Sedangkan menurut Hockin dalam Gandhi (2017) mengatakan bahwa realisme adalah kecenderungan seseorang untuk menjaga dirinya memberi batasan pada sesuatu, sehingga seseorang dapat mengetahui bahwa tidak semua masalah dapat diberikan intervensi dalam memberikan keputusan dan objek di sekitar akan menjawab apa yang dia pikirkan.Â
Realisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa objek yang dapat kita  rasakan dengan panca indera adalah nyata dan ada secara mandiri, terlepas dari  pengetahuan atau kesadaran kita.
Kesadaran,  menjadi subjek pengalaman tidak berarti mengubah keadaan sesuatu. Segala  sesuatunya masih ada, kita mungkin tidak mengetahuinya, namun tidak berubah.. Dalam konteks filsafat pendidikan, realisme  Aristoteles menekankan pentingnya pemahaman daripada sekadar menghafal.
Aliran realisme dalam pendidikan menekankan pentingnya metode  pembelajaran yang didasarkan pada realitas, bukan hanya konsep - konsep atau teori teori yang bersifat abstrak. Guru dalam aliran ini diharapkan menjadi fasilitator  pembelajaran yang membantu siswa mengamati, menganalisis, dan memahami  dunia sekitar mereka melalui pengalaman langsung dan penelitian.
 Filsafat  pendidikan aliran realisme juga menekankan pentingnya pembelajaran kontekstual,  yang berarti memahami pengetahuan dalam konteks yang relevan dan sesuai  dengan kebutuhan siswa.Â
Hal ini dapat mencakup penggunaan studi kasus, Â eksperimen, kunjungan lapangan, dan berbagai jenis aktivitas yang menghubungkan pembelajaran dengan kehidupan sehari - hari siswa.Â
Dalam  praktiknya, realisme dalam pendidikan mencoba untuk mengintegrasikan  pengetahuan teoritis dengan pengalaman langsung, sehingga memberikan  pemahaman yang lebih mendalam dan relevan bagi siswa. Aliran realisme juga  menekankan pentingnya pengembangan keterampilan kritis, analitis, dan pemecahan  masalah dalam menghadapi dunia nyata.
Adapun perbandingan kebermanfaatan filsafat idealisme dan realisme dalam pengembangan pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut:
Aspek
Idealisme