Mohon tunggu...
Hafshah N Fadeela
Hafshah N Fadeela Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sebagai mahasiswa S1 Program Sejarah, saya mempunyai ketertarikan yang mendalam terhadap perubahan periodik menuju integrasi yang lebih baik. Dengan pengetahuan sejarah yang saya miliki, saya bertekad untuk merangkul berbagai kompleksitas mulai dari politik, ekonomi, diplomasi, sosiologi, antropologi, seni, budaya, bahasa, pendidikan, hingga isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Menulis menjadi bagian dari passion sekaligus tekad saya dalam menerapkan prinsip Levi Strauss, “History is never only history 'of', it is always history 'for'.” sebagai penyemangat bagi saya untuk berkontribusi sebesar-besarnya kepada masyarakat dan dunia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perjalanan Menuju Inklusi: Sejarah Kebijakan Negara, Pendidikan, dan Kesehatan untuk Para Difabel Indonesia

3 Januari 2025   12:31 Diperbarui: 3 Januari 2025   09:57 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
screenshot dari laman Twitter pribadi 

30 Desember 2024 lalu, sebuah kasus yang diangkat mengenai difabel di Twitter menarik perhatian saya. Beberapa minggu sebelumnya, kebetulan saya sendiri melakukan sedikit penelitian dan penulisan tentang isu difabel untuk tugas semester akhir. Awalnya, saya juga memiliki kesalahan persepsi yang amat buruk ketika memilih topik ini dengan berpikir bahwa difabel adalah sebuah masalah kesehatan. Karena jarang berinteraksi dengan teman-teman difabel, ditambah stigma yang masih beredar di masyarakat, dan empati yang semakin mengikis seiring umur yang bertambah, maka tak dapat dipungkiri bahwa pandangan tersebut akhirnya tercerahkan seiring proses kepenulisan. Karena itu, saya harap tulisan saya, dan kasus yang dialami oleh Pak Surya, juga bisa membantu memberi wawasan bagi pembaca. Izinkan saya melampirkan tweet tersebut untuk membuka artikel ini.

Di Indonesia, isu marginalisasi masyarakat difabel menjadi perhatian besar, dengan setidaknya 10 juta orang atau 4,3% populasi menghadapi tantangan ini. Data menunjukkan bahwa lebih dari 13% rumah tangga memiliki setidaknya satu orang difabel di dalamnya. Meski angka ini mencerminkan kondisi nyata, prevalensi sebenarnya kemungkinan lebih tinggi karena keterbatasan definisi dalam sensus. Difabel di Indonesia masih mengalami kesenjangan akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan partisipasi politik. Hal ini diperburuk oleh stigma negatif yang berkembang di masyarakat, sehingga difabel sering diperlakukan tidak manusiawi, dijauhi, dan dimarginalkan, sehingga mereka sulit beradaptasi dengan masyarakat. Akibatnya, mereka kerap terjebak dalam kemiskinan. Sejalan dengan teori "culture of poverty" yang diungkapkan Oscar Lewis, kelompok miskin yang tidak terintegrasi dengan masyarakat akan semakin rentan terhadap diskriminasi dan apatisme, yang memperparah siklus kemiskinan mereka.

Jika ditinjau dari perspektif sejarah, tantangan yang dihadapi difabel saat ini memiliki akar yang panjang, dari masa pra-kolonial, hingga kolonial. Bagi masyarakat tradisional, para difabel sering dianggap sebagai akibat dari dosa atau pelanggaran tabu yang diwariskan. Kehadiran mereka sering dipandang sebagai aib keluarga. Masuknya pemerintah kolonial memperkenalkan pendekatan medis Barat yang mendefinisikan difabel sebagai kondisi medis atau penyakit. Difabel kemudian ditempatkan di rumah sakit dengan bangsal khusus, menandai awal dari program medikalisasi difabel. Pendekatan ini menggeser pandangan masyarakat terhadap difabel, tetapi juga memperkuat gagasan bahwa mereka adalah individu yang "sakit" dan perlu dikendalikan. Tantangan signifikan tersebut kemudian berkembang hingga pasca-kolonialisme, meliputi akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan layanan publik. Rata-rata tahun pendidikan bagi para difabel jauh lebih rendah dibandingkan masyarakat umum, terutama pada mereka yang mengalami tantangan berat. Selain itu, ketersediaan alat bantu seperti kacamata, alat bantu dengar, dan prostetik masih sangat minim, meskipun alat tersebut memiliki potensi besar untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Sebagai contoh, 91% dari mereka yang membutuhkan alat bantu dengar tidak memilikinya.

Indonesia memang telah mengambil langkah penting dengan mengesahkan UU Nomor 8 Tahun 2016, yang memperkuat komitmen terhadap Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas. UU ini bertujuan menghapus diskriminasi, memastikan program publik yang inklusif, serta menyediakan layanan yang mendukung kebutuhan difabel. Namun, pelaksanaan kebijakan masih menghadapi kendala, terutama terkait data yang belum memadai untuk mengidentifikasi hambatan spesifik dan menyusun respons yang efektif. 

Bahkan, Komite CRPD Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pernah mempertanyakan kebijakan Indonesia terkait tiga isu utama: praktik pemasungan oleh pengelola panti sosial, tindakan medis tanpa persetujuan para difabel atau keluarganya, serta ketidakadilan dalam sistem peradilan yang tidak mengakui hak-hak difabel mental. Isu-isu ini mencerminkan bahwa diskriminasi terhadap difabel tetap menjadi tantangan besar, meskipun mereka secara hukum diakui sebagai warga negara.

Hingga saat ini, penanganan terhadap para difabel di Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan serius. Dengan warisan diskriminasi dari masa lalu yang masih membayangi, Indonesia menghadapi tantangan besar untuk menciptakan kebijakan yang lebih inklusif dan memberdayakan difabel. Stigma, ketidakadilan sistemik, dan keterbatasan akses terhadap layanan harus diatasi secara menyeluruh untuk memastikan kesetaraan hak bagi semua warga negara.

Difabel: Sebuah Paradigma yang Berkembang dalam Sejarah dan Budaya

Indonesia, dengan keanekaragaman budayanya, memiliki berbagai paradigma tradisional dan sejarah istimewa tersendiri mengenai para difabel. Pada masa pra-kolonial hingga kolonial, difabel dipandang melalui dua kerangka besar: sebagai pelanggar tabu atau sebagai simbol kesaktian. Paradigma ini tidak hanya mencerminkan cara masyarakat memahami para difabel, tetapi juga menjadi dasar dari stigma, praktik sosial, dan kebijakan yang berkembang pada masa itu. 

Paradigma pertama, yakni tabu, merupakan konsep yang sangat akrab di kalangan masyarakat tradisional Indonesia, dengan nama-nama lokal seperti pamali, kemali, atau pantangan. Tabu, menurut Sigmund Freud, memiliki makna ganda: di satu sisi suci dan di sisi lain terlarang. Salah satu tabu yang paling menonjol adalah tabu kehamilan. Larangan-larangan ini dimaksudkan untuk melindungi keselamatan janin, tetapi juga disertai ancaman hukuman bagi pelanggar. Dalam kepercayaan masyarakat Dayak, misalnya, melubangi pohon selama masa kehamilan dipercaya dapat menyebabkan kebutaan pada bayi. Di Sunda, seorang pria dilarang berburu selama istrinya mengandung, karena pelanggaran tabu ini diyakini bisa menyebabkan cacat fisik pada anaknya. Tabu kehamilan yang dikaitkan dengan kelahiran anak difabel menjadikan difabel kerap dianggap sebagai manifestasi dari dosa atau kesalahan orang tuanya. Stigma ini tidak hanya mengucilkan mereka, tetapi juga menempatkan difabel sebagai simbol aib keluarga. Paradigma ini memperkuat diskriminasi sosial terhadap difabel yang berlangsung hingga masa kolonial.

Namun, di balik stigma tabu, difabel juga kadang dipandang sebagai simbol kesaktian, terutama dalam konteks budaya Jawa. Dalam tradisi wayang, tokoh-tokoh seperti Destarata, seorang tunanetra dalam Mahabharata, dan para Punakawan---Gareng, Petruk, Bagong, serta Semar---diperlihatkan sebagai sosok difabel yang bijaksana dan sakti. Meskipun difabel, mereka berperan penting sebagai pendamping dan pelindung para Pandawa, menggambarkan keunggulan spiritual yang melampaui keterbatasan fisik. Kisah difabel sebagai simbol kesaktian juga ditemukan dalam kehidupan nyata di lingkungan keraton Jawa. Para palawija---difabel yang tinggal di istana---diyakini memiliki kekuatan pelindung terhadap marabahaya. Mereka tidak hanya menjadi bagian dari ritual spiritual, tetapi juga menjalankan peran penting sebagai penasihat, peramu jamu, atau bahkan guru spiritual bangsawan. 

Difabel sebagai tokoh-tokoh penting dalam sejarah salah satunya berhasil diulas pada sebuah pameran seni kontemporer bergengsi: Jogja Disability Arts (JDA), dengan memamerkan karya kolaborasi yang mengeksplorasi representasi para difabel melalui narasi sejarah Jawa. Diselenggarakan pada Juli 2022 dan bertajuk "Babad Wikara," pameran ini menyajikan perjalanan para difabel dari era kerajaan hingga kolonial melalui karya seni rupa dua dimensi, video (tembang), dan patung. Pameran ini menjadi kolaborasi antara seniman difabel, seperti Sukri Budhi Darma (Butong), Zaka Nurul Giffani, dan I Kadek Agus, dengan seniman nondifabel seperti Herman Priyono dan Siam Artista.

Narasi sejarah yang diangkat dalam pameran ini mencakup empat periode penting. Karakter pertama adalah Bancak dan Doyok dari cerita Panji, yang menggambarkan tokoh abdi dalem difabel dengan kekurangan fisik maupun sensorik namun memiliki peran strategis sebagai penasihat Pangeran Panji Inu Kertapati. Kedua, Sabda Palon dan Naya Genggong dari Babad Tanah Jawi, dua penasihat Raja Brawijaya V yang dikenal dengan kemampuan membaca gejala alam meski memiliki keterbatasan fisik. Karakter ketiga adalah Wujil, tokoh dari Suluk Wujil, seorang mantan abdi dalem era Majapahit yang digambarkan sebagai cebol namun memiliki semangat belajar tinggi dalam menuntut ilmu kepada Sunan Bonang. Terakhir, Banteng Wareng dari Babad Diponegoro, seorang pengawal dan pengikut setia Pangeran Diponegoro yang memiliki tubuh mini namun berperan penting dalam perjuangan sang pangeran.

Dalam menciptakan karya ini, JDA menggunakan pendekatan riset melalui literatur dan artefak sejarah, termasuk pewayangan, kitab kerajaan, babad, serta mitos dan cerita rakyat. Melalui narasi babad, posisi difabel di masa lalu ditampilkan secara eksplisit sebagai bagian integral dari struktur sosial, mulai dari masa Singosari, Majapahit, Mataram Islam, hingga kolonial. Ketua JDA, Sukri Budhi Darma, menekankan bahwa para difabel pada masa itu memiliki peran yang signifikan, bahkan kerap disetarakan dengan masyarakat lainnya.

Selain tokoh-tokoh sejarah difabel yang lekat dengan keraton, paradigma kesaktian difabel juga meluas ke dunia pengobatan tradisional. Dukun, yang sering kali difabel, dianggap memiliki kepekaan spiritual yang tinggi. Dalam survei Van Buuren di Kediri, ditemukan bahwa banyak dukun bayi adalah tunanetra atau tunarungu. Difabel dianggap mampu menjembatani dunia nyata dan dunia spiritual, sehingga dipercaya memiliki kekuatan yang lebih besar untuk menyembuhkan atau memberikan petunjuk.

Tradisi dan mitos yang melekat dalam pandangan masyarakat tradisional Indonesia terhadap difabel memperlihatkan kontradiksi yang menarik: di satu sisi, difabel dianggap membawa aib, tetapi di sisi lain mereka dijunjung sebagai sosok sakti yang melampaui manusia biasa. Kontradiksi ini mengakar kuat dalam memori kolektif masyarakat dan menjadi dasar dari berbagai praktik budaya. Seiring waktu, pandangan ini tidak hanya mencerminkan dinamika budaya, tetapi juga membentuk cara masyarakat dan negara memperlakukan difabel. Dengan menggali kembali akar paradigma ini, kita dapat memahami bagaimana warisan tradisional dan mitos mempengaruhi kebijakan dan praktik sosial terkait difabel hingga hari ini.

Sejarah Kebijakan Negara terhadap Para Difabel di Indonesia

Bila eksistensi "Indonesia" dianggap sebagai sebuah institusi negara yang lahir dari bekas-bekas Hindia Belanda, maka tentu kita dapat menarik sejarah kebijakan mengenai para difabel hingga zaman kolonialisme. Lagipula, bukan rahasia umum bahwa banyak warisan kolonial yang masih lekat dengan kita hingga hari ini, terlepas dari hadirnya sejarah sebagai sebuah refleksi. Kebijakan terhadap difabel di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan seiring dengan dinamika politik dan sosial, terutama pada masa kolonial Hindia-Belanda. Difabel, yang dalam konteks kolonial seringkali dianggap sebagai bagian dari "tubuh sakit", mulai didefinisikan secara medis sebagai kelompok yang memerlukan perawatan dan rehabilitasi. Langkah ini mencerminkan pengaruh modernisasi kesehatan di wilayah kolonial, terutama dengan masuknya dokter-dokter Eropa sejak abad ke-17. Dalam pandangan medis kolonial, difabel tidak hanya dipandang sebagai aib sosial, tetapi juga sebagai individu yang memerlukan intervensi kesehatan, meskipun pendekatan ini kerap digunakan untuk legitimasi kontrol sosial terhadap mereka.

Salah satu kebijakan penting pada masa kolonial adalah pendirian panti sosial (armenhuis) pada tahun 1636 di Batavia. Panti ini dirancang untuk menampung individu yang tidak mampu bekerja, termasuk difabel, mantan budak, dan orang tua terlantar. Namun, akses ke panti ini tidak universal. Hanya mereka yang memiliki rekomendasi tertentu yang diterima, dan perlakuan terhadap penghuni seringkali dibedakan berdasarkan status sosial dan kekayaan. Selain panti sosial, rumah sakit mulai didirikan, tetapi segregasi rasial tetap menjadi kebijakan utama. Difabel Eropa dirawat di fasilitas yang lebih baik dibandingkan dengan difabel bumiputera, yang seringkali hanya diterima ketika dianggap mengganggu ketertiban umum. Rumah sakit ini menjadi salah satu cara untuk memisahkan difabel dari masyarakat umum, memperkuat stigma sosial bahwa mereka adalah kelompok yang harus diisolasi.

Di luar perkotaan, nasib difabel sedikit lebih baik. Mereka dapat bekerja sebagai petani atau dukun, tetap terintegrasi dalam masyarakat desa. Namun, situasi berbeda dialami oleh difabel di perkotaan yang tidak diterima di rumah sakit atau panti sosial. Mereka seringkali terpaksa mengemis untuk bertahan hidup. Kondisi ini memperlihatkan bahwa kebijakan pemerintah kolonial lebih berfokus pada pengendalian difabel daripada menciptakan sistem yang inklusif. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan di Eropa, metode penanganan difabel juga mengalami perubahan. Pada akhir abad ke-18, praktik isolasi mulai diterapkan dengan anggapan bahwa memisahkan difabel dari masyarakat dapat memberikan efek terapeutik. Reformasi ini diterapkan di Hindia-Belanda dengan pendirian bangsal khusus di rumah sakit militer pada tahun 1832 dan rumah sakit jiwa pertama di Bogor pada tahun 1882. Meski terkesan progresif, kebijakan ini justru semakin menegaskan segregasi dan medikalisasi terhadap difabel. Difabel dianggap sebagai hambatan sosial yang harus diatur secara ketat, dan upaya rehabilitasi sering kali tidak memperhitungkan integrasi mereka ke masyarakat.

Selain itu, perkembangan industri di Hindia-Belanda turut meminggirkan kelompok difabel. Standar tubuh pekerja yang ditetapkan oleh sistem kapitalis membuat mereka dianggap tidak layak untuk bekerja, sehingga semakin tersingkir dari pasar tenaga kerja. Hal ini memperkuat stigma "tidak normal" dan mengukuhkan posisi mereka sebagai kelompok marginal tanpa akses ke kehidupan yang setara. Pemerintah kolonial tidak menunjukkan upaya serius untuk menciptakan sistem yang inklusif, sehingga difabel terus hidup dalam ketidakadilan sosial.

Hal tersebut tidak banyak berubah pasca kemerdekaan. Pemerintah Indonesia selama bertahun-tahun tidak mampu menciptakan lingkungan inklusif yang memungkinkan para difabel untuk berpartisipasi secara setara dalam masyarakat umum. Kemerdekaan Indonesia belum berhasil dicicipi oleh seluruh penduduknya. Meskipun secara hukum difabel di Indonesia dianggap sebagai warga negara, tetapi masih banyak yang kesulitan mendapatkan hak-hak mendasar, dari mulai akses pendidikan, pekerjaan, hingga politik. Indonesia memang telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) pada tahun 2011 dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, yang bertujuan untuk menghapus diskriminasi dan memastikan inklusivitas---setelah sebelumnya, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat masih kurang mumpuni dalam mencerminkan perkembangan terbaru yang diamanatkan oleh CRPD. Minimnya layanan khusus dan fasilitas dari pemerintah menjadi masalah utama. Keterbatasan aksesibilitas mengakibatkan gangguan kecil dapat berkembang menjadi hambatan besar dalam kehidupan sehari-hari. Transportasi umum, fasilitas pendidikan, dan ruang publik lainnya sering kali tidak ramah terhadap penyandang para difabel. Hal ini membuat mereka menghadapi tekanan sosial dan ekonomi yang berat.

Pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Suharto, berbagai organisasi untuk para difabel didirikan. Namun, pendekatan pemerintah tetap mendukung segregasi. Difabel dipandang sebagai beban personal yang harus direhabilitasi. Kebijakan pemerintah saat itu mendorong para difabel untuk diinstitusionalisasi demi efisiensi, menjauhkan mereka dari masyarakat umum. Banyak organisasi yang dibentuk oleh pemerintah bertujuan untuk mengontrol kehidupan para difabel, meskipun di permukaan terlihat seperti upaya amal. Organisasi-organisasi ini sering terhubung dengan lembaga internasional tetapi tetap berjalan seiring dengan agenda pemerintah.

Selain itu, para difabel diklasifikasikan berdasarkan jenis kebutuhan khusus mereka, seperti tunanetra atau tunarungu. Pendekatan ini tidak hanya mempertahankan segregasi tetapi juga melanggengkan ketergantungan pada amal tanpa kebijakan yang memberdayakan. Kebijakan ini sebagian besar merupakan warisan kolonial Belanda yang memperkenalkan praktik medis modern di Indonesia. Saat ini, beberapa institusi pendidikan dan pekerjaan masih mensyaratkan "sehat jasmani dan rohani", yang secara tidak langsung mendiskriminasi para difabel.

Namun, pasca-Orde Baru, terdapat perubahan paradigma terhadap para difabel. Pemerintah mulai mengadopsi pandangan bahwa disabilitas adalah bentuk penindasan sosial yang berakar pada norma-norma masyarakat. Pandangan ini didorong oleh ideologi normalisme yang menganggap para difabel sebagai "abnormal". Untuk merespons masalah ini, konsep disabilitas mulai didekonstruksi, dan istilah "difabel" (differently abled people) diperkenalkan oleh Alm. Mansour Fakih, seorang mantan komisioner Komnas HAM. Perubahan terminologi ini diinisiasi untuk mendorong perubahan kebijakan dan sikap masyarakat. Istilah baru ini menekankan bahwa setiap individu memiliki kemampuan unik, menggeser fokus dari keterbatasan menuju keberagaman kemampuan.

Momen penting dalam sejarah perjuangan hak-hak para difabel terjadi pada Pemilu 2004, ketika Abdurrahman Wahid, mantan presiden yang tunanetra, dilarang mencalonkan diri oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena dianggap tidak memenuhi kriteria "sehat jasmani dan rohani". Insiden ini memicu diskusi publik yang luas tentang disabilitas, memobilisasi masyarakat, dan menciptakan kesadaran baru tentang hak-hak para difabel. Demonstrasi besar terjadi di berbagai wilayah, seperti Yogyakarta dan Jawa Timur, dengan ribuan orang turun ke jalan menyuarakan dukungan. Setelah 2004, istilah "difabel" semakin populer dan digunakan secara luas di Indonesia. Diskusi-diskusi publik, seminar, dan kampanye hak-hak para difabel berkembang pesat, membawa isu ini ke arus utama. Peristiwa ini juga menandai pergeseran dari pendekatan medis menuju model sosial difabel, di mana hambatan yang dihadapi para difabel lebih dipahami sebagai akibat dari struktur sosial daripada kondisi individu.

Perjalanan Pendidikan untuk Para Difabel

Hak pendidikan bagi difabel, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 UU No. 8 Tahun 2016, merupakan isu yang sangat relevan dalam konteks pendidikan inklusif di Indonesia. Pendidikan inklusi menjadi wacana utama yang mencerminkan upaya negara untuk memberikan kesempatan belajar yang setara. Namun, implementasi kebijakan ini menghadapi berbagai tantangan, seperti kurangnya infrastruktur yang mendukung, minimnya anggaran, serta rendahnya kesadaran masyarakat. Dalam praktiknya, pendidikan inklusif seringkali terhambat oleh sejarah pendidikan yang tersegregasi dan lemahnya pengawasan regulasi.

Pendidikan untuk para difabel telah dirintis sejak akhir abad ke-19 di Hindia-Belanda. Dahulu, penyandang tunanetra menghadapi diskriminasi sosial tanpa ada kebijakan pemerintah yang melindungi hak-hak mereka. Sebagian besar kebutaan disebabkan oleh epidemi trakoma akibat buruknya sanitasi, sementara penyakit gonorhea juga menyumbang angka kebutaan di berbagai kalangan. Menyadari tingginya jumlah penyandang tunanetra, gagasan untuk mendirikan sekolah bagi mereka muncul dari inisiatif swasta, khususnya H.J. Lenderink, Direktur Blindeninstituut Amsterdam, yang bekerja sama dengan Dr. C.H.A. Westhoff, seorang dokter mata berpengalaman di Hindia-Belanda. Mereka berencana mendirikan sekolah berasrama untuk anak-anak tunanetra tanpa memandang latar belakang agama atau ras, dengan program pendidikan seperti membaca huruf Braille, bermain musik, dan keterampilan lainnya.

Usaha ini mendapat dukungan dari pemerintah kolonial melalui Menteri Urusan Koloni dan Gubernur Jenderal saat itu. Pada 1901, didirikanlah Vereeniging tot Verbetering van het Lot der Blinden in Nederlandsch Oost-Indi (VVBNI), organisasi yang bertugas mengelola sekolah dan menggalang dana. Blindeninstituut pertama berdiri di Bandung pada September 1901, dengan dana yang berasal dari sumbangan berbagai pihak, termasuk Raja Siam Rama V. Sekolah ini awalnya bertempat di Jalan Cicendo, tetapi karena meningkatnya jumlah murid, akhirnya dipindahkan ke lokasi yang lebih besar di Jalan Braga.

Meski dianggap sebagai inovasi sosial, fasilitas yang disediakan menunjukkan perbedaan kelas sosial. Asrama untuk murid Eropa lebih mewah, sementara asrama bumiputera lebih sederhana meskipun tetap memenuhi kebutuhan dasar. Selain pendidikan formal seperti aritmatika, bahasa, dan geografi, sekolah ini mengajarkan keterampilan praktis untuk membantu murid beradaptasi dengan kehidupan setelah lulus. Donasi, termasuk bahan pangan, menjadi sumber utama operasional sekolah, dengan perusahaan seperti Rathkamp & Co. turut menyumbang. Dengan berdirinya Blindeninstituut, kesadaran akan hak-hak para difabel di Hindia-Belanda mulai tumbuh, menandai awal dari perhatian terhadap kelompok yang sebelumnya terpinggirkan ini.

Namun, seiring perjalanan pasca-kemerdekaan, hak dan aksesibilitas kaum difabel masih harus terus diperjuangkan. Pendidikan bagi anak difabel masih menghadapi berbagai tantangan serius hari ini. Hampir tiga dari sepuluh anak difabel tidak pernah mengenyam pendidikan, dengan jumlah anak usia 7--18 tahun yang tidak bersekolah mencapai sekitar 140.000 orang, menurut Survei Ekonomi Nasional (2018). Kendala utama dalam mewujudkan pendidikan inklusif mencakup minimnya pelatihan untuk guru, data yang belum lengkap tentang anak difabel di luar sekolah, serta pandangan keluarga yang meremehkan manfaat pendidikan bagi mereka dibanding anak non-difabel.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan para difabel sangat rendah. Sebanyak 20,51% para difabel tidak pernah sekolah, sementara 29,35% tidak tamat SD. Sebagian lainnya menyelesaikan pendidikan di tingkat SD (26,32%), SMP (9,97%), SM (10,47%), dan hanya 3,38% mencapai perguruan tinggi. Sebaliknya, kelompok non-difabel menunjukkan angka pendidikan yang jauh lebih baik, dengan mayoritas memiliki latar belakang pendidikan SM (29,66%) dan 9,68% berhasil menamatkan pendidikan tinggi. Jumlah penduduk non-difabel yang tidak pernah sekolah jauh lebih kecil, hanya 3,05%, dibandingkan para difabel. Data ini mencerminkan kesenjangan yang signifikan dalam akses dan pencapaian pendidikan antara para difabel dan penduduk umum.

Kebijakan pemerintah yang didasarkan pada wacana normalitas dan "kebenaran" seringkali justru semakin meminggirkan para difabel. Alih-alih mengintegrasikan mereka ke dalam ruang publik, seperti sekolah umum, perusahaan, atau institusi lainnya, kebijakan ini memperkuat stigma bahwa mereka adalah individu "tidak normal" yang harus dipisahkan dari masyarakat. Salah satu bentuk segregasi tersebut adalah pembangunan ribuan Sekolah Luar Biasa (SLB) yang diperuntukkan bagi anak-anak difabel, di mana mereka dipisahkan berdasarkan jenis kebutuhan khususnya.

Di SLB, siswa tidak hanya mendapatkan pendidikan formal, tetapi juga diajarkan keterampilan seperti menjahit, mengukir, atau melukis. Namun, meskipun fasilitas ini bertujuan memberikan keterampilan praktis, pendekatan segregatif ini mempertegas pengucilan para difabel dari lingkungan masyarakat yang lebih luas. Pola pendidikan semacam ini mengesankan bahwa para difabel hanya cocok berada di ruang khusus, sehingga mempersempit kesempatan mereka untuk berpartisipasi setara dalam masyarakat umum.

Meski demikian, pendekatan berbasis lingkungan, teknologi, dan kesadaran sosial mulai diupayakan untuk mendukung pendidikan inklusi. Penggunaan teknologi seperti e-learning menunjukkan potensi dalam menjembatani kebutuhan pendidikan difabel, sementara peningkatan kapasitas sekolah dan guru menjadi langkah penting untuk menciptakan lingkungan belajar yang inklusif. Namun, untuk mewujudkan pendidikan inklusi yang efektif, diperlukan komitmen yang lebih besar dari pemerintah, tidak hanya dalam pengaturan kebijakan, tetapi juga dalam implementasi dan evaluasi berkelanjutan agar hak pendidikan bagi difabel dapat diwujudkan secara adil dan setara.

Akses Difabel terhadap Layanan Kesehatan

Hak habilitasi dan rehabilitasi bagi para difabel yang dijamin dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 mencakup berbagai aspek yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup mereka. Proses rehabilitasi memerlukan pendekatan menyeluruh yang mencakup pengembangan infrastruktur, pelatihan tenaga medis, komunikasi inklusif, serta dukungan sosial-politik seperti kebijakan yang ramah difabel dan akses transportasi. Faktor-faktor ini saling mendukung untuk memastikan implementasi program yang berkelanjutan dan inklusif.

Selain itu, hak kesehatan para difabel juga diatur dalam Pasal 61--74 UU yang sama. Pemenuhan hak ini meliputi akses terhadap alat bantu seperti kursi roda listrik dengan standar tertentu serta pendidikan kesehatan reproduksi, yang penting bagi remaja tunagrahita untuk mendukung kemandirian mereka. Di sisi lain, pengukuran indikator kesehatan seperti biometrik juga relevan dalam mencegah penurunan aktivitas sehari-hari di kalangan lansia difabel. Dengan pendekatan yang terpadu dan berbasis kebijakan, hak-hak ini berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan para difabel di Indonesia.

Dahulu, akses difabel terhadap pelayanan kesehatan pada masa kolonial Hindia-Belanda sangat bergantung pada status ras dan sosial mereka. Rumah sakit militer yang pertama kali didirikan hanya menerima pasien Eropa, sementara bumiputera dan etnis Cina harus menggunakan fasilitas yang jauh lebih terbatas. Rumah Sakit Cina, misalnya, awalnya hanya melayani etnis Cina dan baru menerima pasien Muslim pada tahun 1753. Namun, kualitas perawatan tetap berbeda secara signifikan dibandingkan dengan fasilitas yang tersedia bagi orang Eropa. Di luar Jawa, layanan kesehatan bahkan lebih minim. Difabel yang memerlukan perawatan sering kali harus dikirim ke Batavia karena fasilitas lokal tidak memadai. 

Perawatan terhadap difabel mental menjadi salah satu fokus utama pada masa itu. Gangguan kejiwaan sering kali dikaitkan dengan ketidakseimbangan tubuh yang dipengaruhi oleh iklim tropis. Dokter Eropa menggunakan berbagai metode seperti bekam dan trepanasi untuk mengatasi masalah ini, meskipun hasilnya sering kali tidak efektif. Pasien yang dianggap "sulit diatur" kerap mengalami perlakuan tidak manusiawi, seperti cambukan atau pasungan. Praktik ini mencerminkan kurangnya pemahaman dan sumber daya untuk menangani difabel secara lebih bermartabat. Pendirian rumah sakit jiwa di Bogor pada tahun 1882 menandai upaya pertama untuk menyediakan fasilitas khusus bagi difabel mental. Namun, kebijakan segregasi tetap menjadi ciri utama. Paviliun-paviliun dibedakan berdasarkan ras, dan perawatan yang diberikan sangat bergantung pada status sosial pasien. Difabel Eropa cenderung menerima perawatan yang lebih baik, seperti terapi udara terbuka dan perawatan di tempat tidur, sementara bumiputera sering kali hanya diterima jika mereka dianggap mengganggu ketertiban umum. Meskipun rumah sakit jiwa memperkenalkan metode perawatan baru, seperti terapi isolasi, kebijakan ini tetap memperkuat segregasi dan medikalisasi difabel. Mereka terus diperlakukan sebagai kelompok yang perlu diawasi dan diatur, tanpa upaya nyata untuk mengintegrasikan mereka ke dalam masyarakat. Kebijakan ini, meski memberikan beberapa bentuk perlindungan, justru semakin mengukuhkan difabel sebagai kelompok yang terpinggirkan dalam tatanan sosial kolonial.

Sementara hari ini, meskipun program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah mengakomodasi para difabel dengan memberikan jaminan kesehatan melalui kebijakan yang memfasilitasi akses mereka, masih terdapat berbagai hambatan dalam implementasinya. Salah satu tantangan utama adalah proses pendataan yang tidak seragam, baik antar instansi pemerintah pusat dan daerah maupun di antara lembaga yang berbeda, yang menghambat pemetaan peserta JKN para difabel. Selain itu, kebijakan rujukan online yang diterapkan mengharuskan para difabel untuk berobat secara berjenjang, sehingga mereka tidak dapat langsung mengakses fasilitas kesehatan terdekat. Dalam hal fasilitas kesehatan, meskipun ada regulasi yang mewajibkan bangunan pelayanan kesehatan untuk ramah difabel, kenyataannya banyak fasilitas yang belum sepenuhnya memenuhi standar aksesibilitas, seperti kurangnya fasilitas pendukung seperti toilet, kursi roda, dan jalur khusus bagi para difabel.

Contoh kasus yang menggambarkan masalah ini ditemukan di salah satu Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Kota Surakarta yang dibangun dengan anggaran APBD, namun masih belum menyediakan aksesibilitas yang memadai bagi pengguna kursi roda, seperti kursi prioritas, tempat parkir khusus, dan tanda yang dapat membantu para difabel tuli. Selain itu, di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, masyarakat difabel menghadapi kesulitan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Mereka harus menempuh perjalanan hingga 13 kilometer untuk berobat di puskesmas terdekat, karena tidak ada fasilitas kesehatan khusus untuk mereka di desa. Fasilitas yang ada pun masih belum ramah difabel, dengan minimnya alat bantu seperti kursi roda dan pegangan rambat, serta tenaga kesehatan yang kurang terlatih dalam berkomunikasi dengan para difabel.

Lebih jauh, survei Indonesia Corruption Watch (ICW) yang dilakukan pada 2019 mengungkapkan bahwa 72,2% responden para difabel melaporkan tidak adanya toilet yang ramah difabel di fasilitas kesehatan, sementara 85% menyatakan bahwa tidak ada jalur atau loket khusus untuk para difabel. Selain itu, 74,1% responden merasa bahwa tenaga kesehatan belum cukup mampu untuk menangani kebutuhan mereka, terutama dalam berkomunikasi dengan para difabel tuna rungu dan tuna wicara. Penyelidikan lebih lanjut menunjukkan bahwa banyak fasilitas kesehatan yang telah dibangun tanpa terlebih dahulu berkoordinasi dengan dinas kesehatan mengenai standar bangunan yang ramah difabel, yang menyebabkan kesulitan dalam memenuhi peraturan yang ada. 

Sebagai rujukan, Thailand, sebagai negara yang memiliki sistem kesehatan paling menyeluruh dan lengkap di Asia, telah menunjukkan komitmen yang lebih besar dalam mengakomodasi kebutuhan para difabel melalui program Universal Health Coverage (UHC) dan sistem kesehatan yang ramah difabel. Dengan adanya sistem rujukan berjenjang yang efektif dan standar pelayanan minimum di seluruh fasilitas kesehatan, Thailand berhasil menyediakan akses kesehatan yang lebih inklusif, termasuk bagi para difabel. Pemerintah Thailand juga mengimplementasikan Undang-Undang Pemberdayaan Penyandang Disabilitas yang memberikan berbagai fasilitas dan tunjangan sosial bagi para difabel, seperti pembebasan pajak, transportasi murah, dan akses kesehatan yang terjangkau. Selain itu, fasilitas kesehatan di Thailand, baik PCU maupun rumah sakit, telah dilengkapi dengan fasilitas ramah difabel seperti kursi roda, pegangan rambat, dan toilet khusus, yang memudahkan para difabel dalam mengakses layanan kesehatan yang mereka butuhkan.

Jadi, walau Indonesia telah membuat regulasi yang mengatur hak akses kesehatan bagi para difabel telah ada, implementasinya di lapangan masih menghadapi berbagai kendala. Salah satu masalah utama adalah ketidakseimbangan antara regulasi yang baru diterapkan dengan fasilitas kesehatan yang sudah lama berdiri, yang menyebabkan kesulitan dalam menyesuaikan aksesibilitas bangunan untuk para difabel. Selain itu, masih minimnya tenaga kesehatan yang terlatih untuk menangani kebutuhan khusus para difabel memperburuk situasi. Fasilitas kesehatan sering kali tidak memprioritaskan para difabel, mengingat jumlah mereka yang dianggap sedikit dibandingkan dengan populasi umum. Hal ini menyebabkan kurangnya perhatian terhadap penyediaan sarana yang ramah difabel, yang pada gilirannya mengindikasikan bahwa perlindungan sosial bagi para difabel belum optimal. Kasus di Surakarta dan Kabupaten Timor Tengah Selatan menunjukkan bahwa banyak fasilitas kesehatan yang belum memiliki aksesibilitas dasar seperti kursi roda, toilet difabel, atau staf terlatih untuk berkomunikasi dengan pasien difabel, yang membatasi hak mereka untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak.

What Next?

Perjalanan kebijakan dan perlakuan terhadap para difabel di Indonesia mencerminkan perubahan signifikan dari masa pra-kolonial hingga era modern. Seiring berjalannya waktu, Indonesia mulai mengadopsi kebijakan yang lebih inklusif, seperti pengesahan UU Nomor 8 Tahun 2016, untuk melindungi hak-hak para difabel. Namun, implementasi kebijakan ini masih terkendala oleh tantangan besar, terutama terkait stigma sosial, keterbatasan akses terhadap pendidikan dan kesehatan, serta ketidakadilan sistemik yang masih terjadi. 

Pandangan terhadap difabel di Indonesia juga dipengaruhi oleh paradigma tradisional yang telah berkembang dalam sejarah dan budaya. Pada masa pra-kolonial, difabel seringkali dipandang sebagai pelanggar tabu atau sebagai simbol kesaktian. Di satu sisi, mereka dianggap sebagai aib keluarga, terutama dalam konteks tabu kehamilan yang berkaitan dengan kelahiran anak difabel. Di sisi lain, dalam tradisi budaya Jawa, difabel dipandang sebagai tokoh bijaksana dengan kekuatan spiritual yang melampaui keterbatasan fisik, seperti yang tercermin dalam tokoh-tokoh wayang dan sejarah keraton. Kontradiksi pandangan ini mencerminkan dinamika budaya yang mempengaruhi sikap masyarakat terhadap difabel, yang masih terlihat dalam berbagai praktik sosial dan kebijakan hingga hari ini.

Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama untuk mengatasi hambatan-hambatan ini dan menciptakan masyarakat yang lebih inklusif. Sebagai langkah ke depan, untuk mewujudkan inklusi yang lebih menyeluruh, pemerintah harus memperkuat implementasi kebijakan yang sudah ada dengan melibatkan lebih banyak sektor swasta dan masyarakat dalam penyediaan fasilitas yang ramah difabel. Selain itu, penting untuk melakukan pendidikan dan pelatihan bagi tenaga medis dan pendidik agar lebih peka terhadap kebutuhan difabel. Kita juga masih perlu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak-hak para difabel dan memerangi stigma yang masih ada. Melalui langkah-langkah ini, Indonesia dapat mewujudkan masyarakat yang lebih adil dan menghargai setiap individu, terlepas dari latar belakang atau kondisi fisiknya.

Referensi

Ambarwati, O. C., Putri, A. N., & Nugroho, R. (2022). Studi deskriptif riset kebijakan tentang hak-hak difabel di Indonesia. Matra Pembaruan, 6(1), 29--41.

Australia Indonesia Partnership for Economic Governance, Monash Business School, & Australian Government. (2017). Disability in Indonesia: What can we learn from the data?

Dewayanti, I., & Suryono, A. (2023). Perlindungan sosial terhadap hak atas akses pelayanan kesehatan bagi penyandang disabilitas. Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi, 11(2), 

Fathoni, R. S. (2021). Medikalisasi dan sosial kontrol: Kebijakan terhadap difabel di Hindia-Belanda abad XVII-XIX. Journal of Disability Study INKLUSI, 8(1), 63--74.

Fathoni, R. S. (2023). Blindeninstituut Bandung: Sekolah pertama untuk penyandang disabilitas di Hindia-Belanda. Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya, 24(1), 13--28.

Indonesia Corruption Watch. (2019, August 19). Diskusi publik: Mendorong peningkatan akses dan kualitas layanan kesehatan bagi penyandang disabilitas.

Jogja Disability Arts (JDA). (2022, July 7). Jogja Disability Arts dengan Babad Wikara pada ArtJog MMXXII. JDA Yogyakarta. https://jogjadisabilityarts.com/berita/detail/jogja-disability-arts-dengan-babad-wikara-pada-artjog-mmxxii-19072022ynb9

Nursyamsi, F., Arifianti, E. D., Aziz, M. F., Bilqish, P., & Marutama, A. (2015). Kerangka hukum disabilitas di Indonesia: Menuju Indonesia ramah disabilitas. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK).

Suharto, S., Kuipers, P., & Dorsett, P. (2016). Disability terminology and the emergence of 'diffability' in Indonesia. Disability & Society, 31(5), 693--712. https://doi.org/10.1080/09687599.2016.1200014

Thohari, S. (2019). Promoting "Difabel," promoting social model of disability in Indonesia: A study of disability movement in Indonesia. Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya, 3(1), 79--99. https://doi.org/10.21776/ub.sosiologi.jkrsb.2019.003.1.06 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun