Tuk! Tuk! Suara jendela kaca yang diketuk membuatku terkesiap. Aku melihat seorang pria yang tidak asing di luar jendela. Ia menyeringai seram ke arahku. Senyuman itu membuatku merinding. Ia memperlihatkan kedua tangannya yang menenteng tiga barang. Di tangannya kanannya, ada sepasang sepatu kets warna putih, sepatu yang kubelikan untuk Ian. Sepatu itu terguyur hujan. Walaupun terguyur hujan, aku masih bisa melihat bercak darah yang menempel meski tidak terlalu jelas. Di tangan kirinya, ia menenteng tas berwarna biru muda dan jaket kulit, tas dan jaket kesayangan mama dan papa. Dia membawa tiga benda itu sebagai bukti. Aku ingin langsung berlari keluar rumah ini, tapi tubuhku tidak mau mendengarkan. Walaupun hujannya cukup deras, aku masih bisa mendengar suaranya cukup jelas.
"Hai, Nana." serigaian seram itu kini berubah menjadi senyuman hangat dan lembut. Bagiku, senyumannya lebih menyeramkan dibanding sebelumnya.
"Akhirnya ketemu juga. Aku udah kangen nih. Bertahun-tahun kita gak ketemu, aku masuk ya? Eh, ngapain aku ijin ya? Aku kan tinggal masuk."
Rendra, psikopat gila sekaligus mantanku, sudah ada di sana sejak awal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H