Mohon tunggu...
SEWU BEJO
SEWU BEJO Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Merintang Rindu (Bagian #2)

30 September 2018   05:31 Diperbarui: 30 September 2018   06:22 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Keesokan harinya, untuk kali pertama Asyi menjadi siswa berseragam putih biru. Sinar matahari mulai menerobos sela-sela daun sirih nenek Tik yang menjalar pada teralis vertical garden buatan tukang las langganan Ibu. Saat itulah Asyi untuk kali pertama ditantang ibunya; mencari tahu seperti apa sosok ayahnya sendiri.

Beberapa menit sebelum tepat pukul enam di meja makan. Tiba-tiba Ibu bertanya pada Asyi dengan suara yang sangat pelan, "Nak, pernahkan kau bertanya-tanya mengapa ayah tidak ada disekitar kita?; seperti apakah ayah Asyi?; atau pernahkah Asyi memikirkan sesuatu hal yang berbeda dari pertanyaan-pertanyaan yang ibu sampaikan,  sesuatu tentang ayah?"

Asyi tertegun melihat wajah ibu; dekat sekali dengan telinganya.

Sejenak suasana begitu hening.

"Ternyata.......................... ibu cantik sekali." celetuk Asyi; membuat ibu tertawa mengakhiri keheningan.

"Hey, Asyi. Pernahkah ada sesuatu yang berputar-putar di kepalamu tentang ayah?"

Ibu tersenyum.

 "Baiklah, nak. Petualangan hebat akan kita mulai. Ibu tidak akan menjelaskan panjang lebar tentang ayah. Percayalah bahwa diluar sana masih banyak tempat-tempat misterius yang perlu Asyi jelajahi. Tentu tak akan asyik jika pertualangan itu kita sudahi sampai disini. Asyi dapat mencari tahu siapa ayah Asyi sendiri. Asyi boleh memulainya kapanpun Asyi mau. Ada banyak tempat di rumah ini. Sebagian besar hal menarik tentang ayah tersimpan ditempat-tempat berbeda." Ibu berdiri dan membereskan meja makan.

Sambil meminum susu manisnya Asyi mulai memikirkan banyak hal tentang ayah. Ia sadar bahwa Ibunya memang tak pernah bercerita banyak tentang ayahnya. Selama ini neneknya lah yang sering bercerita tetang apa saja, termasuk sesuatu tentang ayahnya.

Ada sesuatu di tangan kanan ibu. Ibu menyodorkan bungkusan ditangannya ia berkata, "Ini untukmu. Kau dapat gunakan ini untuk mencatat yang menarik perhatianmu. apa saja, termasuk sesuatu yang kau dapatkan tentang ayah." Setelah itu pergi ke ruang kerjanya dan meninggalkan Asyi.

Asyi masih duduk di meja makan, susu sapi murni miliknya belum habis. Ia membuka bungkusan yang diberikan ibunya. Baru menyentuh bagian ujung lipatan tiba-tiba neneknya datang. ia pun mengurungkan niatnya untuk membuka bungkusan itu di meja makan. Asyi segera menghabiskan susu sapi murni miliknya. dan berpamitan neneknya yang sedang merawat sirih.

Asyi memutuskan untuk membuka bungkusan pemberian ibunya di sekolah barunya. Bungkusan lusuh berwarna coklat dengan benang wol hitam yang dijelujur membentuk huruf A kapital di bagian tengah bungkusan. Bungkusan berisi buku milik ibu yang telah digunakan sampai seperempat lembar dari keseluruhan lembar buku. berisi sketsa-sketsa yang ibu buat. Dan beberapa pen dari banbu yg banyak warna cat di bgian luarnya. Awalnya asyi tak begitu tertarik dengan tantangan dari ibunya. tapi semenjak melihat isi bungkusan pemberian ibunya, Asyi menyukainya.

Saat malam tiba, Asyi memutuskan untuk pergi ke ruang kerja ibu. Melihat ibu yang sedang duduk di depan pianonya sambil melihat langit. Sebenarnya bukan hanya basemen, sejak dulu Asyi juga selalu tertarik pada sudut ruangan di ruang kerja ibu yang atapnya bisa dibuka.

"Sini nak," ucap ibu saat sadar bahwa Asyi berada di ruang kerjanya; sambil memperbaiki posisi duduknya dan menepuk-nepuk bagian bangku disamping kirinya. Asyi mendekat lalu duduk.

" Malam ini indah sekali, nak." sambil menunjuk ke langit.

Tak lama kemudian, Ibu menarik nafas panjang; meninggikan alisnya-membuat-ekspresi-wajah-aneh lalu mulai memainkan pianonya. Sudah lebih dari satu minggu, setiap malam ibu selalu memainkan pianonya. Dalam benaknya Asyi berpikir bahwa hal ini jarang terjadi.

"Bolehkah?"

Asyi mengangguk, segera ia berpindang ke tempat tidur ibu; semakin lama semakin terasa nyaman; sampai tertidur.

***

Siang hari, Asyi nampak sangat sibuk; ia mencoba mencari di sisi basemen yang lain; dibalik tumpukan majalah-majalah Pramuka edisi lama yang tingginya hampir menyentuh atap basemen. Asyi melihat majalah itu disatukan dengan tali yang tak diketahui pasti bagian simpul pembuka ikatannya. Sebenarnya Asyi belum pernah membaca semua majalah Pramuka itu. Asyi hanya membaca majalah yang berserakan di dekat pintu basemen.

Di basemen ada banyak majalah Pramuka. dan Asyi pikir isinya tak jauh berbeda dengan majalah-majalah Pramuka yang ia baca sebelumnya. Itu tentu alasan yang biasa. Sesungguhnya Asyi belum menentukan cara yang tepat untuk dari mengambil majalah dari tupukan raksasa. Aku pernah mencoba mengusik majalah-majalah itu sebelumnya.

Ia ingat bahwa ia melihat ada banyak kotak didalam almari besar yang pernah ia temukan. Ia pun segera berjalan ke alamari lalu membukanya. Nampak kotak-kotak berbagai ukuran itu menunggu untuk dibuka. Sialnya, Asyi tak tahu harus memulai dari kotak yang mana. Sejanak Asyi melihat-lihat lagi kotak-kotak itu sambil menentukan kotak mana yang beruntung untuk ia buka pertama kali.

"Ah..."

Asyi pikir kotak kecil di sudut kanan paling bawah tak terlalu buruk untuk dijadikan kotak pertama yang ia buka. Kututup pintu almari lalu kubuka kotak berukuran kecil. Ikon "Tongkat Pemukul dan Bola" di bagian luarnya.

Aku sering lupa namamu, lalu kubuat sebuah tanda ini agar aku ingat namamu. "Tongkat Pemukul dan Bola" permainan bola kasti.

Selain itu, Asyi menemukan kotak berisi amplop-amplop surat dengan prangko-prangko Malaysia. Dibukanya amplop satu hingga amplop surat lainnya; mengumpulkan semua surat menjadi satu tumpukan lalu mulai membaca.

Kami gontai

Menanyakan kode etik pada guru kami sendiri

Kami kalap

Menanyakan hakikat belajar pada guru kami sendiri

Merasa tersoyak karena diteriaki "PERUSAK"

Diteriaki "ANAK SETAN"

Diteriaki "BODOH"

Oh guru kami tersayang

Kami tahu kami bukan cendekiawan, sebab itu kenapa kami belajar

Oh guru kami tersayang

Kami semakin kacau dan mulai mengenal sebuah rumus:

Biarkan lemah menjadi asa

Biarkan plasenta menjadi kesuma

Biarkan jatuh menjadi suara

Saat itu aku melihatmu,

Awal Februari 1990


 

Perginya Seorang Kekasih

 

Hujan baru saja berhenti

Genangan air di aspal yang berlubang masih bergerak

Dedaunan di pohon-pohon di sepanjang Jalan Seruni pun masih basah

Lantas kenapa kau sudah bangkit dan berjalan membelakangiku

Semakin jauh...

Meninggalkan semua harapan yang dulu kau tinggikan

Jika boleh aku memohon, aku ingin lebih lama kau tinggal bersamaku...

Jika boleh aku memohon, aku ingin sekarang juga kau memelukku...

Kumohon,

Berbaliklah... dan berjalanlah ke arahku...

Oh, sayang...

Tak bisakah kau?

Tak bisakah kau menunggu sampai semua genangan air itu hilang?

Tak bisakah kau menunggu sampai semua daun-daun itu kering?

Aku akan menemanimu melihat pelangi yang akan segera datang

Kumohon,

Jangan berhenti mencintaiku

Aku tidak akan membuatmu menunggu lebih lama lagi

Karena waktu telah mengubahku

Namun, jangan buat aku merasakan semua ini sendirian

Jangan...

Yakinlah bahwa waktu terus berjalan, dan pelangi akan segera datang bahkan sebelum kau menyadarinya

Saudara perempuanmu sangat hangat

Tapi ia selalu memintaku untuk berhenti menunggumu

Aku tak mengerti

Ia terus memohon untuk segera mencari pengobat hati

Sekalipun satu laksa terlewati

Kuingin tetap mencari tahu sendiri

Alasan apa seorang perempuan sengaja ditinggalkan

Sekuat aku bisa, aku terus mencarinya

Mencari dengan cara yang lebih baik dari yang sebelumnya

Suamiku,

Aku ingin menyampaikan kabar bahwa putri kita terus tumbuh

Suamiku,

Aku mungkin pernah begitu sadar

Semua kekalutan ini hanya ada satu pihak yang paling merasakan

Suamiku,

Aku ingin menyampaikan kabar bahwa putri kita terus tumbuh

Suamiku,

Mungkin lima kabisat terlewati

Dan ku mulai lelah menghitung-hitung hari

Suamiku,

Ku ingin marah

Suamiku,

Aku akan jawab jika mungkin kau akan tanya "mengapa?"

Agh...

Kenapa rindu harus dirintang-rintang?

Kenapa rindu tak boleh dibiarkan terus tumbuh?

Suamiku,

Aku ingin terus menyampaikan kabar bahwa putri kita terus tumbuh

Tabir-mabir kehidupan baru merajuk ingin segera dibuka

Saat itulah pertanda bahwa aku harus segera melepasmu

Tapi jangan paksa aku untuk menghapus rinduku padamu

 

Langit memerah lalu gelap. Bersamaan dengan semilir angin malam berhembus dari Utara; menciptakan hening penuh kenyamanan. Ibu memeluk Asyi erat.

"Terus dan teruslah berusaha menjadi gadis tangguh. Janganlah cuma mau jadi pintar kalau ujung-ujungnya mau buat  yang lain luka. Mungkin, kau akan capek. Nak, tak apa jika jalanmu cuma bisa pelan dan sempoyongan. Tapi,  usahakan selalu ada pikiran untuk BISA BANGKIT dalam benakmu."

 

 

 

TAMAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun