Mohon tunggu...
Mesha Christina
Mesha Christina Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengumpul kepingan momen.

Menulis juga di blog pribadi www.shalluvia.com || Kadang jalan-jalan, kadang baca buku, kadang menulis, dan yang pasti doyan makan.

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Menuntaskan Rindu Nonton Wayang Wong di Keraton Yogyakarta, Terselip Pesan Moral dalam Lakonnya

28 Agustus 2023   08:17 Diperbarui: 30 Agustus 2023   16:00 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kagungan Dalem Bangsal Srimanganti (dok. pribadi)

Wadya-bala berwujud buta cakil (dok. pribadi)
Wadya-bala berwujud buta cakil (dok. pribadi)

Bisa ditebak, selanjutnya kedua kerajaan saling melancarkan serangan. Perkelahian diawali dengan para wadya-bala berwujud buta atau raksasa dari dua belah pihak. Kericuhan tersebut pun terdengar hingga telinga Prabu Kresna. Lantas, bersama Bambang Pamegat Tresna, salah satu putra Raden Janaka, mereka menghadap Ki Lurah Semar untuk meminta saran, hal apa yang harus dilakukan demi mengembalikan kedamaian.

Atas petunjuk Ki Lurah Semar, Prabu Kresna kemudian mengutus Bambang Pamegat Tresna menuju Tunggarana untuk melerai perseteruan yang sedang berlangsung. Dalam perjalanannya, utusan tersebut bertemu dengan buta cakil bernama Ditya Kala Klabangcluring yang berasal dari Trajutrisna, bertujuan mengganggu serta menghalangi perjalanannya. Buta cakil yang gesit serta lihai tersebut, mampu dikalahkan oleh Bambang Pamegat Tresna.

Bambang Pamegat Tresna menghadapi Ditya Kala Klabangcluring (dok. pribadi)
Bambang Pamegat Tresna menghadapi Ditya Kala Klabangcluring (dok. pribadi)

Berita wadya-bala dari Trajutrisna bersama pemimpinnya, yaitu Patih Pancadnyana yang telah tiba di Tunggarana terdengar oleh Raden Gatotkaca atas laporan Patih Prabakesa. Peperangan tak dapat dihindarkan antara Patih Pancadnyana dan Patih Prabakesa bersama masing-masing wadya-bala. Pertempuran dua patih berwujud buta itu kemudian berlanjut perkelahian antara Raden Sitija dengan Raden Gatotkaca.


Singkat cerita, pada akhirnya pertikaian antara Raden Sitija dengan Raden Gatotkaca berhasil dilerai oleh Bambang Pamegat Tresna. Prabu Kresna juga tiba menemui mereka, untuk membawa pesan dari  Prabu Matswapati dari Kerajaan Wirata. Dalam pesannya, sesepuh para raja itu menyatakan bahwa Tanah Tunggarana diputuskan sebagai wilayah yang merdeka, bukan milik Trajutrisna ataupun Pringgadani. Kedamaian pun kembali tercipta.

Pentas wayang wong ditutup dengan Tari Golek Panutup. Mengutip informasi dari sanggarnya, tarian ini memiliki arti mengajak para penonton untuk nggolekki atau mencari makna-makna kebaikan dalam pentas yang baru saja ditampilkan. Bersamaan dengan riuh tepuk tangan penonton, berakhir sudah pertunjukan fragmen wayang wong siang itu.

Tari Golek Panutup (dok. pribadi)
Tari Golek Panutup (dok. pribadi)

Nilai-Nilai Kebaikan yang Dapat Diambil dari Lakon Kikis Tunggarana

Berdasarkan arti Tari Golek Panutup di atas, sebagai penonton saya merasa terpanggil untuk mencari makna atau nilai kebaikan dalam pentas wayang wong yang telah dinikmati. Menurut saya, berikut beberapa pesan moral yang bisa dipetik dari versi yang dipentaskan di keraton.

1. Jangan Serakah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun