Mohon tunggu...
Sevyra PutriAlifiyah
Sevyra PutriAlifiyah Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

hobi membaca

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Era Kepemimpinan Jokowi

29 Oktober 2024   01:11 Diperbarui: 29 Oktober 2024   01:11 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Penanganan masalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di Indonesia belum menunjukkan kemajuan yang berarti, kecuali banyaknya pembahasan masalah ini di masyarakat. Sebagai permasalahan sosial-politik secara umum atau sebagai kasus masalah tertentu. kasus-kasus korupsi memang sering muncul sebgai berita hangat di berbagai media selama beberapa waktu. Akan tetapi setelah diberikan tanggapan sekedarnya oleh pemerintah dengan sesuatu indakan penagan kemudian hilang lagi tanpa ada peyelesaian nyata. Muncul lagik kemudian hilang lagi dengan cepat. Harapan masyarakat dengan membahas bersama, mempermasalahkan dan memprotes praktek KKN adalah untuk menghilangkannya. 

Dikutip dari Pendidikan Kewarganegaraan karya Mali Benyamin Mikhael dkk. (2022), pengertian korupsi, kolusi dan nepotisme dapat ditemukan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.

Secara umum, korupsi dapat diartikan sebagai penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada dalam jabatan atau kedudukan untuk memperoleh keuntungan pribadi atau orang lain yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Sementara itu, kolusi adalah permufakatan atau kerja sama melawan hukum antar-penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara.

Umumnya, kolusi dapat diartikan sebagai bentuk persekongkolan antara dua pihak atau lebih untuk melakukan tindakan yang merugikan pihak ketiga.

Sedangkan nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

Nepotisme juga dapat diartikan sebagai bentuk favoritisme terhadap keluarga atau kerabat dekat dalam hal pemberian jabatan, proyek, kontrak, bantuan atau fasilitas lainnya.

Lantas, bagaimana dampak korupsi, kolusi, dan nepotisme di Indonesia?

Sejumlah lembaga antikorupsi memberi catatan khusus terkait kian terpuruknya agenda pemberantasan korupsi pada periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo. Menjelang akhir masa jabatannya, Jokowi dinilai telah membawa upaya pemberantasan korupsi di Indonesia kembali ke titik nol. Situasi itu tergambar dari indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia yang mengalami stagnasi dengan skor 34 pada 2022-2023.

Catatan serupa diberikan Indonesia Corruption Watch dalam laporan hasil pemantauan tren korupsi 2023 yang dirilis pekan lalu. Riset itu menunjukkan jumlah kasus korupsi terus meningkat setiap tahun sejak periode kedua Jokowi. Jumlahnya melonjak nyaris tiga kali lipat dari hanya 271 kasus pada 2019 menjadi 791 kasus pada 2023.

Potensi nilai kerugian negara dari kasus-kasus ini juga ikut melambung. Dari hanya Rp 8,4 triliun pada 2019 menjadi Rp 28,4 triliun pada 2023. Bahkan pernah mencapai Rp 42,7 triliun pada 2022.

Peneliti ICW Diky Anindya mengatakan amburadulnya tren pemberantasan korupsi ini tidak lepas dari tumpulnya keberanian negara memberikan hukuman berat kepada koruptor. Itu terlihat data tren vonis bagi para koruptor pada 2020-2022, yang hanya dihukum rata-rata 37-41 bulan atau maksimal 3 tahun 4 bulan.

Pada 2020, dari total Rp 56,7 triliun kerugian negara, yang bisa dikembalikan hanya Rp 19,6 triliun. Lalu pada 2021, dari Rp 62,9 triliun, pengembalian hanya Rp 1,4 triliun. Kemudian pada 2022, dari Rp 48,7 triliun kerugian negara, hanya Rp 3,8 triliun yang bisa dikembalikan.

Tren buruk pemberantasan korupsi di era Jokowi juga tecermin dari kinerja instansi penegak hukum: Kejaksaan Agung, KPK, dan Polri, yang belakangan dianggap kian melempem. Kejagung, misalnya, beberapa tahun terakhir memang banyak menangani kasus dengan potensi kerugian negara yang besar. Namun pengembalian uang negara dalam kasus-kasus itu masih terbilang minim.

Minimnya pengembalian uang negara dalam kasus korupsi yang ditangani Kejagung ini tidak ditampik Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana. Ketut mengakui Kejagung masih membutuhkan waktu untuk bisa mengembalikan kerugian uang negara dalam setiap kasus yang ditangani.

