Ini bukan pertama kali dalam sejarah kehidupanku jika aku akan ditinggal tanpa penjelasan.
Aku berusaha mengerti dan kemudian mulai terbiasa menerimanya.
Bisa dibilang hal ini aku alami jauh sebelum aku bisa membedakan warna dan tulisan.
Hingga akhirnya melahirkan sebuah trauma untuk bisa menerima sebuah pertemuan.
Kata orang, perempuan itu mahluk yang rumit.
Tapi aku punya penjelasan ilmiah kenapa kadang aku rumit,
ada estrogen dan progesteron yang tidak bisa kita kontrol kadar dan waktunya,
yang kemudian mempengaruhi daya penerimaan terhadap suatu impuls eksterior.
Terlalu rumitkah jika yang aku inginkan adalah kebagiaan yang nyata ?
Beberapa hari yang lalu aku sempat mendayu-dayu dengan lagunya Rumor yang menyalahkan cinta dalam lirik lagunya,
padahal bukan kali pertama aku mendengarnya.
Setelah kusadari ternyata semua hal menumpuk di chip otakku.
Ketika aku cek lagi beberapa hari kemarin ternyata aku harus melepaskan apa yang aku mulai hari itu,
karena kini rangkaian sajak telah kembali berubah wujud.
Bagaimana bisa aku lepaskan bila tergenggam saja belum ?
Aku mencoba mengerti.
Disuatu waktu aku bisa terbiasa untuk memenangkan pertempuran hidup,
tapi ketika sampai pada sebuah keputusan, hatiku mengambil alih semuanya.
Hijrah dari satu titik atom ke titik atom lainnya.
Karena mungkin hatiku masih begitu mendera akan trauma sebuah pertemuan.
Aku takut, dan rasanya ingin bersembunyi saja dibalik selimut.
Jika teringat kembali semua itu.
Dan noda air mata di bantal, di seprei, di kasur, ternyata aku punya banyak stok air mata.
Aku memang masih belum berani menghadapi ketakutan.
Trauma itu masih selalu hadir, pedih perihnya masih tergambarkan sampai sekarang.
Meski bukan pertama kali, aku tidak mau dan tak ingin terbiasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H