkeologi dan sejarah berkolaborasi untuk melakukan penelitian, mengumpulkan data, dan membuat publikasi ilmiah yang berfungsi sebagai sumber informasi tentang Candi Cangkuang. Untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya melestarikan Candi Cangkuang dan untuk menginformasikan kepada masyarakat tentang nilai-nilai budaya yang terkait dengan monumen ini, program pendidikan bagi warga dan pengunjung juga dilaksanakan.

Bekerja sama dengan pihak terkait

Kolaborasi dengan pihak-pihak terkait, termasuk pemerintah daerah, masyarakat setempat, dan lembaga swadaya masyarakat, merupakan aspek lain dari pemeliharaan Candi Cangkuang. Ada banyak bagian berbeda dari kolaborasi ini, termasuk perencanaan pengelolaan, pemantauan, dan penggalangan dana untuk mendukung kegiatan pemeliharaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun