Mohon tunggu...
Hafshah N Fadeela
Hafshah N Fadeela Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sebagai mahasiswa S1 Program Sejarah, saya mempunyai ketertarikan yang mendalam terhadap perubahan periodik menuju integrasi yang lebih baik. Dengan pengetahuan sejarah yang saya miliki, saya bertekad untuk merangkul berbagai kompleksitas mulai dari politik, ekonomi, diplomasi, sosiologi, antropologi, seni, budaya, bahasa, pendidikan, hingga isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Menulis menjadi bagian dari passion sekaligus tekad saya dalam menerapkan prinsip Levi Strauss, “History is never only history 'of', it is always history 'for'.” sebagai penyemangat bagi saya untuk berkontribusi sebesar-besarnya kepada masyarakat dan dunia.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Reformasi di Persimpangan Zaman: Refleksi Panggung Perlawanan Mahasiswa dalam Dialog Lintas Generasi

3 Januari 2025   09:25 Diperbarui: 3 Januari 2025   09:30 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Ribuan mahasiswa menduduki Gedung MPR/DPR unjuk rasa menuntut Soeharto mundur sebagai Presiden RI. (Sumber: Dr. Rully Kesuma, 1998).

TAHUN 45 KITA MULAI DARI NOL! 65 BALIK KE NOL! 98 BALIK LAGI KE NOL! 2000... MASA KITA TERUS BALIK KE NOL????????????

Yaswin Ibensina

Reformasi 1998: Pertarungan Indonesia yang Tak Pernah Usai

Tahun 1998 menjadi salah satu piala yang terus terpajang megah dalam ingatan kolektif masyarakat Indonesia, berdampingan dengan plakat monumental lain seperti 1945, 1949, dan 1965. Ia menjelma menjadi salah satu babak yang kerap dibolak-balik dalam buku-buku pelajaran sejarah, dihiasi dengan glorifikasi romantis tentang gelora gerakan mahasiswa pada masanya. Namun, di balik euforia itu, ada sesuatu yang sering terlewat: pemahaman mendalam tentang makna sejati "reformasi" - sebagaimana kita seringkali juga luput dalam menyelami hakikat dari sebuah "sejarah."

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, reformasi adalah perubahan drastis yang bertujuan memperbaiki berbagai aspek dalam masyarakat atau negara, baik di bidang sosial, politik, hukum, maupun budaya. Sedarmayanti (2009) menyebut reformasi sebagai upaya sistematis dan terpadu untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Untuk itu, perlu adanya penataan ulang praktik-praktik yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat agar lebih selaras dengan aspirasi publik. Sementara Prasojo (2003) menambahkan, bahwa reformasi sebagai perubahan yang terarah juga membutuhkan kerangka kerja dan pemetaan yang jelas untuk mencapai tujuan dan mengukur keberhasilannya. Menilik kembali definisi-definisi dan tujuan reformasi yang demikian, sudahkah semua itu benar-benar terwujud dalam kehidupan kita hari ini?

Reformasi 1998 sendiri konon lahir dari amarah terhadap 32 tahun kuasa rezim Soeharto. Hangatnya reformasi pada kerusuhan Mei 1998, sering diasosiasikan dengan penembakan empat mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998. Meski demikian, peristiwa tersebut tidak dapat ditelan mentah-mentah sebagai pemicu terbesar, melainkan hanya sebagai salah satu rangkaian kompleks dari dinamika sosial, politik, dan ekonomi (Sirot & Atmaja, 2020). Gerakan reformasi sejak awal mempersoalkan praktik kekuasaan rezim Orde Baru yang ditandai oleh dominasi elite politik, ketimpangan ekonomi, dan maraknya korupsi, kolusi, serta nepotisme. Kebijakan ekonomi yang seharusnya mendorong pertumbuhan justru dimanfaatkan untuk kepentingan sempit melalui monopoli dan rente ekonomi. Dominasi militer dalam pemerintahan juga menjadi sorotan karena dianggap menghambat supremasi sipil dan demokrasi. Krisis ekonomi yang semakin parah, dengan melemahnya nilai rupiah, meningkatnya utang, dan melonjaknya inflasi, memperburuk situasi dan pada akhirnya mendorong keresahan nasional untuk bergerak (Suparno, 2012).

Di tengah tekanan ekonomi dan politik, pemerintah terpaksa menerima intervensi internasional melalui reformasi struktural yang semakin memperlemah legitimasi rezim. Muncul kehendak masyarakat saat itu terhadap pembaharuan tatanan sosial dan ekonomi, mencakup tuntutan akan demokrasi, kebebasan pers, otonomi daerah, penghormatan hak asasi manusia, supremasi hukum, penghapusan Dwi Fungsi ABRI, amandemen UUD 1945 - dan tentunya, hasrat terhadap perbaikan ekonomi dan struktur politik yang telah dicemari kroni-kroni Orde Baru (Samekto, 2020). Ketidakpuasan masyarakat, gerakan mahasiswa, dan kerusuhan sosial menjadi katalis yang akhirnya meruntuhkan kekuasaan Orde Baru. Meski awalnya dipandang sebagai tatanan baru yang menjanjikan stabilitas dan pembangunan, rezim ini runtuh karena gagal menjawab tantangan perubahan serta tekanan dari berbagai elemen masyarakat.

Namun, setelah lebih dari satu dekade, sama halnya seperti Orde Baru, reformasi yang semula dielu-elukan sebagai pintu perubahan menuju tata kelola yang lebih baik, kini masih menyisakan tanda tanya besar. Banyak yang menilai reformasi berjalan di tempat, bahkan mandek sebelum mencapai tujuan utamanya. Masyarakat menjadi bingung membedakan siapa tokoh yang benar-benar menghendaki perbaikan sejati dan siapa yang hanya memanfaatkan momentum politik di tahun itu untuk kepentingan pribadi. Media turut mempertegas kebingungan ini dengan narasi bahwa reformasi telah kehilangan arah dan berjalan tanpa konsep yang jelas. Sebagai sebuah gerakan yang bertujuan memperbaiki praktik politik, sosial, dan ekonomi, reformasi awalnya menjadi simbol perlawanan terhadap sentralisme kekuasaan, maraknya korupsi, kolusi, nepotisme, serta pengabaian hak asasi manusia. Namun, realitas pasca-reformasi justru menunjukkan persoalan yang tak kunjung selesai. Alih-alih membawa perubahan mendasar, reformasi kerap hanya dipahami sebagai rangkaian tuntutan tanpa refleksi mendalam akan makna sejatinya (Suparno, 2012).

Sama halnya seperti kita sering gagal menyelami hakikat sejarah sebagai pionir masa depan, reformasi pun kehilangan esensinya di tengah euforia perubahan yang hanya bersifat permukaan. Karena itu, kita perlu merenungkan kembali nasib reformasi yang teronggok sebagai bagian dari sejarah statis atau hanya sebagai alat legitimasi oknum-oknum tertentu. Sebagai generasi berikutnya, sebagai bagian dari elemen "golongan intelektual" yang dikehendaki mendorong perubahan struktural negara sebagaimana tokoh-tokoh di tahun 1908, 1928, 1966, dan 1998, tentunya kita membutuhkan referensi untuk mampu meluruskan kembali demokrasi dan situasi negara yang semakin coreng-moreng beberapa tahun terakhir. Itulah yang seharusnya menjadi motivasi dilakukannya wawancara dengan sejumlah "mantan aktivis mahasiswa" dan alasan utama penulisan penelitian sejarah ini.

Jejak Perlawanan 1998: Mengapa

Setiap peristiwa sejarah tentunya didorong oleh serangkaian faktor penyebab, baik berupa kondisi sosial, politik, ekonomi, atau alam. Begitu pula dengan para pelaku sejarah. Setiap individu atau kelompok yang terlibat dalam sebuah peristiwa sejarah memiliki motivasi yang mendorong mereka untuk bertindak. Motivasi ini bisa berupa ambisi pribadi, keyakinan ideologis, atau bahkan tekanan dari keadaan sosial yang menuntut perubahan. Dengan demikian, peristiwa sejarah merupakan hasil dari interaksi kompleks antara faktor-faktor eksternal dan motivasi internal para pelakunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun