Caca tampak berseri-seri. Aku ingin sakit lebih lama, gumam Caca. Karena sakitlah satu-satunya alasan yang akan membuat mama berlaku lebih lembut padanya. Lalu Caca berpura-pura sakit. Sayangnya mama selalu berhasil mengetahui kepura-puraannya. Maka betina berotot kekar itu kembali menjadi instruktur untuknya.
“Ayo Ca, lebih cepat lagi! Cepat!!”
***
“Mama, apakah kau baik-baik saja?”
Orangutan bertubuh langsing itu mengernyitkan dahi. Sorot matanya tajam. Tubuh yang sedang tersandar di pohon itu langsung dicondongkannya kedepan. Ia berdiri dengan kaki gemetaran dan kucuran darah yang tak henti-hentinya.
Caca sesenggukan memeluk kaki mamanya. Gadis orangutan berambut pirang itu meminta ampun bertubi-tubi. “Mama, maafkan Caca,”
Mama tersenyum. Tangan panjangnya segera meraih kepala Caca. Mengusapnya lembut, seperti sedang mengenang masa kecil anak yang tak pernah lepas dari pelukannya. Sementara Caca juga mengenang kejadian dua hari lalu yang tak pernah terbesit dalam benaknya.
Caca yang sedang bergelayutan siang itu, tiba-tiba mendengar teriakan mama dengan nada panik. “Caca, lari!”
Caca menengok sebentar dan segera tahu ada makhluk asing yang membawa semacam bilah kecil berbentuk ramping. Dari batang itu terdengar “Dor” bertubi-tubi.
Caca bergelayut sangat cepat. Ia meraih ranting demi ranting tanpa cela. Mamanya mengikuti di belakang. Bunyi “Dor” belum berhenti. Caca semakin gesit. Mamanya terus merangsek, menginstruksikan Caca untuk masuk ke dalam inti hutan. Pusat singgasananya.
Sejak kejadian itu mama Caca tak bisa melompat gesit. Kakinya berdarah. Caca kelimpungan.