Mohon tunggu...
Hafshah N Fadeela
Hafshah N Fadeela Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sebagai mahasiswa S1 Program Sejarah, saya mempunyai ketertarikan yang mendalam terhadap perubahan periodik menuju integrasi yang lebih baik. Dengan pengetahuan sejarah yang saya miliki, saya bertekad untuk merangkul berbagai kompleksitas mulai dari politik, ekonomi, diplomasi, sosiologi, antropologi, seni, budaya, bahasa, pendidikan, hingga isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Menulis menjadi bagian dari passion sekaligus tekad saya dalam menerapkan prinsip Levi Strauss, “History is never only history 'of', it is always history 'for'.” sebagai penyemangat bagi saya untuk berkontribusi sebesar-besarnya kepada masyarakat dan dunia.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Reformasi di Persimpangan Zaman: Refleksi Panggung Perlawanan Mahasiswa dalam Dialog Lintas Generasi

3 Januari 2025   09:25 Diperbarui: 3 Januari 2025   09:30 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Ribuan mahasiswa menduduki Gedung MPR/DPR unjuk rasa menuntut Soeharto mundur sebagai Presiden RI. (Sumber: Dr. Rully Kesuma, 1998).

Gambar 4. Simposium Kepedulian UI Terhadap Masa Depan Indonesia di Pusat Studi Jepang UI (Sumber: Arsip Universitas Indonesia, 30 Maret-1 April 1998)
Gambar 4. Simposium Kepedulian UI Terhadap Masa Depan Indonesia di Pusat Studi Jepang UI (Sumber: Arsip Universitas Indonesia, 30 Maret-1 April 1998)

Menariknya, saat itu saya juga bekerja sebagai reporter di TPI, yang justru bertugas mengumpulkan data untuk sebuah buku tentang kepemimpinan Pak Harto. Ini situasi yang ironis bagi saya. Sementara saya ikut terlibat dalam gelombang reformasi, saya justru mendapat data positif tentang Pak Harto. Tugas ini mengharuskan saya menemui berbagai narasumber, seperti menteri-menteri dan tokoh-tokoh agama, termasuk Ketua MUI waktu itu, Pak Hasan Basri. Sebagian besar narasumber memberikan pandangan yang positif tentang Pak Harto. Jadi, bisa dibilang data yang saya kumpulkan untuk buku itu sebagian besar berisi pujian terhadap kepemimpinan beliau.

Teman-teman mahasiswa hari ini tidak bisa membayangkan betapa ramainya suasana di Gedung DPR-MPR saat itu. Semua berkumpul dengan agenda masing-masing, tetapi memiliki satu tujuan utama: perubahan. Saya membawa jaket kuning kemana-mana, meskipun di sisi lain saya masih harus menyelesaikan tugas sebagai reporter. Akhirnya, situasi di gedung DPR-MPR menjadi salah satu momen paling bersejarah dalam hidup saya, di mana tuntutan reformasi menggema begitu kuat di tengah perlawanan terhadap status quo.

Pada akhirnya, "mengapa" dalam pertanyaan kita mengenai latar belakang reformasi 1998 dari tiap individu memiliki jawaban yang berbeda-beda sekaligus sama. Letak perbedaan besar terdapat pada ekspektasi masing-masing terhadap reformasi itu sendiri. Saat itu, yang menyatukan pikiran dan prioritas mahasiswa dan masyarakat sipil adalah satu: menggulingkan rezim dan mengoyak keresahan yang memuncak. Bagaimana, dan hasilnya, belum jadi pertimbangan masak-masak seluruh pihak.

Jejak Perlawanan 1998: Bagaimana

Gerakan massa pada tahun tersebut adalah sebuah prestasi besar bangsa. Bagaimana tidak? Benar seperti ujar Mas Yaswin, bahwa Orde Baru telah mencekal Indonesia selama paling tidak separuh rata-rata hidup seseorang. Kita bisa membayangkan seberkuasa apa rezim otoriter tersebut - dan tentu mencurigakan apabila "sebatas" gerakan massa saja dapat menggulingkannya. Tentu ada yang bermain di belakangnya, tapi mari kita geser hipotesis tersebut. Yang dapat kami ulas dan peroleh dari narasumber kami adalah bagaimana dan seperti apa pergerakan mahasiswa saat itu diorganisir hingga dapat membentuk sebuah gerakan nasional yang masif dan raksasa.

Padahal, teknologi komunikasi dan informasi belum secanggih abad ke-21. Kita memiliki "kliktivisme" hari ini, dimana kampanye informasi dan keresahan politik dapat merebak cepat dan diakses semua orang hanya dengan satu klik di media sosial - seperti halnya peristiwa "Peringatan Darurat" di tahun 2024 ini. Namun, anehnya, pergerakan mahasiswa dan masyarakat sipil hari ini masih tertinggal jauh dan tertatih-tatih dibandingkan gerakan massa puluhan tahun lalu. Bahkan belum berhasil menyentuh skala di tahun 1966. Mungkinkah gerakan sipil hari ini yang buntung, ataukah karena zaman ini tidak ada oposisi yang cukup kuat pula di panggung politik yang lebih tinggi? Bagaimanapun, berdasarkan pengalaman pribadi kami, banyak yang perlu dipertanyakan saat mengikuti sebuah demo hari ini. Kami cenderung teronggok di satu titik bersama ratusan hingga ribuan massa, berdesak-desakan, dan berujung pergi meninggalkan sampah. Tidak terdapat linearisasi antara ide dan isu yang diangkat dengan kondisi serta manajemen lapangan maupun pengelolaan massa selama demonstrasi. Hasilnya? Tidak ada. Atau mungkin ada, tapi entahlah.

Menjawab pertanyaan tersebut, narasumber kami, Pak Hera, hanya mampu memberikan gambaran mengenai sudut pandang gamblangnya berdasarkan pengalaman pribadi selama mengikuti pergerakan hari itu.

Pada tahun-tahun itu, demonstrasi mahasiswa biasanya diorganisir secara terdesentralisasi oleh elemen-elemen tertentu di daerah masing-masing, dengan organisasi masing-masing. Komunikasi dilakukan melalui berbagai cara sederhana seperti telepon, obrolan antar kos-kosan, penyebaran informasi dari mulut ke mulut, pengumuman di tempat umum, hingga pemasangan poster-poster. Sebelum aksi berlangsung, biasanya diadakan briefing terlebih dahulu.

Saya sendiri sempat mengikuti demonstrasi sebanyak dua hingga tiga kali, terutama yang diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa IPB dan KAMMI. Perlu diketahui, KAMMI sendiri pertama kali dibentuk menjelang tahun 1998, dengan Fahri Hamzah sebagai ketua pertama untuk seluruh Indonesia. Jadi dengan organisasi yang sudah punya struktur, jaringan, dan format gerakan sendiri, demonstrasi itu bisa lebih terorganisir.

Demonstrasi di Bogor biasanya dilakukan di lokasi strategis seperti Lapangan Sempur agar dekat dengan Istana Bogor, atau di Tugu Kujang dan Baranangsiang. Pada masa itu, mendengarkan orasi merupakan pengalaman yang menarik dan istimewa. Berbeda dengan sekarang, orang-orang yang berorasi dianggap luar biasa karena orasi publik belum terlalu sering dilakukan. Tentunya akibat sebelumnya ada pembatasan ruang ekspresi publik. Sehingga, orang-orang jauh lebih tertarik mendengarkan tokoh-tokoh pembicara tersebut dibanding zaman sekarang.

Selanjutnya, puncak aksi demonstrasi pada bulan Mei 1998 juga menjadi momentum. Kami, mahasiswa, bermalam-malam di gedung DPR. Dukungan dari masyarakat luar biasa besar. Makanan dan minuman terus berdatangan, bahkan kami bisa memilih makanan terbaik. Mahasiswa benar-benar menjadi tumpuan harapan masyarakat. Saat itu, masyarakat yang menyaksikan sering bertanya, "Mau makan apa, Dek?" Kami benar-benar merasa didukung penuh, bahkan kenyang tanpa kekurangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun