Mohon tunggu...
Dwi Setyowati
Dwi Setyowati Mohon Tunggu... -

Bersyukur itu bukan membatasi diri, melainkan berterimakasih pada Tuhan dengan mengoptimalkan segala potensi. Mari bersyukur...

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fabel] Nasib Caca dan Mama di Hutan Sulamaya

7 November 2015   17:16 Diperbarui: 7 November 2015   17:36 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Dwi Setyowati, No. 72

Sore itu pertengahan bulan di musim kemarau, hutan Sulamaya tampil begitu menakjubkan. Seperti kerajaan modern dengan pantulan lampu hias yang remang-remang, hutan seluas 5 juta hektar itu gemerlapan cahaya senja. Cahaya senja ini pulalah yang selalu mendatangkan kebahagiaan tersendiri bagi penghuninya, Caca, anak orang utan yang sekarang berusia 3,5 tahun.

“Mama, matahari hampir tenggelam, berarti Caca boleh beristirahat ya?” pintanya dengan nafas naik turun.

“Caca, langit belum betul-betul gelap, sekarang kamu berlatih melompat lebih cepat lagi dalam keadaan remang-remang!”

“Mama…” Suara Caca melemah.

Caca melompat lagi. Bergelayut dari cabang ke cabang. Pohon ke pohon. Sementara sudut-sudut matanya makin sembab. Sesekali mulutnya meringis, merasai kuku tangannya hampir lepas akibat terlalu keras tergesek kayu pohon. Saat Caca mau berhenti, mamanya menyuruh terus.

“Mama, matahari telah tenggelam.”

“Tapi purnama juga hadir!”

Caca mengangguk dengan rintihan yang hanya terdengar oleh telinganya. Sementara di ujung sana, di batang pohon yang rindang dua temannya sedang bercengkrama dengan kerabat. Caca tak peduli. Ia terus menggapai ranting-ranting hingga akhirnya terhenti juga. Tubuhnya sudah telentang diatas tanah gambut. Tenaganya purna.

“Ca, bangun ca,”

Mulut mungil Caca terkatup. Matanya setengah terpejam. Tubuh mungilnya kini sudah dalam rengkuhan betina yang mengandung dan melahirkannya. Betina yang selalu mencarikan buah-buahan dan daun-daunan terbaik untuknya.

Caca tampak berseri-seri. Aku ingin sakit lebih lama, gumam Caca. Karena sakitlah satu-satunya alasan yang akan membuat mama berlaku lebih lembut padanya. Lalu Caca berpura-pura sakit. Sayangnya mama selalu berhasil mengetahui kepura-puraannya. Maka betina berotot kekar itu kembali menjadi instruktur untuknya.

“Ayo Ca, lebih cepat lagi! Cepat!!”

***

“Mama, apakah kau baik-baik saja?”

Orangutan bertubuh langsing itu mengernyitkan dahi. Sorot matanya tajam. Tubuh yang sedang tersandar di pohon itu langsung dicondongkannya kedepan. Ia berdiri dengan kaki gemetaran dan kucuran darah yang tak henti-hentinya.

Caca sesenggukan memeluk kaki mamanya. Gadis orangutan berambut pirang itu meminta ampun bertubi-tubi. “Mama, maafkan Caca,”

Mama tersenyum. Tangan panjangnya segera meraih kepala Caca. Mengusapnya lembut, seperti sedang mengenang masa kecil anak yang tak pernah lepas dari pelukannya. Sementara Caca juga mengenang kejadian dua hari lalu yang tak pernah terbesit dalam benaknya.

Caca yang sedang bergelayutan siang itu, tiba-tiba mendengar teriakan mama dengan nada panik. “Caca, lari!”

Caca menengok sebentar dan segera tahu ada makhluk asing yang membawa semacam bilah kecil berbentuk ramping. Dari batang itu terdengar “Dor” bertubi-tubi.

Caca bergelayut sangat cepat. Ia meraih ranting demi ranting tanpa cela. Mamanya mengikuti di belakang. Bunyi “Dor” belum berhenti. Caca semakin gesit. Mamanya terus merangsek, menginstruksikan Caca untuk masuk ke dalam inti hutan. Pusat singgasananya.

Sejak kejadian itu mama Caca tak bisa melompat gesit. Kakinya berdarah. Caca kelimpungan.

“Kenapa kaki mama? Benda apa yang membuat kaki perkasa mama menjadi lemah?”

Mama kehilangan selera makan. Buah-buahan yang dipetik Caca dibiarkannya layu. Untuk pertama kalinya Caca melihat mama tertatih. Pucat.

“Ca, kamu hebat. Sekarang kamu bisa diandalkan.”

“Mama lebih hebat!”

“Tapi mama sakit. Susah berjalan.”

“Mama, apa yang terjadi sebenarnya? Siapa yang kemarin mengejar kita? Apakah dia lebih hebat dari harimau?”

“Ca, makhluk yang mengejar kita kemarin itu lebih hebat dari harimau dan buaya. Untuk itulah mama melatihmu keras, agar kau bisa melindungi dirimu sendiri.”

“Baiklah, ma, besok Caca akan mencakar-cakar makhluk itu kalau bertemu lagi.”

Mama menggeleng.

“Tidak bisa Ca, makhluk itu punya alat hebat yang bisa melukai jarak jauh. Lihatlah kaki mama, sakit seperti ini.”

“Lalu bagaimana kalau ada makhluk itu lagi?”

“Lari Ca, hanya lari! Kamu harus bergelayut super cepat agar dapat mengelabuinya dan menjauh. Sejauh mungkin, Ca!”

Caca mengangguk. Kini dia paham, ada yang lebih mengerikan dari macan dan buaya. Bagaimana tidak, mama yang dilihatnya sebagai induk paling hebat, harus tunduk dalam kesakitan yang berlarut-larut.


***

“Mama tak kuat Ca,”

Betina itu terengah-engah. Lukanya yang terbuka telah mengundang berbagai bakteri. Ia pun mogok. Kakinya tertanam di tanah. Di sampingnya Caca meraung-raung. Memegangi tangan induknya dan menariknya sekuat tenaga.

“Ayo mama, kita lari, hutan sudah semakin pengap.”

“Tidak bisa, Ca, tinggalkan mama, larilah kau,”

Caca dan penghuni hutan Sulamaya tunggang langgang dikejar asap. Tapi seekor induk tak bisa lari. Matanya kuyu. Api menggelegar di balik punggungnya.

“Mama, ayo,”

“Ca, lari Ca! Sekarang dengarkan Mama, untuk apa mama melatihmu setiap hari kalau kau tak bisa lari. Lindungilah dirimu sendiri!”

“Tapi..”

“Ikuti perintah mama!”

Caca mengemas air mata. Berlari dalam udara putih yang menyusahkan nafasnya. Saat tubuh merasakan reaksi panas berlebih, instingnya memang ingin terus menjauhi asap, tapi angannya selalu terpaut pada mama. Mama…mama…

Dalam ketakutan yang dahsyat itu, tiba-tiba tampak bayangan sekelompok makhluk yang tempo kemarin membuat mamanya terluka. Caca pun kalap. Ia bertekad putar arah. Tapi nafasnya kian sesak. Bulu-bulunya jadi keriting, sebagian terpanggang. Gelap.

***

“Wah, orang utannya sudah sadar!” Teriak makhluk asing itu.

Yang lain segera berkerumun. Mengusap-usap tubuh Caca yang terbaring di atas benda lembut yang mereka sebut handuk. Mereka tidak membawa bilah seperti makhluk yang dulu melukai mama Caca. Mereka tersenyum, memandangi Caca bergantian.

***

Untuk membaca karya peserta event Fabel yang lain, silahkan kunjungi Akun Fiksiana Community

Silahkan bergabung di grup FB Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun