Dunia kesehatan tidak lagi mengenal istilah penyakit jiwa (mental disease atau mental ilness). Pedoman Praktis Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ-III) menggunakan istilah gangguan jiwa atau gangguan mental (mental disorder) pada orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan pada dirinya. Berabad-abad yang lalu, penegakan hukum pidana pada orang dengan gangguan kejiwaan sudah dirasa tidak adil. Meskipun terdapat pemikiran yang samar mengenai pemidanaan orang dengan kejiwaan tidak dapat dipersalahkan.Â
Akan tetapi dalam praktiknya, hingga abad XVIII hakim tidak pernah meminta pendapat dokter dalam mengadili terdakwa dengan indikasi gangguan kejiwaan (Pariaman, 1983). Sehingga dalam memutus suatu perkara terhadap orang dengan gangguan kejiwaan, terdakwa diasingkan dari masyarakat guna menjaga masyarakat dari perbuatan rusak. hakim hanya mendengar nasihat-nasihat dari para ahli hukum, bukan dari dokter.
Di tahun 1748, sebuah gebrakan datang dari guru besar fakultas kedokteran di Leipzig, Johannes Zacharia Platner, mengemukakan bahwa gangguan jiwa adalah keadaan sakit sehingga dokterlah yang seharusnya menilai dan menentukan apakah seseorang mengalami gangguan kejiwaan atau tidak. Hal serupa rupanya terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1954 ketika ditetapkannya putusan pengadilan yang mengatakan, "a defendant was not criminally responsible if his unlawful act was the product of mental disease or mental health," (Durham, 1982).Â
Memang pada awalnya tidak sedikit pengadilan yang menolak, namun putusan ini telah memberi jalan bagi ahli psikiatri dalam persidangan (Lesse, 1982). Beranjak dari hal inilah kemudian dimungkinkan seseorang tidak dijatuhi hukuman pidana karena ketidakmampuannya dalam bertanggung jawab.
Orang yang berhak menentukan seseorang mengalami gangguan kejiwaan atau tidak
Perlu kita ketahui bahwa untuk membuktikan seseorang terganggu jiwanya atau tidak, seorang hakim perlu mempertimbangkan keterangan dari seorang ahli sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang (UU) No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).Â
Pasal 184 KUHAP menyebutkan bahwa alat bukti yang sah ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Keterangan ahli yang dimaksud ialah sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 1 angka (28) KUHAP, "Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan."Â
Oleh karena itu, keterangan ahli yang akan penulis bahas adalah keterangan dari para ahli bagian Ilmu Kedokteran Jiwa (Psikiatri) yang digunakan untuk keperluan pengadilan yakni Ilmu Kedokteran Jiwa Kehakiman (Psikiatri Forensik). Perlu diingat bahwa Kedokteran Kehakiman merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran untuk membantu proses di peradilan (Ameln, 1991).
Psikiatri forensik tidak hanya menyangkut apa yang diatur dalam undang-undang saja, tetapi juga sosiologi, psikologi, pekerjaan sosial, dan ilmu pengetahuan mengenai tingkah laku manusia yang lain. Ketika dihadapkan di persidangan, seorang psikiater forensik akan memberikan kesaksian tentang pelaku atau terdakwa.Â
Secara tidak langsung, berdasarkan Pasal 224 KUHAP, kehadiran seorang ahli ialah wajib bilamana telah dipanggil sebelumnya melalui surat yang dikirimkan bahwa ia akan menjadi salah satu saksi atau ahli di persidangan. Tugas psikiater forensik adalah memeriksa keadaan jiwa dari si terdakwa sewaktu ia melakukan perbuatannya (ten tijde van de daad).Â
Pemeriksaan yang dilakukan oleh seorang psikiater forensik kemudian ditulis dalam sebuah laporan berisi keterangan-keterangan yang dinamakan dengan Visum et repertum. Visum et Repertum menurut H.F. Roll adalah suatu laporan tertulis yang dibuat oleh seorang dokter untuk kepentingan pengadilan yang berisikan hasil pengamatan diikuti dengan sebuah kesimpulan atas pengamatannya tersebut.Â