Mohon tunggu...
Shafiya Azizah
Shafiya Azizah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Undergraduate Law Student at University of Indonesia

Ever since I was a little kid, I've always loved seeing people giving love and take care of animals. This led me into having a deep interest on animal and environmental issues. Issues about endangered animals have been taking my attention for the past years. With that concern of mine, I plan to learn more about Environmental Law.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menelaah Peran Psikiatri Forensik di Pengadilan

21 November 2021   16:21 Diperbarui: 21 November 2021   16:25 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tiada Pidana Tanpa Kesalahan

Istilah "tiada pidana tanpa kesalahan" atau geen straf zonder schuld acap kali terdengar dalam hukum pidana sebagai prinsip umum hukum pidana. Berawal dari putusan Mahkamah Agung (Hoge Raad) Belanda pada 14 Februari 1916 yang secara tegas membenarkan dan menganut semboyan "tiada hukuman pidana tanpa kesalahan". Kemudian di tahun 1957, Mahkamah Agung Indonesia dalam putusannya yang termuat pada majalah Hukum tahun 1957 No. 7-8 menganggap bahwa prinsip tiada pidana tanpa kesalahan telah sesuai dengan rasa keadilan di Indonesia. 

Penerapan prinsip tersebut di Indonesia tidak semata-mata hanya karena apa yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), melainkan karena bilamana hal tersebut tidak diberlakukan di Indonesia, akan ada kemungkinan seseorang dijatuhi hukuman pidana sekalipun tidak terdapat kesalahan dari pelaku (Prodjodikoro, 2014). Hal yang demikian inilah justru bertentangan dengan hak asasi manusia sebab menjatuhi suatu hukuman pidana pada seseorang.

Seorang pakar hukum, Simons, menempatkan kesalahan sebagai salah satu unsur dari tindak pidana (Kanter, 2018). Sedangkan menurut Roeslan Saleh dan Moeljatno berpendapat bahwa kesalahan merupakan unsur dari pertanggungjawaban pidana.  

Untuk menentukan ada atau tidaknya kesalahan pada pelaku, menurut Simons, setidaknya terdapat beberapa hal yang harus dicapai terlebih dahulu antara lain adalah kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid), hubungan kejiwaan (psychologische betrekking) antara pelaku, kelakuannya serta akibat yang ditimbulkan, dan unsur kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa).

Terkait unsur kemampuan bertanggung jawab, hanya seseorang yang mampu bertanggung jawablah yang dapat dimintakan pertanggungjawaban. Sehingga pada umumnya seseorang dikatakan mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid) apabila keadaan jiwanya tidak terganggu oleh penyakit terus menerus, tidak cacat dalam pertumbuhan, dan tidak terganggu jiwanya karena suatu hal seperti terkejut, amarah yang meluap, berada dalam pengaruh alam bawah sadar, mengigau karena demam, dan lain sebagainya. Sementara untuk kemampuan jiwanya, seseorang dapat menginsafi hakikat dari tindakannya, dapat menentukan kehendaknya sendiri, serta dapat mengetahui akibat dari tindakannya tersebut (Kanter, 2018).

KUHP telah mengatur mengenai kemampuan bertanggung jawab seseorang. Pada Pasal 44 ayat (1) KUHP terjemahan Moeljatno yang berbunyi, "Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana." 

Pasal ini menunjukkan adanya suatu sebab yang membuat seseorang tidak dapat dipidana karena jiwanya yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Mengapa demikian? Memang pada dasarnya untuk menjatuhkan hukuman pidana pada seseorang, si pelaku haruslah terbukti bersalah. Akan tetapi, dalam keadaan tertentu, yang terbukti bersalah pun tidak wajib dihukum.

Seperti halnya yang dimaksud dalam Pasal 44 ayat 1 KUHP, terdapat alasan penghapus pidana dengan memaafkan si pelaku (fait d'excuse) bilamana si pelaku merupakan orang dengan gangguan kejiwaan (Prodjodikoro, 2014). Yang dimaksud dengan gebrekkige ontwikkeling disini berarti kekuatan atau daya jiwanya yang sudah cacat sejak lahir. 

Sementara pada ziekelijke storing, terdapat gangguan kejiwaan pada diri seseorang seperti gila, epilepsi, melancholie, dan berbagai penyakit kejiwaan lainnya (Soesilo, 2018).  Beranjak dari penjelasan singkat tersebut, timbul suatu pertanyaan, siapakah yang berhak menentukan bahwa seorang pelaku tindak pidana merupakan orang yang mengalami gangguan kejiwaan atau tidak sehingga karenanya tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban?

Sekilas mengenai Psikiatri Forensik

Dunia kesehatan tidak lagi mengenal istilah penyakit jiwa (mental disease atau mental ilness). Pedoman Praktis Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ-III) menggunakan istilah gangguan jiwa atau gangguan mental (mental disorder) pada orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan pada dirinya. Berabad-abad yang lalu, penegakan hukum pidana pada orang dengan gangguan kejiwaan sudah dirasa tidak adil. Meskipun terdapat pemikiran yang samar mengenai pemidanaan orang dengan kejiwaan tidak dapat dipersalahkan. 

Akan tetapi dalam praktiknya, hingga abad XVIII hakim tidak pernah meminta pendapat dokter dalam mengadili terdakwa dengan indikasi gangguan kejiwaan (Pariaman, 1983). Sehingga dalam memutus suatu perkara terhadap orang dengan gangguan kejiwaan, terdakwa diasingkan dari masyarakat guna menjaga masyarakat dari perbuatan rusak. hakim hanya mendengar nasihat-nasihat dari para ahli hukum, bukan dari dokter.

Di tahun 1748, sebuah gebrakan datang dari guru besar fakultas kedokteran di Leipzig, Johannes Zacharia Platner, mengemukakan bahwa gangguan jiwa adalah keadaan sakit sehingga dokterlah yang seharusnya menilai dan menentukan apakah seseorang mengalami gangguan kejiwaan atau tidak. Hal serupa rupanya terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1954 ketika ditetapkannya putusan pengadilan yang mengatakan, "a defendant was not criminally responsible if his unlawful act was the product of mental disease or mental health," (Durham, 1982). 

Memang pada awalnya tidak sedikit pengadilan yang menolak, namun putusan ini telah memberi jalan bagi ahli psikiatri dalam persidangan (Lesse, 1982). Beranjak dari hal inilah kemudian dimungkinkan seseorang tidak dijatuhi hukuman pidana karena ketidakmampuannya dalam bertanggung jawab.

Orang yang berhak menentukan seseorang mengalami gangguan kejiwaan atau tidak

Perlu kita ketahui bahwa untuk membuktikan seseorang terganggu jiwanya atau tidak, seorang hakim perlu mempertimbangkan keterangan dari seorang ahli sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang (UU) No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 

Pasal 184 KUHAP menyebutkan bahwa alat bukti yang sah ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Keterangan ahli yang dimaksud ialah sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 1 angka (28) KUHAP, "Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan." 

Oleh karena itu, keterangan ahli yang akan penulis bahas adalah keterangan dari para ahli bagian Ilmu Kedokteran Jiwa (Psikiatri) yang digunakan untuk keperluan pengadilan yakni Ilmu Kedokteran Jiwa Kehakiman (Psikiatri Forensik). Perlu diingat bahwa Kedokteran Kehakiman merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran untuk membantu proses di peradilan (Ameln, 1991).

Psikiatri forensik tidak hanya menyangkut apa yang diatur dalam undang-undang saja, tetapi juga sosiologi, psikologi, pekerjaan sosial, dan ilmu pengetahuan mengenai tingkah laku manusia yang lain. Ketika dihadapkan di persidangan, seorang psikiater forensik akan memberikan kesaksian tentang pelaku atau terdakwa. 

Secara tidak langsung, berdasarkan Pasal 224 KUHAP, kehadiran seorang ahli ialah wajib bilamana telah dipanggil sebelumnya melalui surat yang dikirimkan bahwa ia akan menjadi salah satu saksi atau ahli di persidangan. Tugas psikiater forensik adalah memeriksa keadaan jiwa dari si terdakwa sewaktu ia melakukan perbuatannya (ten tijde van de daad). 

Pemeriksaan yang dilakukan oleh seorang psikiater forensik kemudian ditulis dalam sebuah laporan berisi keterangan-keterangan yang dinamakan dengan Visum et repertum. Visum et Repertum menurut H.F. Roll adalah suatu laporan tertulis yang dibuat oleh seorang dokter untuk kepentingan pengadilan yang berisikan hasil pengamatan diikuti dengan sebuah kesimpulan atas pengamatannya tersebut. 

Hasil pemeriksaan inilah kemudian dapat disimpulkan apakah perbuatan terdakwa dapat dipertanggungjawabkan kepadanya (hem kan worden toegerekend) atau tidak (Pariaman, 1983).

Visum et Repertum Psikiatri Forensik

Pembuatan Visum et repertum yang dilakukan oleh seorang psikiater forensik haruslah berdiri sendiri, ia perlu mengingat bahwa dirinya seorang dokter yang tugas utamanya adalah mengobati atau menyembuhkan sesuai dengan sumpah Hippocrates. Namun halnya ia juga tidak boleh lupa bahwa di muka pengadilan, seorang psikiater forensik tidak boleh memihak siapapun, baik jaksa, hakim, atau terdakwa sekalipun. Visum et Repertum yang ia buat haruslah bersifat faktual dan ilmiah tanpa ada yang ditambah atau dikurangi. 

Salah satu kebiasaan ilmu kedokteran adalah merahasiakan identitas pasiennya sehingga dalam pembuatan laporan atau paper ilmiah, identitas pasien hanya ditulis dengan inisial namanya. Hal ini jauh berbeda dengan cara kerja pengadilan yang mengharuskan identitas terdakwa tidak boleh ditutup-tutupi dan harus jelas penulisannya. Kendati demikian, dalam pengungkapan kasus yang melibatkan ilmu kedokteran, nama terdakwa atau pasien cukup ditulis dengan inisial nama saja. 

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan Visum et Repertum antara lain adalah pembukaan Visum et Repertum yang memuat pernyataan adanya permintaan Visum dari jaksa. Yang kedua adalah hasil pemeriksaan yang terdiri atas autoanamnesis (keterangan yang diperoleh dari pemeriksaan langsung dengan pasien atau terdakwa) dan heteroanamnesis (keterangan yang diperoleh dari pemeriksaan terhadap keluarga atau orang yang mengetahui tentang riwayat penyakit pasien atau terdakwa). 

Selanjutnya adalah penilaian atas hasil pemeriksaan yang berisi ikhtisar hasil pemeriksaan, psikodinamika serta latar belakang terdakwa melakukan tindakannya, dan penentuan derajat pertanggungjawaban terdakwa. Hal yang harus diperhatikan lainnya adalah kesimpulan berisi pernyataan pertanggungjawaban terdakwa, pernyataan bahwa hasil pemeriksaan dilakukan dengan sumpah serta tempat dan tanggal Visum tersebut dibuat dan ditandatangani oleh dokter yang bertugas.

Kedudukan di Persidangan

Dalam beberapa persidangan, tidak menutup kemungkinan bahwa akan ada pihak yang meragukan independensi keterangan ahli dalam persidangan. Memang bahwa dalam memeriksa keadaan jiwa terdakwa, seorang psikiater tetaplah seorang manusia yang tidak luput dari naluri hatinya. Akan tetapi, di muka persidangan, keterangan seorang psikiater forensik tetaplah keterangan saksi ahli yang bertujuan untuk mencari kebenaran dan keadilan. 

Hal ini sejalan dengan Pasal 179 ayat (1) KUHAP yang berbunyi, "bahwa setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan." Ia akan bertindak sebagai individu yang membantu hakim dalam mengungkap fakta-fakta hukum sama seperti saksi-saksi lain yang dihadirkan di persidangan. Tentu seorang psikiater forensik tidak akan mendapat kepercayaan atau perlakuan lebih di muka persidangan (Pariaman, 1983). Sehingga tidak ada perbedaan antara seorang psikiater forensik dengan saksi lain meskipun ia memiliki suatu keahlian di bidangnya.

Kasus nyata peran Psikiatri Forensik di Pengadilan

Contoh pertama adalah kasus pembunuhan seorang anak laki-laki berumur 12 tahun oleh seorang laki-laki berusia 39 tahun yang mengira sedang mengupas nangka. Kasus ini terjadi di Garut pada tahun 1973. Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh dr. Hasan Basri Saanin Dt. Tan Pariaman, seorang psikiater forensik, terdakwa A. al. M. bin M. dinyatakan menderita skizofrenia kronis dengan kerusakan pada emosi, kognisi, dan kemauan. 

Sehingga pada saat melakukan tindakannya, terdakwa A kemungkinan besar mengalami ilusi yang menyebabkan  ia melihat korban bernama Asep seperti buah nangka. Oleh karena adanya gangguan kejiwaan yang terjadi pada terdakwa A saat melakukan tindakannya maka Pasal 44 ayat (1) KUHP dapat berlaku baginya. 

Contoh kedua adalah kasus pembunuhan yang sempat menghebohkan Indonesia. Kasus pembunuhan "Kopi Maut" yang didakwakan kepada Jessica Kumala Wongso atas dugaan pembunuhan terhadap korban Wayan Mirna Salihin turut menghadirkan dr. Natalia Widiasih Rahardjanti, Sp.KJ(K) untuk mendengarkan pendapatnya sebagai keterangan ahli. Berdasarkan Visum et Repertum yang dilakukan, dr. Natalia menyebutkan bahwa tidak ditemukannya gangguan kejiwaan berat pada terdakwa sehingga dalam hal ini tindakannya dapat dipertanggungjawabkan.

PembuktianMembuktikan seorang pelaku tindak pidana bersalah atas apa yang dilakukannya merupakan hal penting di pengadilan. Sebuah putusan perkara tidak boleh dijatuhkan semena-mena demi menjamin kepastian dan keadilan hukum oleh karena itu fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan harus dipertimbangkan kembali oleh hakim pengadilan. Keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa sebagai alat bukti yang sah harus benar-benar dibuktikan kebenarannya. Dengan demikian, hukuman pdana yang dijatuhkan kepada pelaku diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan bagi kita semua. 

Daftar Pustaka :

Ameln, Fred. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Jakarta: Grafikatama Jaya, 1991.

Indonesia. Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN No. 76 Tahun 1981, TLN No. 3209.

Kanter, E.Y. dan S. R. Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Cet. 3. Jakarta: Storia Grafika, 2018.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Strafrecht]. Diterjemahkan oleh Moeljatno. Jakarta: Bumi Aksara, 2018.

Lesse, S. "The Psychiatrist in Court--Theatre of the Absurd." American Journal of Psychotherapy 36, no. 3 (1982): 287-291.

Muslim, Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III dan DSM-5. Cet. 2. Jakarta: PT. Nuh Jaya, 2013.

Pariaman, Hasan Basri S.Dt. Tan. Psikiater dan Pengadilan: Psikiatri Forensik Indonesia. Cet. 2. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983.

Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. cet. 6. Bandung: Refika Aditama, 2014.

Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal. Cet 15. Bogor: Politeia, 2013.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun