Sumber Foto: www.thoughtco.com
Himpitan pekerjaan buruh yang kian sesak dewasa ini seringkali pemicu atmosfer-atmosfer panas dalam dunia pekerja. Tekanan-tekanan pekerjaan membuat berbagai demonstrasi di sana sini.Â
Dengan berbagai tajuk seperti, demi upah yang diberikan sesuai hak, ketidakadilan dalam pekerjaan, atau kurangnya fasilitas yang diterima para buruh tidak sesuai akan selalu menjadi tututan demo yang tidak pernah absen.Â
Problema-problema ini seringkali terabaikan oleh pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam perusahaan sehingga menjadi insiden yang repetitif. Ketidakbecusan pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam menangani dan menjamin hak-hak pekerja berimbas pada alienasi pada para buruh.
Ramalan seorang filsuf Jerman mengatakan bahwa kapitalisme akan membawa alienasi atau dengan kata lain, keterasingan bagi para buruh. Konsep yang dikembangkan Karl Marx ini diadopsi dari gurunya sendiri yang juga seorang filsuf bernama Hegel.Â
Berbeda dengan Hegel yang menyatakan bahwa alienasi hanya bagian dalam bentuk rekontruksi pikiran, Marx berasumsi bahwa keterasingan lebih dari sekadar epistemologi semata.Â
Karl Marx kemudian menafsirkan ulang mengenai konsep keterasingan sebagai fenomena yang berimplikasi pada seluruh aspek kehidupan manusia, dengan kata lain tidak diatasi dalam pikiran tetapi melalui tindakan pula. Institusi politik, ekonomi, bahkan agama menciptakan kondisi-kondisi keterasingan dalam diri manusia.
Sebelum berlanjut lebih jauh, perlu diketahui apa itu alienasi atau keterasingan? Alienasi atau keterasingan diartikan ketika seseorang merasa terasing atau terpisah dari hasil karya kerjanya, dari proses kerja, dari hubungan antarmanusia, dan diri sendiri.Â
Sistem kapitalisme mempengaruhi setiap aspek kehidupan manusia tanpa terkecuali, salah satunya keterasingan pada aspek ekonomi. Menurut Marx, keterasingan berasal dari adanya ekonomi pertukaran yang dibangun atas kepemilikan modal.Â
Adanya alat tukar yang disebut uang menjadikan produk-produk hasil buruh sebagai objek atau komoditas yang diperjualbelikan. Para buruh tidak memiliki kekuasaan untuk mengontrol apa yang telah dihasilkan. Konsekuensi dari sistem kapitalisme akan memunculkan kaum minoritas yang memegang modal dan mengendalikan para buruh.
Karya Marx dalam Economic and Philosophical Manuscripts of 1844 sepertinya cukup relevan dengan kenyataan kondisi buruh masa kini. Upah yang minimum dirasa tidak sebanding dengan kerja banting tulang yang dilakukan oleh para buruh. Hegel berpendapat alienasi pada buruh merupakan hal yang wajar sebab ada kontrak yang telah tertandatangani yang mengikat mereka.Â
Dedikasi buruh dalam bekerja menjadi kompensasi yang dipertukarkan dalam bentuk upah. Namun, pandangan ini tidak lantas menghalalkan adanya alienasi pada para buruh meskipun telah mendapatkan upah.
Marx berpikir manusia merupakan makhluk produktif yang hidupnya harus bekerja dan bekerja. Akan tetapi, alienasi menjadikan pekerjaan sebagai sesuatu yang asing dari buruh. Alienasi pada buruh membawa ketidakbahagiaan pada buruh. Buruh lembur, tetapi tidak lagi bekerja dengan sepenuh hati.Â
Buruh merasa gelisah ketika bekerja. Bahkan dalam kondisi yang lebih ekstrem, saat buruh terasing dari pekerjaannya ia menyangkal dirinya sendiri. Ia merasa bekerja hanya akan menyebabkan kelelahan dan kemerosotan moral.
Akan tetapi, buruh tidak dapat lepas dari perasaan terasing ini akibat kebutuhan hidup yang kian mencuat. Kebutuhan untuk makan, menyekolahkan anak, memenuhi prestise, dan lain sebagainya menyebabkan buruh harus bekerja.Â
Demonstrasi yang dilakukan para serikat buruh merupakan cara untuk memerangi keterasingan. Hal ini menunjukan bahwa buruh ingin merdeka dalam bekerja. Ia tidak ingin terus-menerus berada pada teror rasa keterasingan yang menggorogoti dirinya.
Bahkan pekerjaan wiraswasta tidak lantas membebaskannya dari alienasi. Karl Marx berkata buruh yang bekerja di bawah majikan artinya secara sukarela tertindas dan terasing.Â
Meskipun memiliki majikan, tidak berarti buruh hanyalah robot pesuruh yang hanya mau-mau saja disuruh ini dan itu tanpa tahu bagaimana dan mengapa.Â
Banyak pihak-pihak perusahaan yang justru menjadikan hal ini suatu kesempatan untuk membuat buruh seperti mesin yang bekerja tiap waktu tanpa memedulikan dirinya sendiri.Â
Seharusnya, buruh juga harus diberi kesempatan untuk merasa merdeka dan memiliki kebermaknaan dalam pekerjaannya. Ia harus diberi ruang untuk memadukan kreativitasnya dan kebebasan dalam berekspresi. Bukannya malah didiskrimasi dan dituntut harus melakukan apa yang hanya disuruh atasan.
 Eksploitasi terhadap buruh mengalienasi buruh dari pekerjaannya. Jaminan terhadap ketenagakerjaan kurang diupayakan secara maksimal.Â
Regulasi yang terus menerus berubah dilakukan tanpa melihat penerapan lapangan hanya akan menjadi kesia-siaan belaka. Ketidakseimbangan antara angkatan kerja dan upah murah yang seringkali masih terjadi saat ini bukan lagi alasan untuk menindas kaum buruh.Â
Pada kenyataannya, kesenjangan sosial antara kaum buruh dengan kaum pemilik modal terlihat cukup signifikan. Meskipun meningkatnya industri berimplikasi pada peningkatan jumlah upah, masih ditemukan perusahaan-perusahaan yang memeras kaum buruh tanpa ampun.
Buruh harus diperhatikan kesejahteraan dan pekerjaannya. Adapun buruh bekerja keras hingga lembur siang dan malam, tidak mengindikasikan mereka bahagia.Â
Buruh hanya bekerja untuk upah dan ini merupakan titik krusial yang harus diperbaiki. Alienasi pada buruh tidak hanya terjadi akibat sebuah faktor, tetapi berangkat dari berbagai faktor yang lebih kompleks dan rumit.Â
Oleh sebab itu, keberpihakan terhadap kaum buruh harus lebih ditingkatkan. Hak-hak yang dimiliki kaum buruh harus dijamin dengan baik supaya keadilan dapat ditegakkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI