Mohon tunggu...
Hafshah N Fadeela
Hafshah N Fadeela Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sebagai mahasiswa S1 Program Sejarah, saya mempunyai ketertarikan yang mendalam terhadap perubahan periodik menuju integrasi yang lebih baik. Dengan pengetahuan sejarah yang saya miliki, saya bertekad untuk merangkul berbagai kompleksitas mulai dari politik, ekonomi, diplomasi, sosiologi, antropologi, seni, budaya, bahasa, pendidikan, hingga isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Menulis menjadi bagian dari passion sekaligus tekad saya dalam menerapkan prinsip Levi Strauss, “History is never only history 'of', it is always history 'for'.” sebagai penyemangat bagi saya untuk berkontribusi sebesar-besarnya kepada masyarakat dan dunia.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Reformasi di Persimpangan Zaman: Refleksi Panggung Perlawanan Mahasiswa dalam Dialog Lintas Generasi

3 Januari 2025   09:25 Diperbarui: 3 Januari 2025   09:30 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Ribuan mahasiswa menduduki Gedung MPR/DPR unjuk rasa menuntut Soeharto mundur sebagai Presiden RI. (Sumber: Dr. Rully Kesuma, 1998).

Dampaknya tentu dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, baik etnis Tionghoa maupun non-Tionghoa. Banyak warga yang menjadi korban amuk massa, sementara lumpuhnya ekonomi dan kenaikan harga barang semakin memperparah situasi. Saya juga menyaksikan bagaimana aparat keamanan saat itu tidak dapat berbuat banyak. Polisi bahkan takut mengenakan seragam mereka karena sering menjadi sasaran amukan massa. Mobil-mobil polisi yang lewat dilempari atau dibakar. Situasi benar-benar di luar kendali.

Saya pribadi merasa bahwa yang paling dirugikan dalam peristiwa ini adalah seluruh masyarakat Indonesia. Bukan hanya satu kelompok atau etnis tertentu. Kita semua dirugikan oleh pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun, dengan pembangunan yang tidak merata, korupsi, kolusi, nepotisme, dan utang luar negeri yang terus menumpuk. Kerusuhan Mei 1998 adalah akumulasi dari kemarahan yang telah lama terpendam, namun sayangnya dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan mereka sendiri. Bagi saya, peristiwa ini adalah cerminan dari krisis sosial, ekonomi, dan politik yang menghancurkan harapan masyarakat Indonesia di akhir masa Orde Baru.

Menggugat Negara Kemarin, Hari Ini, dan Esok

Akan ada kevakuuman besar pasca ini. Bayangkan sebuah tatanan yang mendominasi 32 tahun runtuh, dan tidak ada persiapan apa-apa untuk berjalan ke depan (Mas Yaswin).

"Reformasi" 1998, jika masih bisa disebut sebagai sebuah reformasi, menghasilkan banyak sudut pandang. Beberapa girang karena kepentingannya tercapai. Beberapa lega karena momentum reformasi berhasil mengantarkan mereka pada posisi dan prestasi tertentu. Beberapa lainnya menelan pil pahit kekecewaan. Dan beberapa semata mengenang. Sebagaimana yang dijelaskan Suparno (2012), bahwa gerakan mahasiswa sering dipandang sebagai gerakan moral dibandingkan gerakan politik praktis. Perguruan tinggi memiliki tiga fungsi utama: memastikan lulusan memiliki kualifikasi minimal di bidangnya, mentransmisikan serta mengembangkan tradisi kultural, dan membentuk kesadaran politik mahasiswa. Dalam konteks tersebut, mahasiswa melihat diri mereka sebagai calon elite bangsa sekaligus agen perubahan sosial. Mereka kerap terlibat dalam aktivitas politik seperti demonstrasi, deklarasi, atau mendatangi simbol-simbol kekuasaan. Namun, peran ini sering terbatas karena perubahan sebenarnya cenderung didorong oleh elite politik yang memiliki sumber daya lebih besar. Setelah aksi selesai, mahasiswa sering dipaksa mundur, baik dalam situasi kemenangan semu maupun kekalahan. Meskipun aksi mereka memberikan tekanan pada pemerintah yang dinilai otoriter, peran mahasiswa umumnya berhenti di titik tersebut.

Reformasi 1998 merupakan peristiwa yang dipandang berbeda oleh setiap orang, karena belum ada konsep reformasi yang benar-benar disepakati bersama. Tidak ada rencana yang matang maupun tujuan akhir yang jelas mengenai reformasi itu sendiri. Apa sebenarnya yang ingin dicapai? Seperti apa Indonesia yang kita harapkan? Dan sampai kapan upaya untuk mewujudkannya akan terus berjalan?

Dua narasumber kami, Mas Agus dan Mas Yaswin sama-sama setuju bahwa meskipun Reformasi 1998 tidak membawa perubahan signifikan, kita tidak bisa menutup mata bahwa ada sesuatu yang berubah. Kebebasan berbicara mulai terbuka, pemilu lebih kompetitif dengan partai-partai yang lebih beragam, meski tidak sempurna. Namun, Mas Agus sendiri menekankan bahwa demokratisasi dan reformasi yang dikehendaki berusaha dijalankan, bukan berarti kondisi di bidang lain secara otomatis menjadi lebih baik. Ada proses yang harus dilalui, dan perubahannya tidak bisa terjadi secara instan seperti membalikkan telapak tangan. Dulu, banyak orang, termasuk mahasiswa, berpikir bahwa perubahan harus dimulai dari politik terlebih dahulu. Harapannya, jika kondisi politik di tingkat atas sudah benar, maka perubahan ekonomi dan struktur di tingkat bawah akan mengikuti dengan sendirinya. Namun, kenyataannya tidak semudah itu.

Mas Agus menyoroti bahwa setelah terjadi pergantian kepemimpinan nasional, ada ekspektasi besar bahwa pemerintahan yang baru, yang dipilih secara demokratis, akan membawa perbaikan di semua lini. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Setelah reformasi, muncul banyak kelompok yang dulunya memusuhi Orde Baru tetapi kemudian berebut posisi dan kekuasaan. Hal ini justru menimbulkan masalah baru. Selaras dengan Mas Yaswin yang berpandangan bahwa, hanya kekuasaan formal Soeharto yang jatuh pada 1998. Tetap ada yang laten - struktur kekuasaan lama yang masih bercokol. Uang tetap berperan besar di parlemen, dan wajah-wajah lama hanya diganti oleh orang-orang baru yang membawa pola pikir sama. Jadi, apa yang disebut Reformasi 1998 itu sebenarnya tidak meruntuhkan struktur kekuasaan sepenuhnya.

Kita bisa melihat buktinya: setelah Soeharto turun, partai-partai politik tetap berjalan. Pemilu diadakan, tetapi perilaku politisi tetap sama. Reformasi memang membawa perubahan, tapi perubahan itu hanya sedikit. Yang berubah adalah ruang kebebasan berbicara - orang bisa lebih bersuara - tetapi struktur kekuasaannya tetap sama. Hegemoni Orde Baru hanya bergeser bentuknya. Dulu kita mengenal monarki - kekuasaan yang terpusat di satu orang. Tapi setelah Reformasi, monarki itu berubah menjadi "oli" atau oligarki. Para baron baru muncul dan menguasai semua lini, dari pusat hingga pulau-pulau terjauh. Kekayaan negara ini sudah "dikapling-kapling" oleh mereka. Struktur kekuasaan yang lama tetap hidup. Berbeda dengan Jerman yang memperlakukan Nazi setelah Perang Dunia II - atau bahkan Soeharto sendiri dalam memanfaatkan PKI sendiri sebagai legitimasi rezimnya: partainya dibubarkan. Sementara di Indonesia, mesin politik lama tetap berjalan. Itulah yang membuat perubahan menjadi sangat kecil.

Mas Yaswin berpendapat jika ingin benar-benar merombak sistem yang dituntut selama reformasi, harus ada pemotongan satu generasi. Teori "potong generasi" tersebut menurutnya penting, karena apabila generasi itu tidak di-"cut off", maka yang kita dapatkan hanya pergantian sementara saja. Namun, di sisi lain, Pak Farid justru mengungkapkan penyesalan mendalamnya terhadap rekan-rekan mahasiswanya dulu pada tahun 1998 yang justru "mengkhianati" perjuangan reformasi hari ini. Dalam politik, pertemanan abadi adalah dongeng yang menyisakan pragmatisme. Jika bisa mengulang waktu dan tahu masa depan Indonesia sekarang, ia dulu akan lebih memilih untuk tidak turun demonstrasi ke jalan. Ia tidak menyesal menurunkan Soeharto, namun menyesal bahwa reformasi berujung seperti hari ini.

Gambar 9. Rapat Akbar di Parkiran Balairung UI (Sumber: Arsip Universitas Indonesia, 12 Maret 1998)
Gambar 9. Rapat Akbar di Parkiran Balairung UI (Sumber: Arsip Universitas Indonesia, 12 Maret 1998)

Namun, sebagai mahasiswa sejarah, Mas Yaswin meminta kami untuk melihat pola sejarah bukan sebatas belajar tentang masa lalu, tetapi juga untuk memahami bagaimana masa depan terbentuk. Sejarah bergerak dalam rangkaian yang berkesinambungan. Peristiwa Reformasi 1998, misalnya, tidak bisa dilepaskan dari tahun 1966. Lalu, kejadian 1966 pun berkaitan dengan masa kemerdekaan 1945, dan kemerdekaan 1945 pun memiliki akarnya di Sumpah Pemuda 1928. Semua itu saling berhubungan dengan pendekatan yang menarik: dari masa kontemporer lalu mundur ke belakang. Pendekatan ini dilakukan sejarawan seperti Anthony J. Reid. Alih-alih memulai dari sejarah prasejarah atau masa-masa awal Indonesia - Megalitikum, masa Hindu-Buddha, masa Islam - kita bisa memulai dari masa kontemporer terlebih dahulu, seperti 1998, lalu mundur ke 1966, 1945, hingga 1928. Menurut Mas Yaswin, pendekatan ini memberi gambaran sejarah yang lebih jelas dan lebih runtut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun