Mohon tunggu...
Shabrina Nawal Fitah
Shabrina Nawal Fitah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang mahasiswi aktif di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis suka menulis cerpen fantasi dan menggambar ilustrasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Selama Hati Ini Masih Menerima

4 Desember 2023   18:30 Diperbarui: 4 Desember 2023   18:38 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

      Setiap hari selalu terdengar dan terngiang suara bentakan dan amarah dari ibuku.Setiap malam, aku selalu menyendiri di dalam kamarku, mencoba untuk meredakan rasa sakit dan sedih ini. Tidak seperti anak-anak lainnya, aku anak yang paling dibenci ibuku. Aku tidak pernah bisa merasakan kasih sayang dari seorang ibu. Diberi kasih sayang saja tidak pernah dan sangat mustahil.

      Aku adalah anak terakhir dari dua bersaudara. Berbeda dengan diriku, ibuku lebih menyayangi dan mengasihi kakakku. Kakakku selalu mendapatkan juara dan penghargaan di sekolah, karena itu ibu menyayanginya. Sementara aku, meskipun sudah berkali-kali aku belajar, aku tetap saja bodoh, tidak bisa mengerjakan unian dan menjawab persoalan dengan baik. Makanya ibu membenciku. Aku dianggap sebagai sebuah kesialan.

      Waktu terus berlalu, kini aku sudah menginjak bangku SMA. Aku hanya memiliki satu teman, namanya Zasya. Dialah satu-satunya murid yang mau menerima diriku apa adanya.

      Suatu hari, aku dan Zasya sedang beristirahat di lorong kelas. Kami berbincang bersama. Di waktu yang sama, aku melihat seorang kakak kelas yang sedang dikerubungi banyak siwa. Ya, siswa itu adalah Veno, kakakku. Ia sangat terkenal dan paling pintar di sekolah. Ia berjalan meleewati lorong kelas, melewatiku tanpa menatap, melihat, ataupun melirikku sedikit pun. Tapi ia hanya berbisik sambil berjalan, "Jadi anak ga becus. Mendingan kamu pergi aja dari rumah." Zasya yang mendengar ucapan Veno menepuk pelang bahku, mencoba menenangkan diriku. Jujur saja, aku kecewa pada diriku dan keluargaku. Ibu, kakak, semua orang membenciku. Hanya ayah yang tidak benci padaku, tapi beliau telah meninggal dikarenakan serangan jantung.

      Bel sekolah berdentum keras menandakan waktu pulang. Aku segera pergi ke rumah dengan jalan kaki.

      Rumah itu terlihat indah dari luar, tapi suram saat memasukinya. Saat aku melangkahkan kakiku ke dalam, suara ibu terdengar keras dari dapur.

      "Vora! Cepat bersihkan ruangan ini! Setelah itu cuci piringnya!"

      "Iya ibu," jawabku pelan. Aku segera beranjak ke kamarku untuk mengganti seragamku dan segera melakukan perintah ibuku. Meskipun ibu membenciku dan sering menyuruhku untuk melakukan banyak pekerjaan, aku tidak bia membencinya. Bagaimanapun juga, dia ibuku. Dialah yang melahirkan dan membesarkanku.

      "Vora! Mana kamu? Cepat selesain! Ini piring-piringnya masih kotor! Ruangannya disapu yang bersih!"

      Setelah selesai menyapu, aku segera mencuci tumpukan piring kotor. Sesaat kemudian,Veno muncul di ambang pintu dapur. Ibuku langsung menyapa, mengecup keningnya, dan memeluknya.

      "Bagaimana harimu sayang? Pasti kamu dapat nilai tinggi lagi," ucapnya senang.

      "Oh tentu dong Bu. Veno gitu lho."

      "Kamu anak yang paling ibu sayang. Gakkayak adikmu tuh, ga bener. Di sekolah ga punya temen, ngelakuin tugas aja susah. Duh!"

      Aku hanya diam mendengarnya, sambil menahan rasa sakit di hati ini.

      Malam hari telah tiba. Aku, Veno, dan ibuku sedang makan malm bersama. Sementara mereka berdua makan sambil berbincang, aku hanya diam, menghabiskan makananku. Dan tanpa sengaja, aku menyenggol gelas yang ada di samping piringku. Gelas itu terjatuh dan pecah.

      "Vora! Bisa-bisanya kamu!" mendengar bentakan ibu, aku hanya menundukkan kepalaku, gemetar ketakutan.

      "Maaf ibu." Dengan segera aku mengambil sapu di ujung ruangan. Dan tanpa hati-hati, aku menabrak sebuah meja dengan beberapa piring dan vas tersusun rapi di atasnya. Barang-barang itu jatuh ke bawah dan pecah. Tubuhku makin bergemetar. Aku memutar kepalaku pelan-pelan dan --

      PLAK! Ibu menampar pipiku keras. Aku segera mengelus pipiku yang merah kesakitan.

       "Bodoh! Bisa hati-hati ga sih?!! Punya otak kan?! Kenap sih selalu aja begini? Ibu benci! Kecewa!! Kecewa karena telah melahirkan anak sepertimu di duina ini!!"

      Aku menangis di tempat, gemetar. Aku bisa melihat Veno tersenyum kecut padaku. Aku berteriak, melempar sapunya ke depan dan berlari ke luar rumah. Aku terus berlari sambil berteriak, menangis kesal, sedih. Aku sudah tak kuat. Mengapa ibu dan kakakku benci padaku? Mengapa aku tidak bisa sepintar kakakku? Mengapa aku sangat bodoh dan ceroboh?

      Aku bisa mendengar suara klakson di depan. Aku segera sadar dan melihat ke depan. Sebuah mobil melaju kencang ke arahku. Tanpa bisa kuhindari, mobil itu menabrakku, membuat aku terlempar jauh ke belakang. Kepalaku lebih dulu mendarat dan menghantam keras jalanan. Drahku bercucuran deras, menghiasi jalanan. Semua orang yang melihatnya lagsung mengerubungiku. Pandanganku menjadi buram.

      "Ayah, Ibu, Kak Veno," lirihku. Aku mencoba untuk melihat ke depanku. Aku melihat satu per satu yang ada si sana. Tapi tetap saja, aku tidak dapat menemukan wajah ibu dan kakakku. Aku memejamkan mataku, suara orang memanggil namaku. Aku berada di ruangan putih.

       "Di sini Vora." Aku melihat ke samping dan terbelalak kaget. Tanpa disadari, air mataku berlinang dari mataku. "Ayah!" Aku berlari ke arahnya dan segera memelukinya. Tubuh itu serasa hangat dan nyata.

      "Ayah ! Aku merindukan ayah! Aku sudah tidak tahan dengan ibu dan kakak! Mereka semua  jahat dan benci padaku! Aku ingin mati! Segera menyusuli ayah!" Aku terus-terusan menangis tersedu-sedu. Tak lagi tahan dengan dunia. Meskipun ada Zasya, tetap saja belum cukup. Aku sudah tak kuat lagi, mataku sudah tak bisa lagi membendungi banyak air. Bendung itu pecah dan mengalir deras di pipiku. Aku memeluk erat tubuh orang tua yang ada di depanku. Aku bisa merasakan kehangatan tangannya yang sedang mengelus-elus pucuk rambut dan punggungku.

      "Vora, kamu telah bertumbuh dengan baik. Meskipun mereka membencimu, tapi kamu tidk pernah bentak pada mereka, meskipun sedikit. Kamu tidak perlu menangis lagi. Ayo ikut ayah," ucap ayah lembut. Suaranya yang hangat, membuatku rindu. Aku bahagia bisa bertemu dengan ayah lagi, meskipun itu berarti aku harus mati sekarang juga. Ayah memegang tanganku, menuntunku ke sebuah cahaya yang terang. Kami berjalan penuh senyuman.

      Selamt tinggal semua. Terima kasih Zasya, karena mau berteman denganku. Terima kasih ibu, Kak Veno telah hidup bersamaku, meskipun dengan cara yang salah. Terima kasih ibu, karena telah melahirkan dan merawatkanku sampai pada saat ini.

      Sebelum memasuki cahaya, langkah ayah terhenti. Ia mengucapkan sesuatu padaku yang membuatku tidak mengerti. "Setelah ini, mungkin mereka akan mencintaimu lagi. Ayah ingin kamu untuk hidup terus bersama setelah ini. Sampaikan salamku pada Ibu dan Veno." Kami pun memasuki cahaya yang terang. Saking silaunya, aku memejamkan mataku. Setelah itu, aku membuka pelan mataku.

      Kini aku berada di sebuah ruangan. Sepertinya rumah sakit. Aku mengerang pelan, menyentuh kepalaku yang dibalut perban. Seketika seorang wanita muncul dan memeluk erat tubuhku, membuatku terkejut.

        "Vora, maafkan ibu karena telah berbuat jahat padamu. Ibu tidak tahu kalau selama ini kamu menahan rasa sakit karena ibu," ucapnya tersedu.

      "Kakak juga minta maaf," ucap Kak Veno. Aku masih bingung, apa yang telah terjadi? Mereka berdua telah berubah. Ibu melepaskan pelukannya.

      "Ibu tidak tahu kamu lari ke luar rumah dan tertabrak mobil. Ibu tidak tahu kalau kamu akan jadi seperti ini," ucapnya.

      "Apa yang sebenarnya terjadi?" ucapku bingung.

      "Kamu telah koma selama beberapa hari. Saat kamu koma, aku dan ibu didatangi Zasya. Ia menceritakan semua yang kamu alami selama bersama kami. Kami tidak tahu kalau ternyata kami sejahat dan sebenci itu padamu. Selain itu, kami tidak tahu kalau ternyata kamu masih mau hidup bersama kami. Meskipun kamu diperlakukan begitu. Maafkan kami." Kak Veno terduduk lemas di atas lantai sambil menggenggam tanganku.

      "Maafkan Ibu ya nak," ucap Ibu. Aku pun tersenyum pada mereka. Semenjak itu juga, kami mulai hidup bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun