Hasil pemeriksaan inilah kemudian dapat disimpulkan apakah perbuatan terdakwa dapat dipertanggungjawabkan kepadanya (hem kan worden toegerekend) atau tidak (Pariaman, 1983).
Visum et Repertum Psikiatri Forensik
Pembuatan Visum et repertum yang dilakukan oleh seorang psikiater forensik haruslah berdiri sendiri, ia perlu mengingat bahwa dirinya seorang dokter yang tugas utamanya adalah mengobati atau menyembuhkan sesuai dengan sumpah Hippocrates. Namun halnya ia juga tidak boleh lupa bahwa di muka pengadilan, seorang psikiater forensik tidak boleh memihak siapapun, baik jaksa, hakim, atau terdakwa sekalipun. Visum et Repertum yang ia buat haruslah bersifat faktual dan ilmiah tanpa ada yang ditambah atau dikurangi.Â
Salah satu kebiasaan ilmu kedokteran adalah merahasiakan identitas pasiennya sehingga dalam pembuatan laporan atau paper ilmiah, identitas pasien hanya ditulis dengan inisial namanya. Hal ini jauh berbeda dengan cara kerja pengadilan yang mengharuskan identitas terdakwa tidak boleh ditutup-tutupi dan harus jelas penulisannya. Kendati demikian, dalam pengungkapan kasus yang melibatkan ilmu kedokteran, nama terdakwa atau pasien cukup ditulis dengan inisial nama saja.Â
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan Visum et Repertum antara lain adalah pembukaan Visum et Repertum yang memuat pernyataan adanya permintaan Visum dari jaksa. Yang kedua adalah hasil pemeriksaan yang terdiri atas autoanamnesis (keterangan yang diperoleh dari pemeriksaan langsung dengan pasien atau terdakwa) dan heteroanamnesis (keterangan yang diperoleh dari pemeriksaan terhadap keluarga atau orang yang mengetahui tentang riwayat penyakit pasien atau terdakwa).Â
Selanjutnya adalah penilaian atas hasil pemeriksaan yang berisi ikhtisar hasil pemeriksaan, psikodinamika serta latar belakang terdakwa melakukan tindakannya, dan penentuan derajat pertanggungjawaban terdakwa. Hal yang harus diperhatikan lainnya adalah kesimpulan berisi pernyataan pertanggungjawaban terdakwa, pernyataan bahwa hasil pemeriksaan dilakukan dengan sumpah serta tempat dan tanggal Visum tersebut dibuat dan ditandatangani oleh dokter yang bertugas.
Kedudukan di Persidangan
Dalam beberapa persidangan, tidak menutup kemungkinan bahwa akan ada pihak yang meragukan independensi keterangan ahli dalam persidangan. Memang bahwa dalam memeriksa keadaan jiwa terdakwa, seorang psikiater tetaplah seorang manusia yang tidak luput dari naluri hatinya. Akan tetapi, di muka persidangan, keterangan seorang psikiater forensik tetaplah keterangan saksi ahli yang bertujuan untuk mencari kebenaran dan keadilan.Â
Hal ini sejalan dengan Pasal 179 ayat (1) KUHAP yang berbunyi, "bahwa setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan." Ia akan bertindak sebagai individu yang membantu hakim dalam mengungkap fakta-fakta hukum sama seperti saksi-saksi lain yang dihadirkan di persidangan. Tentu seorang psikiater forensik tidak akan mendapat kepercayaan atau perlakuan lebih di muka persidangan (Pariaman, 1983). Sehingga tidak ada perbedaan antara seorang psikiater forensik dengan saksi lain meskipun ia memiliki suatu keahlian di bidangnya.
Kasus nyata peran Psikiatri Forensik di Pengadilan
Contoh pertama adalah kasus pembunuhan seorang anak laki-laki berumur 12 tahun oleh seorang laki-laki berusia 39 tahun yang mengira sedang mengupas nangka. Kasus ini terjadi di Garut pada tahun 1973. Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh dr. Hasan Basri Saanin Dt. Tan Pariaman, seorang psikiater forensik, terdakwa A. al. M. bin M. dinyatakan menderita skizofrenia kronis dengan kerusakan pada emosi, kognisi, dan kemauan.Â