Saat itu saya dengar dari radio kalau DPR berhasil diterobos. Tetapi, posisinya sebenarnya mahasiswa IPB dilarang ikut demo oleh rektor kami. Namun, ada panggilan bawah sadar yang akhirnya mendorong saya untuk berangkat demo ke DPR, bersama kedua teman saya. Kami naik kereta dari Bogor. Sesampainya di DPR, karena masih hari pertama, jadi masih sangat sepi. Banyak, tapi paling hanya ratusan - tidak sebanyak yang di foto-foto terkenal itu. Saya bermalam tiga hari di DPR, bersama mahasiswa dari UI, ITB, dan lain-lain. Sementara IPB, yang dilarang ikut, setidaknya masih ada meski kurang dari 20 orang. Di hari terakhir baru membludak.
Berdasarkan hasil wawancara, Pak Hera, bisa dibilang, merupakan gambaran mahasiswa pada umumnya. Ia belum bisa menjelaskan apa yang ia rasakan, namun lebih memberikan bayangan mengenai situasi nasional secara keseluruhan yang akhirnya mendorongnya untuk memiliki keresahan yang sama. Dorongannya untuk bergabung dalam demo adalah akal sehat yang dimiliki oleh mahasiswa-mahasiswa secara umum. Ia tidak memiliki ambisi dan pemikiran struktural dalam reformasi, semata-mata terdorong untuk mendengar, hadir, dan peduli. Alhasil, setelah Soeharto turun dari jabatannya, ia mengambil peran sebagai rakyat biasa, "melepas" tugas menggugat dan mengawal pemerintahan pada generasi selanjutnya.
Lain halnya dengan Mas Yaswin. Ia bisa digamblangkan sebagai sosok idealis, pemikirannya adalah pemikiran aktivis. Selain mengulas apa yang ia alami, ia juga mampu menganalisis keresahan dan perasaannya sendiri, bukan hanya pada pemerintah, tapi pada lingkungannya.
Saya itu kebetulan, ya. Kebetulan sekali, posisinya waktu itu baru lulus dua bulan dari UI, tepatnya pada tahun 1997. Masa kuliah saya sudah benar-benar selesai. Ketika peristiwa besar pada Mei 1998 meletus, saya sudah lulus sekitar dua atau tiga bulan. Namun, jika ditanya sebelumnya saya apa, ya, pada tahun 1998 saya adalah komandan lapangan dari aksi 25 Februari. Itu aksi yang diinisiasi oleh ILUNI UI. Aksi ini menjadi penting karena saat itu mahasiswa masih takut untuk bergerak. Kekuasaannya sangat kuat dan mencengkeram. Mahasiswa khawatir menghadapi ancaman seperti dikeluarkan (DO) dari kampus. Kami yang baru lulus dan sengaja menunda kelulusan adalah yang pertama berani bergerak. Boleh dibilang, kami nekat. Kami adalah orang-orang yang selamat dari peristiwa 27 Juli 1996, Kuda Tuli, dan terus bergerak sampai 1998.
Pada 25 Februari, saya memimpin perlawanan pertama yang simbolik. Waktu itu kami belum berani melakukan konfrontasi langsung. Kondisinya memang mengerikan. Ada penculikan aktivis yang membuat kami tidak pernah tahu siapa yang akan menjadi korban selanjutnya. Dalam aksi itu, kami menutup papan reklame besar di gerbang UI yang bertuliskan "Selamat Datang di Kampus Perjuangan Orde Baru." Tulisan itu sudah ada sejak 32 tahun sebelumnya, dibuat oleh Angkatan '66. Kami mengambil inisiatif untuk merobohkan simbol tersebut. Awalnya saya ingin memotong papan itu dengan gergaji, tapi akhirnya, kami hanya menutup tulisan itu.
Aksi ini mungkin terlihat sederhana, tapi bagi kami sangat bermakna. Di bawah kekuasaan Orde Baru yang begitu kuat, perlawanan sekecil apapun adalah sinyal penting. Saya bekerja sama dengan ILUNI UI yang dipimpin oleh tokoh-tokoh besar seperti Profesor Mahar dari Fakultas Kedokteran, yang dulu diberhentikan karena peristiwa Malari, dan Dr. Haryadi Darmawan, dokter terkenal dari Angkatan '66. Mereka mendukung kami, tapi pada akhirnya saya sebagai komandan lapangan yang mengambil keputusan. Perlawanan kami waktu itu lebih bersifat semiotik, sebuah perlawanan budaya. Dengan menumbangkan tulisan itu, kami ingin menyampaikan pesan kepada masyarakat bahwa kekuasaan Orde Baru sudah tidak layak dipertahankan.
Kondisi waktu itu sangat berbeda dengan sekarang. Bayangkan, saya sejak lahir hingga usia 25 tahun hanya mengenal satu kekuasaan, yaitu Soeharto dan Orde Baru. Kekuatannya begitu besar hingga mampu menentukan hidup matinya seseorang. Perlawanan ini mulanya perlawanan budaya sifatnya. Ketika tulisan itu ada yang berani menentang, tandanya reformasi mulai dibangun dan coba diwacanakan. Ada yang bilang bahwa salah satu penyebabnya adalah krisis moneter yang datang dari luar (global). Tetapi, Malaysia dan Korea juga sedang mengalami krisis moneter. Jadi tidak ada hubungannya dengan nomenklatur. Orde Baru. Secara umum, 32 tahun itu sudah terjadi kebobrokan-kebobrokan. Jadi, yang kami laksanakan waktu itu adalah memberikan sinyal kepada masyarakat banyak.
Pada saat itu, ketika papan reklame itu ditumbangkan, maka yang terjadi adalah orang menunjuk kepada satu hidung, yaitu Orde Baru dengan Soeharto sebagai pimpinannya. Jadi ketika itu, ketika orang belum berani mendorong, maka UI-lah yang pertama melakukan itu. Dan kemudian kami berpikir bahwa kekuatan bersenjata pasti akan memukul balik kami. Tapi kami tidak tahu di kampus mana, dan kapan, dan siapa yang kena. Ketika saya memimpin aksi pada 25 Februari, kami semua tahu risikonya. Kami khawatir akan ada serangan balik dari aparat. Meski begitu, kami tetap melangkah. Tidak lama setelahnya, perlawanan meluas, dan pada 14 Mei, Tragedi Trisakti menjadi tonggak penting. Kampus-kampus lain, termasuk yang sebelumnya dikenal dengan gaya hidup elite, mulai turun ke jalan. Sebagai komandan, saya selalu memikirkan bagaimana agar perlawanan kami tidak menimbulkan korban jiwa. Menghadapi kekuatan sekonyol Orde Baru, menjadi korban rasanya seperti hal yang sia-sia. Sampai sekarang pun banyak korban yang kasusnya tidak pernah selesai.
(Dari yang kami tangkap, inisiator gerakan mahasiswa adalah ILUNI. Apakah mahasiswa UI saat itu sama sekali belum bergerak, atau sebenarnya hanya belum masif? Bagaimana dengan Ketua BEM di tahun itu, Mas Rama Pratama, yang akhirnya turun ke jalan dan mengepung gedung DPR di bulan Mei 1998? Kira-kira adakah koneksi atau dorongan dari gerakan ILUNI terhadap gerakan dari mahasiswa setelahnya?)
Di masa itu, banyak aktivis mahasiswa yang lebih fokus mengejar emblem dan pengakuan dari kegiatan mereka. Tujuannya adalah untuk menjadi terkenal, mengenal para jenderal, dan membangun karir yang bagus, sering kali berujung pada keanggotaan di Golkar atau organisasi serupa. Namun, saya tidak mengikuti jalur tersebut. Dari kecil, saya sudah familiar dengan lingkungan seperti itu, sehingga saya memahami dengan baik dinamika lingkaran-lingkaran sosial di Jakarta.