Narasi sejarah yang diangkat dalam pameran ini mencakup empat periode penting. Karakter pertama adalah Bancak dan Doyok dari cerita Panji, yang menggambarkan tokoh abdi dalem difabel dengan kekurangan fisik maupun sensorik namun memiliki peran strategis sebagai penasihat Pangeran Panji Inu Kertapati. Kedua, Sabda Palon dan Naya Genggong dari Babad Tanah Jawi, dua penasihat Raja Brawijaya V yang dikenal dengan kemampuan membaca gejala alam meski memiliki keterbatasan fisik. Karakter ketiga adalah Wujil, tokoh dari Suluk Wujil, seorang mantan abdi dalem era Majapahit yang digambarkan sebagai cebol namun memiliki semangat belajar tinggi dalam menuntut ilmu kepada Sunan Bonang. Terakhir, Banteng Wareng dari Babad Diponegoro, seorang pengawal dan pengikut setia Pangeran Diponegoro yang memiliki tubuh mini namun berperan penting dalam perjuangan sang pangeran.
Dalam menciptakan karya ini, JDA menggunakan pendekatan riset melalui literatur dan artefak sejarah, termasuk pewayangan, kitab kerajaan, babad, serta mitos dan cerita rakyat. Melalui narasi babad, posisi difabel di masa lalu ditampilkan secara eksplisit sebagai bagian integral dari struktur sosial, mulai dari masa Singosari, Majapahit, Mataram Islam, hingga kolonial. Ketua JDA, Sukri Budhi Darma, menekankan bahwa para difabel pada masa itu memiliki peran yang signifikan, bahkan kerap disetarakan dengan masyarakat lainnya.
Selain tokoh-tokoh sejarah difabel yang lekat dengan keraton, paradigma kesaktian difabel juga meluas ke dunia pengobatan tradisional. Dukun, yang sering kali difabel, dianggap memiliki kepekaan spiritual yang tinggi. Dalam survei Van Buuren di Kediri, ditemukan bahwa banyak dukun bayi adalah tunanetra atau tunarungu. Difabel dianggap mampu menjembatani dunia nyata dan dunia spiritual, sehingga dipercaya memiliki kekuatan yang lebih besar untuk menyembuhkan atau memberikan petunjuk.
Tradisi dan mitos yang melekat dalam pandangan masyarakat tradisional Indonesia terhadap difabel memperlihatkan kontradiksi yang menarik: di satu sisi, difabel dianggap membawa aib, tetapi di sisi lain mereka dijunjung sebagai sosok sakti yang melampaui manusia biasa. Kontradiksi ini mengakar kuat dalam memori kolektif masyarakat dan menjadi dasar dari berbagai praktik budaya. Seiring waktu, pandangan ini tidak hanya mencerminkan dinamika budaya, tetapi juga membentuk cara masyarakat dan negara memperlakukan difabel. Dengan menggali kembali akar paradigma ini, kita dapat memahami bagaimana warisan tradisional dan mitos mempengaruhi kebijakan dan praktik sosial terkait difabel hingga hari ini.
Sejarah Kebijakan Negara terhadap Para Difabel di Indonesia
Bila eksistensi "Indonesia" dianggap sebagai sebuah institusi negara yang lahir dari bekas-bekas Hindia Belanda, maka tentu kita dapat menarik sejarah kebijakan mengenai para difabel hingga zaman kolonialisme. Lagipula, bukan rahasia umum bahwa banyak warisan kolonial yang masih lekat dengan kita hingga hari ini, terlepas dari hadirnya sejarah sebagai sebuah refleksi. Kebijakan terhadap difabel di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan seiring dengan dinamika politik dan sosial, terutama pada masa kolonial Hindia-Belanda. Difabel, yang dalam konteks kolonial seringkali dianggap sebagai bagian dari "tubuh sakit", mulai didefinisikan secara medis sebagai kelompok yang memerlukan perawatan dan rehabilitasi. Langkah ini mencerminkan pengaruh modernisasi kesehatan di wilayah kolonial, terutama dengan masuknya dokter-dokter Eropa sejak abad ke-17. Dalam pandangan medis kolonial, difabel tidak hanya dipandang sebagai aib sosial, tetapi juga sebagai individu yang memerlukan intervensi kesehatan, meskipun pendekatan ini kerap digunakan untuk legitimasi kontrol sosial terhadap mereka.
Salah satu kebijakan penting pada masa kolonial adalah pendirian panti sosial (armenhuis) pada tahun 1636 di Batavia. Panti ini dirancang untuk menampung individu yang tidak mampu bekerja, termasuk difabel, mantan budak, dan orang tua terlantar. Namun, akses ke panti ini tidak universal. Hanya mereka yang memiliki rekomendasi tertentu yang diterima, dan perlakuan terhadap penghuni seringkali dibedakan berdasarkan status sosial dan kekayaan. Selain panti sosial, rumah sakit mulai didirikan, tetapi segregasi rasial tetap menjadi kebijakan utama. Difabel Eropa dirawat di fasilitas yang lebih baik dibandingkan dengan difabel bumiputera, yang seringkali hanya diterima ketika dianggap mengganggu ketertiban umum. Rumah sakit ini menjadi salah satu cara untuk memisahkan difabel dari masyarakat umum, memperkuat stigma sosial bahwa mereka adalah kelompok yang harus diisolasi.
Di luar perkotaan, nasib difabel sedikit lebih baik. Mereka dapat bekerja sebagai petani atau dukun, tetap terintegrasi dalam masyarakat desa. Namun, situasi berbeda dialami oleh difabel di perkotaan yang tidak diterima di rumah sakit atau panti sosial. Mereka seringkali terpaksa mengemis untuk bertahan hidup. Kondisi ini memperlihatkan bahwa kebijakan pemerintah kolonial lebih berfokus pada pengendalian difabel daripada menciptakan sistem yang inklusif. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan di Eropa, metode penanganan difabel juga mengalami perubahan. Pada akhir abad ke-18, praktik isolasi mulai diterapkan dengan anggapan bahwa memisahkan difabel dari masyarakat dapat memberikan efek terapeutik. Reformasi ini diterapkan di Hindia-Belanda dengan pendirian bangsal khusus di rumah sakit militer pada tahun 1832 dan rumah sakit jiwa pertama di Bogor pada tahun 1882. Meski terkesan progresif, kebijakan ini justru semakin menegaskan segregasi dan medikalisasi terhadap difabel. Difabel dianggap sebagai hambatan sosial yang harus diatur secara ketat, dan upaya rehabilitasi sering kali tidak memperhitungkan integrasi mereka ke masyarakat.
Selain itu, perkembangan industri di Hindia-Belanda turut meminggirkan kelompok difabel. Standar tubuh pekerja yang ditetapkan oleh sistem kapitalis membuat mereka dianggap tidak layak untuk bekerja, sehingga semakin tersingkir dari pasar tenaga kerja. Hal ini memperkuat stigma "tidak normal" dan mengukuhkan posisi mereka sebagai kelompok marginal tanpa akses ke kehidupan yang setara. Pemerintah kolonial tidak menunjukkan upaya serius untuk menciptakan sistem yang inklusif, sehingga difabel terus hidup dalam ketidakadilan sosial.
Hal tersebut tidak banyak berubah pasca kemerdekaan. Pemerintah Indonesia selama bertahun-tahun tidak mampu menciptakan lingkungan inklusif yang memungkinkan para difabel untuk berpartisipasi secara setara dalam masyarakat umum. Kemerdekaan Indonesia belum berhasil dicicipi oleh seluruh penduduknya. Meskipun secara hukum difabel di Indonesia dianggap sebagai warga negara, tetapi masih banyak yang kesulitan mendapatkan hak-hak mendasar, dari mulai akses pendidikan, pekerjaan, hingga politik. Indonesia memang telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) pada tahun 2011 dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, yang bertujuan untuk menghapus diskriminasi dan memastikan inklusivitas---setelah sebelumnya, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat masih kurang mumpuni dalam mencerminkan perkembangan terbaru yang diamanatkan oleh CRPD. Minimnya layanan khusus dan fasilitas dari pemerintah menjadi masalah utama. Keterbatasan aksesibilitas mengakibatkan gangguan kecil dapat berkembang menjadi hambatan besar dalam kehidupan sehari-hari. Transportasi umum, fasilitas pendidikan, dan ruang publik lainnya sering kali tidak ramah terhadap penyandang para difabel. Hal ini membuat mereka menghadapi tekanan sosial dan ekonomi yang berat.
Pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Suharto, berbagai organisasi untuk para difabel didirikan. Namun, pendekatan pemerintah tetap mendukung segregasi. Difabel dipandang sebagai beban personal yang harus direhabilitasi. Kebijakan pemerintah saat itu mendorong para difabel untuk diinstitusionalisasi demi efisiensi, menjauhkan mereka dari masyarakat umum. Banyak organisasi yang dibentuk oleh pemerintah bertujuan untuk mengontrol kehidupan para difabel, meskipun di permukaan terlihat seperti upaya amal. Organisasi-organisasi ini sering terhubung dengan lembaga internasional tetapi tetap berjalan seiring dengan agenda pemerintah.
Selain itu, para difabel diklasifikasikan berdasarkan jenis kebutuhan khusus mereka, seperti tunanetra atau tunarungu. Pendekatan ini tidak hanya mempertahankan segregasi tetapi juga melanggengkan ketergantungan pada amal tanpa kebijakan yang memberdayakan. Kebijakan ini sebagian besar merupakan warisan kolonial Belanda yang memperkenalkan praktik medis modern di Indonesia. Saat ini, beberapa institusi pendidikan dan pekerjaan masih mensyaratkan "sehat jasmani dan rohani", yang secara tidak langsung mendiskriminasi para difabel.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!