Namun, pasca-Orde Baru, terdapat perubahan paradigma terhadap para difabel. Pemerintah mulai mengadopsi pandangan bahwa disabilitas adalah bentuk penindasan sosial yang berakar pada norma-norma masyarakat. Pandangan ini didorong oleh ideologi normalisme yang menganggap para difabel sebagai "abnormal". Untuk merespons masalah ini, konsep disabilitas mulai didekonstruksi, dan istilah "difabel" (differently abled people) diperkenalkan oleh Alm. Mansour Fakih, seorang mantan komisioner Komnas HAM. Perubahan terminologi ini diinisiasi untuk mendorong perubahan kebijakan dan sikap masyarakat. Istilah baru ini menekankan bahwa setiap individu memiliki kemampuan unik, menggeser fokus dari keterbatasan menuju keberagaman kemampuan.
Momen penting dalam sejarah perjuangan hak-hak para difabel terjadi pada Pemilu 2004, ketika Abdurrahman Wahid, mantan presiden yang tunanetra, dilarang mencalonkan diri oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena dianggap tidak memenuhi kriteria "sehat jasmani dan rohani". Insiden ini memicu diskusi publik yang luas tentang disabilitas, memobilisasi masyarakat, dan menciptakan kesadaran baru tentang hak-hak para difabel. Demonstrasi besar terjadi di berbagai wilayah, seperti Yogyakarta dan Jawa Timur, dengan ribuan orang turun ke jalan menyuarakan dukungan. Setelah 2004, istilah "difabel" semakin populer dan digunakan secara luas di Indonesia. Diskusi-diskusi publik, seminar, dan kampanye hak-hak para difabel berkembang pesat, membawa isu ini ke arus utama. Peristiwa ini juga menandai pergeseran dari pendekatan medis menuju model sosial difabel, di mana hambatan yang dihadapi para difabel lebih dipahami sebagai akibat dari struktur sosial daripada kondisi individu.
Perjalanan Pendidikan untuk Para Difabel
Hak pendidikan bagi difabel, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 UU No. 8 Tahun 2016, merupakan isu yang sangat relevan dalam konteks pendidikan inklusif di Indonesia. Pendidikan inklusi menjadi wacana utama yang mencerminkan upaya negara untuk memberikan kesempatan belajar yang setara. Namun, implementasi kebijakan ini menghadapi berbagai tantangan, seperti kurangnya infrastruktur yang mendukung, minimnya anggaran, serta rendahnya kesadaran masyarakat. Dalam praktiknya, pendidikan inklusif seringkali terhambat oleh sejarah pendidikan yang tersegregasi dan lemahnya pengawasan regulasi.
Pendidikan untuk para difabel telah dirintis sejak akhir abad ke-19 di Hindia-Belanda. Dahulu, penyandang tunanetra menghadapi diskriminasi sosial tanpa ada kebijakan pemerintah yang melindungi hak-hak mereka. Sebagian besar kebutaan disebabkan oleh epidemi trakoma akibat buruknya sanitasi, sementara penyakit gonorhea juga menyumbang angka kebutaan di berbagai kalangan. Menyadari tingginya jumlah penyandang tunanetra, gagasan untuk mendirikan sekolah bagi mereka muncul dari inisiatif swasta, khususnya H.J. Lenderink, Direktur Blindeninstituut Amsterdam, yang bekerja sama dengan Dr. C.H.A. Westhoff, seorang dokter mata berpengalaman di Hindia-Belanda. Mereka berencana mendirikan sekolah berasrama untuk anak-anak tunanetra tanpa memandang latar belakang agama atau ras, dengan program pendidikan seperti membaca huruf Braille, bermain musik, dan keterampilan lainnya.
Usaha ini mendapat dukungan dari pemerintah kolonial melalui Menteri Urusan Koloni dan Gubernur Jenderal saat itu. Pada 1901, didirikanlah Vereeniging tot Verbetering van het Lot der Blinden in Nederlandsch Oost-Indi (VVBNI), organisasi yang bertugas mengelola sekolah dan menggalang dana. Blindeninstituut pertama berdiri di Bandung pada September 1901, dengan dana yang berasal dari sumbangan berbagai pihak, termasuk Raja Siam Rama V. Sekolah ini awalnya bertempat di Jalan Cicendo, tetapi karena meningkatnya jumlah murid, akhirnya dipindahkan ke lokasi yang lebih besar di Jalan Braga.
Meski dianggap sebagai inovasi sosial, fasilitas yang disediakan menunjukkan perbedaan kelas sosial. Asrama untuk murid Eropa lebih mewah, sementara asrama bumiputera lebih sederhana meskipun tetap memenuhi kebutuhan dasar. Selain pendidikan formal seperti aritmatika, bahasa, dan geografi, sekolah ini mengajarkan keterampilan praktis untuk membantu murid beradaptasi dengan kehidupan setelah lulus. Donasi, termasuk bahan pangan, menjadi sumber utama operasional sekolah, dengan perusahaan seperti Rathkamp & Co. turut menyumbang. Dengan berdirinya Blindeninstituut, kesadaran akan hak-hak para difabel di Hindia-Belanda mulai tumbuh, menandai awal dari perhatian terhadap kelompok yang sebelumnya terpinggirkan ini.
Namun, seiring perjalanan pasca-kemerdekaan, hak dan aksesibilitas kaum difabel masih harus terus diperjuangkan. Pendidikan bagi anak difabel masih menghadapi berbagai tantangan serius hari ini. Hampir tiga dari sepuluh anak difabel tidak pernah mengenyam pendidikan, dengan jumlah anak usia 7--18 tahun yang tidak bersekolah mencapai sekitar 140.000 orang, menurut Survei Ekonomi Nasional (2018). Kendala utama dalam mewujudkan pendidikan inklusif mencakup minimnya pelatihan untuk guru, data yang belum lengkap tentang anak difabel di luar sekolah, serta pandangan keluarga yang meremehkan manfaat pendidikan bagi mereka dibanding anak non-difabel.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan para difabel sangat rendah. Sebanyak 20,51% para difabel tidak pernah sekolah, sementara 29,35% tidak tamat SD. Sebagian lainnya menyelesaikan pendidikan di tingkat SD (26,32%), SMP (9,97%), SM (10,47%), dan hanya 3,38% mencapai perguruan tinggi. Sebaliknya, kelompok non-difabel menunjukkan angka pendidikan yang jauh lebih baik, dengan mayoritas memiliki latar belakang pendidikan SM (29,66%) dan 9,68% berhasil menamatkan pendidikan tinggi. Jumlah penduduk non-difabel yang tidak pernah sekolah jauh lebih kecil, hanya 3,05%, dibandingkan para difabel. Data ini mencerminkan kesenjangan yang signifikan dalam akses dan pencapaian pendidikan antara para difabel dan penduduk umum.
Kebijakan pemerintah yang didasarkan pada wacana normalitas dan "kebenaran" seringkali justru semakin meminggirkan para difabel. Alih-alih mengintegrasikan mereka ke dalam ruang publik, seperti sekolah umum, perusahaan, atau institusi lainnya, kebijakan ini memperkuat stigma bahwa mereka adalah individu "tidak normal" yang harus dipisahkan dari masyarakat. Salah satu bentuk segregasi tersebut adalah pembangunan ribuan Sekolah Luar Biasa (SLB) yang diperuntukkan bagi anak-anak difabel, di mana mereka dipisahkan berdasarkan jenis kebutuhan khususnya.
Di SLB, siswa tidak hanya mendapatkan pendidikan formal, tetapi juga diajarkan keterampilan seperti menjahit, mengukir, atau melukis. Namun, meskipun fasilitas ini bertujuan memberikan keterampilan praktis, pendekatan segregatif ini mempertegas pengucilan para difabel dari lingkungan masyarakat yang lebih luas. Pola pendidikan semacam ini mengesankan bahwa para difabel hanya cocok berada di ruang khusus, sehingga mempersempit kesempatan mereka untuk berpartisipasi setara dalam masyarakat umum.
Meski demikian, pendekatan berbasis lingkungan, teknologi, dan kesadaran sosial mulai diupayakan untuk mendukung pendidikan inklusi. Penggunaan teknologi seperti e-learning menunjukkan potensi dalam menjembatani kebutuhan pendidikan difabel, sementara peningkatan kapasitas sekolah dan guru menjadi langkah penting untuk menciptakan lingkungan belajar yang inklusif. Namun, untuk mewujudkan pendidikan inklusi yang efektif, diperlukan komitmen yang lebih besar dari pemerintah, tidak hanya dalam pengaturan kebijakan, tetapi juga dalam implementasi dan evaluasi berkelanjutan agar hak pendidikan bagi difabel dapat diwujudkan secara adil dan setara.
Akses Difabel terhadap Layanan Kesehatan
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!