Politik dinasti yang dilakukan Presiden Joko Widodo dianggap sebagai pengkhianatan nyata terhadap Reformasi 1998. Bahkan, politik dinasti Jokowi dianggap sebagai politik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Menurut Direktur Gerakan Perubahan Muslim Arbi, dengan merestui Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo Subianto, Jokowi telah mengkhianati Reformasi 1998, selain mengkhianati konstitusi yang dilahirkan dari semangat anti KKN.

Di periode kedua jelang akhir masa jabatannya sebagai presiden, kata Muslim, Jokowi membangun dinasti politiknya.

Di mana, menantunya, Bobby Nasution menjadi Walikota Medan, putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka menjadi menjadi Walikota Solo dan kini menjadi bacawapresnya Prabowo, dan putera lainnya, Kaesang Pangarep menjadi Ketua Umum PSI, serta iparnya, Anwar Usman menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).

Faktor penyebab terjadinya korupsi:

- Pressure (tekanan) : Memiliki motivasi untuk melakukan tindakan korupsi karena adanya tekanan, salah satunya karena motif ekonomi. Namun, tekanan ini kadang tidak benar-benar ada, hanya pelaku saja yang berpikir kalau mereka merasa tertekan dan tergoda pada bayangan insentif.

- Oportunity (kesempatan) : Adanya kesempatan membuat seseorang tergiur untuk korupsi. Ini terjadi akibat dari lemahnya sistem pengawasan yang pada akhirnya menjerumuskan pelaku melakukan korupsi.

- Rationalization (rasionalisasi) : Para pelaku selalu memiliki rasionalisasi atau pembenaran untuk melakukan korupsi. Rasionalisasi ini ternyata dapat menipiskan rasa bersalah yang dimiliki pelaku dan merasa dirinya tidak mendapatkan keadilan. 

Ciri-ciri terjadinya korupsi :

* Adanya pembengkakan anggaran

* Penyunatan dana desa untuk kepentingan pribadi 

* Promosi jabatan tidak sesuai kompetensi 

Pemberantasan korupsi tentunya membutuhkan kesamaan persepsi sehingga pemberantasannya bisa dilakukan dengan tepat dan terarah. ACLC KPK telah merangkum Trisula Strategi Pemberantasan Korupsi, yakni:

Sula Penindakan, strategi KPK dalam menindaklanjuti koruptor dan membawanya ke meja hijau, membacakan tuntutan dengan menghadirkan saksi dan alat bukti yang nantinya bisa digunakan untuk menguatkan perbuatan yang dilakukan.

Sula Pencegahan, perbaikan pada sistem sehingga dapat mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Beberapa perbaikannya seperti pelayanan publik yang dibuat transparan, penataan layanan publik lewat koordinasi dan korsupgah (supervisi pencegahan), dan lainnya.

Sula Pendidikan, digalakkan dengan kampanye dan edukasi yang bertujuan untuk menyamakan pemahaman masyarakat terkait tindakan korupsi dan memeranginya bersama.

Faktor penyebab terjadinya koalisi :

- Budaya suap-menyuap yang telah menjadi bagian dari sistem birokrasi

- Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum.

- Adanya kesempatan dan dorongan untuk mencuri keuntungan pribadi maupun kelompok

Beberapa faktor penyebab terjadinya nepotisme, antara lain :

* Rasa keserakahan.

* Moral dan mentalitas aparat yang buruk.

* Kurangnya pemahaman nilai-nilai spiritual.

* Manajemen kekuasaan yang tidak efisien.

* Iklim politik patrimonial.

* Desakan ekonomi keluarga.

* Kesadaran akan tanggung jawab yang rendah.

* Sikap individualis.

Semakin banyak kasus KKN yang terjadi, kita harus bisa mengatasi masalah ini terutama pihak yang berwenang.

Beberapa cara untuk mengatasi KKN, sebagai berikut :

- Memperkuat sarana serta prasarana hukum

- Melakukan penyempurnaan pada lembaga penegak hukum

- Pemberdayaan peran masyarakat

Dampak Nepotisme dapat merusak kinerja karena pengangkatan berdasarkan hubungan pribadi, bukan kualifikasi, yang dapat membuat karyawan yang lebih kompeten merasa tidak dihargai. Praktik ini menciptakan lingkungan di mana promosi tidak didasarkan pada kinerja, merusak etika kerja.

Oleh karena itu kita harus bisa menanggulangi kasus KKN yang terjadi di Indonesia terutama kepada pihak yang berwenang agar lebih tegas lagi pada pelaku kejahatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun