Bukan rahasia kalau banyak seniman serta pengrajin yang berasal atau tinggal di Jogja dan sekitarnya. Banyaknya budaya yang dimiliki oleh Jogja, bisa menjadi salah satu sumber inspirasi dalam berkarya. Seperti beberapa waktu lalu, saya mendapat kesempatan yang seru dan menyenangkan ketika diajak oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kabupaten Sleman untuk mengikuti agenda kunjung cagar budaya bersama Putera-Puteri Batik DIY, UMKM batik, serta para blogger dari Jogja dan sekitarnya. Lantas, apa korelasinya mengunjungi cagar budaya dengan inspirasi dalam berkarya? Simak tulisan ini sampai akhir, ya.
Kamis pekan lalu (19/12), pagi-pagi sebelum jam menunjukkan angka 8, saya sudah berada di halaman Kantor Dinas Kebudayaan Kabupaten Sleman. Banyak peserta yang sudah tiba juga, dan nampak wajah mereka yang antusias untuk segera mengikuti tur hari itu. Sekira pukul 08.15, Mas Erwin Djunaedi, perwakilan dari Disbud Sleman sebagai koordinator teknis kegiatan, membuka perjumpaan dengan memberikan briefing, disusul penjelasan singkat dari Ibu Endah K. Wardani  selaku Kepala Seksi Cagar Budaya Disbud Sleman, mengenai agenda kunjung cagar budaya yang rupanya rutin diadakan oleh Disbud Sleman dengan menggandeng berbagai komunitas.
Kabupaten Sleman memiliki ratusan candi yang tersebar di berbagai kecamatan atau kapanewon. Sayangnya, masih jarang yang tertarik untuk mengunjunginya, kecuali candi-candi besar yang memang ikonik seperti Candi Prambanan atau Situs Ratu Boko. Kalau pun ada, biasanya sekadar untuk latar berfoto, belum banyak yang memahami tentang sejarah candi. Alasan itulah yang kemudian melandasi adanya agenda kunjung cagar budaya. Harapannya, semakin banyak yang mengerti tentang cagar budaya, khususnya candi, yang selama ini dekat dengan tempat tinggal kita.
Candi Sari dengan Segala Kesyahduannya
Kami menyambangi dua candi tertua bercorak Buddha yang ada di Kabupaten Sleman. Candi Sari menjadi jujugan pertama. Setiba di candi yang terletak di  Dusun Bendan tersebut, kami sudah ditunggu oleh Mbak Shinta Dwi Prasasti, pamong budaya dari Badan Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah X yang akan menjadi pemandu pada hari yang sangat cerah itu. Mbak Shinta mengawali penjelasan Candi Sari dengan menyebutkan kalau catatan pertama tentang candi tersebut dilakukan oleh Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java pada 1817, meskipun survei dilakukan olehnya sejak 1812.
Pembangunan Candi Sari diperkirakan di abad 8 Masehi, tepatnya tahun 778 Masehi. Pada saat itu merupakan era Mataram Kuno di bawah pemerintahan Rakai Panangkaran, dibangun bersamaan dengan candi kedua yang akan kami kunjungi juga. Para penasehat keagamaan dari Wangsa Syailendra menyarankan kepada Rakai Panangkaran agar membangun candi sebagai tempat pemujaan Dewi Tara dan biara untuk para pendeta Buddha.
Candi Sari tersebutlah yang diyakini dibangun sebagai biara atau asrama para pendeta. Namun, ada juga sumber lain yang memperkirakan sebagai wihara atau tempat beribadah, yaitu merujuk pada bangunannya yang bertingkat. Lantai atas sebagai tempat beribadah atau bermeditasi, sedangkan bagian bawah sebagai tempat untuk menaruh sesajinya.
Penemuan candi ini berlangsung pada abad 20 Masehi oleh seorang arkeolog Belanda. Ditemukan dalam kondisi yang rusak berat. Pemugaran pertama dilakukan pada tahun 1929 hingga 1930, selanjutnya dilakukan restorasi bertahap sejak masa setelah proklamasi hingga tahun 90an. Dahulu, di sekeliling candi juga diperkirakan ada pagar batunya yang sayangnya sudah tidak bisa dijumpai saat ini.
Kunjungan ke Candi Sari saat itu merupakan kali ke-2 bagi saya. Yang terlintas di kepala masih sama dengan sewaktu kunjungan pertama. Candinya sangat cantik dan megah, suasana sekitarnya pun tenang dan syahdu. Ditambah lagi banyak pepohonan yang membuat lindap saat duduk di bawahnya, sembari bengong mengagumi mahakarya dari nenek moyang.
Seperti candi beraliran Buddha lainnya, candi ini memiliki stupa di bagian atap. Pada dinding sekelilingnya dipenuhi relief indah, terutama bermacam bodhisatwa-nya yang saat berkeliling bersama dengan dipandu Mas Erwin, kami menghitung keseluruhan makhluk yang dimuliakan dalam ajaran Buddha tersebut berjumlah 36 karakter.
Saat masuk ke dalam candi, kami menemukan tiga ruangan yang pada dindingnya juga terdapat relief. Lantai atasnya sudah tidak ada  berwujud, sehingga jarak ruangannya dengan bagian puncak terasa sangat tinggi, menciptakan hawa yang adem. Bahan lantai atas diperkirakan menggunakan kayu, sehingga sangat mungkin sudah rusak.
Candi Kalasan, si Tua Penuh Keunikan
Beralih ke tujuan kedua yang berjarak 750 m saja dari Candi Sari dan bisa ditempuh dalam waktu 2-3Â menit dengan bus, kendaraan yang kami gunakan. Ialah Candi Kalasan. Kalau teman-teman pernah melewati jalan raya Jogja-Solo dan melihat candi yang terletak di pinggir jalan sebelah selatan, itulah Candi Kalasan.
Candi bercorak Buddha ini merupakan yang tertua di Daerah Istimewa Yogyakarta. Seperti yang pernah saya sebutkan di atas, pembangunannya berlangsung pada tahun 778 Masehi bersamaan dengan Candi Sari. Dibuktikan dengan adanya prasasti yang ditemukan di sekitar selatan candi. Candi Kalasan merupakan satu-satunya candi di Indonesia yang memiliki nama sesuai dengan nama daerah yang disebutkan dalam prasastinya.
Dalam prasasti penanda berdirinya, disebutkan nama Tara Bhawana, menginformasikan bahwa kuil atau candi dibangun dengan tujuan memuliakan Dewi Tara, dewi penting dalam kepercayaan Buddha yang disinyalir sebagai salah satu ibu sang Buddha dari tiga masa.
Ada beberapa keunikan yang yang dimiliki oleh candi yang terletak di Dusun Kalibening ini. Di antaranya memiliki bajralepa, sebuah lapisan luar candi berwarna putih, semacam plester kuno untuk mencegah tumbuhnya mikroorganisme yang bisa merusak, juga untuk memperindah candi. Saat bulan purnama, lapisan tersebut akan bersinar keemasan ditempa cahaya bulan. Hal ini sangat membuat saya penasaran, semoga suatu saat bisa membuktikannya dengan mata kepala sendiri.
Candi Kalasan juga memiliki moonstone, sebuah batu di bagian pintu masuk candi yang menghadap timur, sebagai lambang batas antara dunia dan kahyangan. Kalasan adalah satu-satunya candi dengan moonstone pada era Mataram Kuno, yang terbuat dari satu batu utuh atau monolit. Biasanya, kuil-kuil yang memilikinya terletak di India bagian selatan atau di Sri Lanka, bedanya kalau di sana terdapat ukiran-ukiran pada batunya sebagai hiasan, sedangkan pada Candi Kalasan polos saja. Â Begitu penjelasan Mas Erwin yang saling melengkapi dengan penjelasan Mbak Shinta.
Dua Candi yang Kaya Relief Indah
Selain merupakan candi bercorak Buddha yang dibangun bersamaan, Candi Sari dan Candi Kalasan punya kesamana dalam hal relief. Dua-duanya memiliki motif relief yang sangat kaya atau beragam.
Dalam Candi Sari yang sempat saya singgung, ada 36 relief bodhisatwa yang semua wujudnya berbeda, dengan karakter keindahan masing-masing. Banyaknya karakter bodhisatwa tersebut tak lepas dari berkembangnya aliran Buddha yang ada di Indonesia, yaitu Buddha Mahayana. Aliran ini, selain memuja Shiddarta Gautama juga memuliakan bodhisatwa.
Beralih ke relief lain, ada Kala yang terdapat di atas pintu masuk candi, dengan maksud sebagai simbol melawan marabahaya. Uniknya, Kala di salah satu sisi Candi Kalasan, terdapat bentuk candi atau gambaran kahyangan tepat di atas kepalanya. Di mana ada Kala, biasanya ada Makara juga. Makara ini makhuk yang tak kalah unik, perpaduan tiga hewan, biasanya terletak pada bagian bawah pintu atau tangga menuju candi. Kalau dalam mitologi Buddha digambarkan dalam wujud perpaduan makhluk laut dan gajah (hanya belalainya), mulutnya menganga dan terdapat singa. Mengapa singa? Karena hewan tersebut melambangkan sabdanya Buddha.
Ada pula relief Kinara Kinari yang merupakan sepasang makhluk surgawi atau kahyangan dengan wujud burung berkepala manusia, yang mengapit pohon kalpataru atau pohon kehidupan. Selain relief-relief yang sudah saya sebutkan, masih ada banyak relief lainnya. Juga bisa dijumpai bermacam ragam hias seperti sulur-sulur tanaman, bentuk jambangan bunga atau yang disebut purnakalasa, pola geometri, dan sebagainya.
Relief sebagai Sumber Inspirasi Berkarya
Sangat banyaknya bentuk relief serta ragam hias yang bisa ditemukan di Candi Sari dan Candi Kalasan menjadi alasan mengapa dua candi tersebut menjadi tujuan kunjung cagar budaya kali itu.Â
Adanya agenda kunjung cagar budaya bertema "Cagar  Budaya sebagai Inspirasi Berkarya" yang sepenuhnya difasilitasi oleh Dinas Kebudayaam Kabupaten Sleman tersebut, diharapkan putera-puteri batik dan para UMKM batik mendapatkan inspirasi dalam membuat karya, yaitu dengan menciptakan motif batik yang diambil dari relief-relief indah yang dijumpai.
Itulah yang menjadikan kunjungan kami menjadi sangat seru. Setelah mendapat penjelasan dari pemandu, para peserta bebas menikmati suasana candi dengan cara masing-masing. Duduk di bawah pohon sembari membuat sketsa batik yang langsung terlintas di kepala, berkeliling candi mengagumi mahakarya nenek moyang dengan mengamati detail pahatan reliefnya, hingga sekadar duduk bengong di bawah pohon menikmati suasana yang sangat tenang sembari membayangkan betapa peradaban nenek moyang kita pernah secemerlang itu.
Dari diskusi singkat sebelum penutupan acara setelah makan siang bersama, saya terkesan dengan ide salah satu peserta dari UMKM batik yang terinspirasi menciptakan motif batik dengan mengambil salah satu bentuk flora yang akan dijadikan motif ceplok, juga yang mendapatkan ide untuk membuat motif batik dari ragam hias jambangan yang akan dikolaborasikan dengan motif lainnya. Rasanya tak sabar juga melihat hasil karya teman-teman dari Putera-Puteri Batik DIY dan para pelaku UMKM batik.
Pada akhir acara, Bu Endah menyatakan kalau dalam undang-undang, cagar budaya, termasuk candi, harus dilindungi. Langkah melindunginya dengan tiga cara, yaitu pembersihan atau perawatan, pengembangan (melalui penelitian), serta pemanfaatan. Pemanfaatan inilah yang ingin ditonjolkan oleh Disbud Sleman, karena sebuah candi tidak diketahui manfaatnya kalau orang-orang tidak mengenalnya, baik dari sisi sejarah maupun filosofinya.
Dengan mengkreasikan motif batik dari relief-relief candi, harapannya bisa memperkenalkan candi melalui media yang bisa dinikmati oleh banyak pihak, salah satunya lewat dunia fashion. Sehingga banyak pula yang kemudian penasaran, dan pada akhirnya semoga bisa menuntun mereka untuk mengunjungi candi. Lantas, lewat tulisan ini, tentunya juga untuk menambah wawasan teman-teman pembaca mengenai cagar budaya yang ada di sekitar kita, agar tak sekadar sebagai latar berfoto saat mengunjunginya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H