Potensi nilai kerugian negara dari kasus-kasus ini juga ikut melambung. Dari hanya Rp 8,4 triliun pada 2019 menjadi Rp 28,4 triliun pada 2023. Bahkan pernah mencapai Rp 42,7 triliun pada 2022.
Peneliti ICW Diky Anindya mengatakan amburadulnya tren pemberantasan korupsi ini tidak lepas dari tumpulnya keberanian negara memberikan hukuman berat kepada koruptor. Itu terlihat data tren vonis bagi para koruptor pada 2020-2022, yang hanya dihukum rata-rata 37-41 bulan atau maksimal 3 tahun 4 bulan.
Pada 2020, dari total Rp 56,7 triliun kerugian negara, yang bisa dikembalikan hanya Rp 19,6 triliun. Lalu pada 2021, dari Rp 62,9 triliun, pengembalian hanya Rp 1,4 triliun. Kemudian pada 2022, dari Rp 48,7 triliun kerugian negara, hanya Rp 3,8 triliun yang bisa dikembalikan.
Tren buruk pemberantasan korupsi di era Jokowi juga tecermin dari kinerja instansi penegak hukum: Kejaksaan Agung, KPK, dan Polri, yang belakangan dianggap kian melempem. Kejagung, misalnya, beberapa tahun terakhir memang banyak menangani kasus dengan potensi kerugian negara yang besar. Namun pengembalian uang negara dalam kasus-kasus itu masih terbilang minim.
Minimnya pengembalian uang negara dalam kasus korupsi yang ditangani Kejagung ini tidak ditampik Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana. Ketut mengakui Kejagung masih membutuhkan waktu untuk bisa mengembalikan kerugian uang negara dalam setiap kasus yang ditangani.
Politik dinasti yang dilakukan Presiden Joko Widodo dianggap sebagai pengkhianatan nyata terhadap Reformasi 1998. Bahkan, politik dinasti Jokowi dianggap sebagai politik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Menurut Direktur Gerakan Perubahan Muslim Arbi, dengan merestui Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo Subianto, Jokowi telah mengkhianati Reformasi 1998, selain mengkhianati konstitusi yang dilahirkan dari semangat anti KKN.
Di periode kedua jelang akhir masa jabatannya sebagai presiden, kata Muslim, Jokowi membangun dinasti politiknya.
Di mana, menantunya, Bobby Nasution menjadi Walikota Medan, putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka menjadi menjadi Walikota Solo dan kini menjadi bacawapresnya Prabowo, dan putera lainnya, Kaesang Pangarep menjadi Ketua Umum PSI, serta iparnya, Anwar Usman menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
Faktor penyebab terjadinya korupsi:
- Pressure (tekanan) : Memiliki motivasi untuk melakukan tindakan korupsi karena adanya tekanan, salah satunya karena motif ekonomi. Namun, tekanan ini kadang tidak benar-benar ada, hanya pelaku saja yang berpikir kalau mereka merasa tertekan dan tergoda pada bayangan insentif.