Mohon tunggu...
Syafruddin Muhtamar
Syafruddin Muhtamar Mohon Tunggu... Penulis - Mengajar dan Menulis

Berbagi pikir berbagi hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bayang-bayang Hukum Tradisi Abad Modern

8 Desember 2017   15:15 Diperbarui: 8 Desember 2017   15:43 959
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sejarah hukum, goresan mata pena sejarawan mencatat beragam jenis dan model hukum. Jika dikelompokkan, kemungkinan kategorisnya ada dua; hukum yang kebenarannya berasal dari wahyu ilahi dan hukum yang bertumbuh pada kebenaran akal manusia. Kategori ini juga membelah perjalanan manusia dalam dua poros sejarah, yakni sejarah tradisionalisme dan modernisme.

Jamak para ahli bersepakat, bentang tradisionalisme bermula dari ketika 'hukum sebagai kehendak Tuhan' dan berakhir ketika diawalinya sebuah sejarah baru dimana 'hukum sebagai perwujudan kehendak manusia' mulai menduduki panggung kehidupan manusia. Dan dunia hukum moderen memulai secara perlahan perannya dipentas abad. Sejarah ini bermakna, bahwa masyarakat manusia dikekinian, mewarisi dua dasar gagasan fundamental yang menyejarah dan secara mendalam mewarnai eksistensi kehidupan.

Dua warisan sejarah ini kemudian juga menjadi sumbu seteru bagi manusia dalam usahanya mendapatkan kehidupan yang dibayangkan sebagai 'yang ideal'. Tradisionalisme dan modernisme sebagai penanda-penanda utama sebuah zaman dan peradaban, dalam persinggungannya kemudian melahirkan gelombang dinamis sebagai refleksi saling koreksi dan melengkapi kuduanya.

Dalam perjalanannya, tradisionalisme nampak terseok-seok berjalan ditengah derap langkah gempita modernisme. Kehadiran modernisme sejak awal telah demikian menggoda seluruh bidang kehidupa secara pasti. Sehingga program utama setiap masyarakat dalam bernegara adalah modernisasi nilai-nilai kehidupan. Bahkan memudarnya kecenderungan ke arah tradisi dianggap 'kesuksesan'; keberhasilan program modernisasi.

Arus utama sepanjang 3 abad terakhir sejarah ummat manusia adalah modernisasi. Dinegara-negara yang disematkan padanya predikat 'negara berkembang', negara 'papan bawah': yang menderita kemiskinan akut, tingkat pendidikan warga yang berada dititik nadir, lingkungan hidup yang rusak parah dan demokrasi yang masih jalan setengah hati karena masih melekatnya hasrat otoritarianisme, modernisasi adalah mimpi paling indah, bahkan bersifat cita-cita mutlak. Sebuah gejala dimana kehadiran modernisme demikian masif merasuk kedalam sumsum kesadaran masyarkat dunia.

Demikian pula dunia hukum ummat manusia, ketika gagasan moderen mulai menemukan titik popularitasnya, terasuki hingga mengalami pula proses modernisasi. Hingga abad mutakahir, hukum manusia telah sedemikian termoderenkan. Dan terus disempurnakan untuk terus menjadi moderen.

Hukum : Dua Wajah Dikotomis

Di negeri-negeri Timur, dimana negara-negara juga telah berdiri, sebagai refleksi atas kolonialisasi yang mematikan. Negera diwujudkan sebagai suatu upaya persatuan dalam rangka nasionalisme untuk mempertahankan kemerdekaan dari tangan-tangan penjajah. Dalam kekuasaan negara-negara ini, hukum moderen beroperasi beriringan hukum tradisi. Namun hegemoni hukum moderen yang merupakan produk resmi negara, membuat hukum tradisi nampak seperti bayang-bayang yang timbul tenggelam. Bahkan sedemikian senyapnya operasional hukum tradisi, kadang-kadang kehadirannya dianggap tidak ada.

Hukum moderen menempati posisi dominan dalam kebijakan hukum negera moderen, terutama negera-negara yang memiliki basis peradaban ketimuran yang kental, dimana hukum tradisi pernah menduduki tahta dalam peradaban masyarakat, sebagai hukum yang berlaku disetiap lini kehidupan masyarakat 'masa lampau'.

Hukum yang diberlakukan oleh negara adalah hukum yang bercorak khas moderen ini, dalam prakteknya menimbulkan dikotomi secara langsung dengan hukum-hukum yang berlaku dalam masyarakat sebagai hukum tradisi. Corak tertulis dan tidak tertulis menjadi obyek dikotomis paling nyata diantara keduanya. Kekuatan politis negara sebagai dasar keberadaan hukum moderen juga menjadi centrum paling fundamental yang mendorong dikotomis secara frontal dengan hukum-hukum masyarakat yang berkaraketer tradisi.

Implikasi paling nyata dari keberadaan hukum moderen yang dilahirkan oleh negara adalah hegemoni. Kebijakan pemerintah dibidang hukum, terutama negara-negara yang sedang mengusahakan kemajuan ekonomi, telah melumpuhkan hukum-hukum tradisi, demi mengejar kemajuan ekonomi masyarakat. Kebijakan develompentalisme yang berorientasi pada kemajuan bidang ekonomi, 'mengharuskan' negara mengeliminir peran-peran tradisional yang dapat menghalangi tujuan pembangunan ekonomi. Hukum diberfungsikan secara utuh sebagai intrumen merekayasa kehidupan sosial, demi tujuan-tujuan yang bersifat materialisme.     

Fase ini adalah awal mula hukum tradisi mengalami 'ketakberdayaannya' sebagai penyanggah peradaban. Hegemoni negara yang menyimpan tersembunyi motif kapitalisme disetiap lipatan-lipatan kebijakan pembangunannya, menjadi sumber kelumpuhan tradisi. Tidak ada kebijakan memihak pada aras peradaban masyarakat itu, karena paradigma pembangunan telah menekankan progresifitas kemajuan ekonomi dan kehidupan yang berorentiasi pada materialisme. Sementara tradisi, baik sebagai paradirma maupun elmenn-elemen fungsionalnya, dianggap tidak mampu mendorong daya kemajuan yang dikehendaki oleh modernisme.

Meski hegemonitas hukum moderen produksi negara, tradisionalisme hukum dalam masyarakat juga tetap bertahan hidup ditengah segala daya keterbatasannya. Dibeberapa wilayah hukum tradisional masih bekerja menyanggah prikehidupan masyarakatnya. Meskipun dalam lingkaran jangkauan keberlakuan hukum yang sagat kecil, sebatas segelintir masyarakat tadsisi yang masih memegang kekeh nilai-nilai kearifaan tradisi.

Inilah wajah dikotomis hukum manusia di abad moderen dan pasca-moderen. Hukum moderen buatan negara berjalan bersanding dengan hukum yang tumbuh dan hidup dari dalam jiwa masyarakat tradisi. Satu wajah demikian cemerlang penampakannnya, sementara wajah yang lain adalah bayang-bayang tipis yang secara sepintas pandang hampir tak nampak oleh mata.

Pluralisme Hukum

Sejak modernisasi mengalami perlintasan cepat, efektif, efesien antar negara lewat jalur-jalur revolusi tehnologi diberbagai bidang, terutana transportasi, informasi dan komunikasi, globalisasi menjadi fenomena yang tak terelakkan. Sehingga globalitas kemudian menjelma globalisme. Dan perbincangan mengenai globalisme menjadi sesuatu yang demikian serius dalam nuansa kritis antara pro dan kontra.

Globalitas juga membawa konsekwensi terbangunnya suatu sistem hukum tunggal bagi ummat manusia. Namun konsekwensi itu menjadi harapan yang tak tentu. Kecenderungan dari globalisme yang ingin membangun keseragama nilai-nilai hidup bagi dunia, banyak mengalami tantangan dari keberadaan hukum-hukum tradisi yang berdiam secara lokalitas dalam 'meliu' bangsa-bangsa di setiap negara.     

Hukum-hukum tradisi ini terus membayangi keberadaan hukum moderen yang telah dan tengah terglobalisasikan. Kehadirannya pada kenyataanya menjadi 'saingan' yang mengkawatirkan. Motiv hukum global moderen yang ingin menyeragamkan menjadi terancam, ditengah kenyatan pluralitas hukum-hukum tradisi disetiap bangsa-bangsa didunia.

Fenomena bahwa tidak semua elemen dasar kehiduoan ummat manusia dapat dimodernisasi, menjadi koreksi langsung sisitem modernitas hukum yang dibangun masyarakata global. Akar nilai dari hukum tradisi mampu bertahan sedemikian setia disetiap relung jiwa bagi masyarakat tradisi, karena sifat sublimias kearifannya mengandung spritualitas, moral dan etik yang tinggi.  Sementara tawaran nilai-nilai baru hukum moderen global hanya mampu menyentuh watak materialisme dan pragmatisme masyarakat.

Dua sisi paradigma nilai yang berbenturan secaradiametral, terbungkus dalam kotak sistem masing-masing. Oleh karena itu, makna pluralitas hukum dalam posisi ini menjadi penting artinya. Pluralistas hukum merupakan kondisi dimana sistem hukum yang beragam tumbuh dan berkembang secara harmonis dalam lingkungan kehidupan bangsa dalam setiap lingaran batas-batas wilayah negara secara global.

Tendesnsi penyeragaman motiv-motiv profan dari suatu sistem hukum tertentu hanyalah lamunan ilmiah yang akan memperburuk kondisi natural kehidupan ummat manusia. karena hahikat keberadaan manusia salahsatu karakternya adalah keberagaman. Pluralitas hukum untuk sementara dapat diandalkan sebagai jawaban atas hasrat-hastart berhukum oleh masyarakat manusia saat ini. Selain merupakan subtansi kehidupan sosial manusia, keberagaman hukum juga memiliki landas historis yang panjang; merentang dari jejak awal masyarakat tradisi itu sendiri hingga abad mutakhir di senja modernitas di ambang posmodernitas saat ini.

Pluratistas hukum adalah basis dan akar kemasyarakatan dan kebangsaan ummat manusia.       

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun