Fase ini adalah awal mula hukum tradisi mengalami 'ketakberdayaannya' sebagai penyanggah peradaban. Hegemoni negara yang menyimpan tersembunyi motif kapitalisme disetiap lipatan-lipatan kebijakan pembangunannya, menjadi sumber kelumpuhan tradisi. Tidak ada kebijakan memihak pada aras peradaban masyarakat itu, karena paradigma pembangunan telah menekankan progresifitas kemajuan ekonomi dan kehidupan yang berorentiasi pada materialisme. Sementara tradisi, baik sebagai paradirma maupun elmenn-elemen fungsionalnya, dianggap tidak mampu mendorong daya kemajuan yang dikehendaki oleh modernisme.
Meski hegemonitas hukum moderen produksi negara, tradisionalisme hukum dalam masyarakat juga tetap bertahan hidup ditengah segala daya keterbatasannya. Dibeberapa wilayah hukum tradisional masih bekerja menyanggah prikehidupan masyarakatnya. Meskipun dalam lingkaran jangkauan keberlakuan hukum yang sagat kecil, sebatas segelintir masyarakat tadsisi yang masih memegang kekeh nilai-nilai kearifaan tradisi.
Inilah wajah dikotomis hukum manusia di abad moderen dan pasca-moderen. Hukum moderen buatan negara berjalan bersanding dengan hukum yang tumbuh dan hidup dari dalam jiwa masyarakat tradisi. Satu wajah demikian cemerlang penampakannnya, sementara wajah yang lain adalah bayang-bayang tipis yang secara sepintas pandang hampir tak nampak oleh mata.
Pluralisme Hukum
Sejak modernisasi mengalami perlintasan cepat, efektif, efesien antar negara lewat jalur-jalur revolusi tehnologi diberbagai bidang, terutana transportasi, informasi dan komunikasi, globalisasi menjadi fenomena yang tak terelakkan. Sehingga globalitas kemudian menjelma globalisme. Dan perbincangan mengenai globalisme menjadi sesuatu yang demikian serius dalam nuansa kritis antara pro dan kontra.
Globalitas juga membawa konsekwensi terbangunnya suatu sistem hukum tunggal bagi ummat manusia. Namun konsekwensi itu menjadi harapan yang tak tentu. Kecenderungan dari globalisme yang ingin membangun keseragama nilai-nilai hidup bagi dunia, banyak mengalami tantangan dari keberadaan hukum-hukum tradisi yang berdiam secara lokalitas dalam 'meliu' bangsa-bangsa di setiap negara. Â Â Â
Hukum-hukum tradisi ini terus membayangi keberadaan hukum moderen yang telah dan tengah terglobalisasikan. Kehadirannya pada kenyataanya menjadi 'saingan' yang mengkawatirkan. Motiv hukum global moderen yang ingin menyeragamkan menjadi terancam, ditengah kenyatan pluralitas hukum-hukum tradisi disetiap bangsa-bangsa didunia.
Fenomena bahwa tidak semua elemen dasar kehiduoan ummat manusia dapat dimodernisasi, menjadi koreksi langsung sisitem modernitas hukum yang dibangun masyarakata global. Akar nilai dari hukum tradisi mampu bertahan sedemikian setia disetiap relung jiwa bagi masyarakat tradisi, karena sifat sublimias kearifannya mengandung spritualitas, moral dan etik yang tinggi. Â Sementara tawaran nilai-nilai baru hukum moderen global hanya mampu menyentuh watak materialisme dan pragmatisme masyarakat.
Dua sisi paradigma nilai yang berbenturan secaradiametral, terbungkus dalam kotak sistem masing-masing. Oleh karena itu, makna pluralitas hukum dalam posisi ini menjadi penting artinya. Pluralistas hukum merupakan kondisi dimana sistem hukum yang beragam tumbuh dan berkembang secara harmonis dalam lingkungan kehidupan bangsa dalam setiap lingaran batas-batas wilayah negara secara global.
Tendesnsi penyeragaman motiv-motiv profan dari suatu sistem hukum tertentu hanyalah lamunan ilmiah yang akan memperburuk kondisi natural kehidupan ummat manusia. karena hahikat keberadaan manusia salahsatu karakternya adalah keberagaman. Pluralitas hukum untuk sementara dapat diandalkan sebagai jawaban atas hasrat-hastart berhukum oleh masyarakat manusia saat ini. Selain merupakan subtansi kehidupan sosial manusia, keberagaman hukum juga memiliki landas historis yang panjang; merentang dari jejak awal masyarakat tradisi itu sendiri hingga abad mutakhir di senja modernitas di ambang posmodernitas saat ini.
Pluratistas hukum adalah basis dan akar kemasyarakatan dan kebangsaan ummat manusia. Â Â Â Â