“Lari Ca, hanya lari! Kamu harus bergelayut super cepat agar dapat mengelabuinya dan menjauh. Sejauh mungkin, Ca!”
Caca mengangguk. Kini dia paham, ada yang lebih mengerikan dari macan dan buaya. Bagaimana tidak, mama yang dilihatnya sebagai induk paling hebat, harus tunduk dalam kesakitan yang berlarut-larut.
***
“Mama tak kuat Ca,”
Betina itu terengah-engah. Lukanya yang terbuka telah mengundang berbagai bakteri. Ia pun mogok. Kakinya tertanam di tanah. Di sampingnya Caca meraung-raung. Memegangi tangan induknya dan menariknya sekuat tenaga.
“Ayo mama, kita lari, hutan sudah semakin pengap.”
“Tidak bisa, Ca, tinggalkan mama, larilah kau,”
Caca dan penghuni hutan Sulamaya tunggang langgang dikejar asap. Tapi seekor induk tak bisa lari. Matanya kuyu. Api menggelegar di balik punggungnya.
“Mama, ayo,”
“Ca, lari Ca! Sekarang dengarkan Mama, untuk apa mama melatihmu setiap hari kalau kau tak bisa lari. Lindungilah dirimu sendiri!”
“Tapi..”