Mohon tunggu...
Setyoningsih Subroto
Setyoningsih Subroto Mohon Tunggu... Dosen - Pekerja

Kutu buku, penyesap kopi, pencabik senar

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Film Imperfect: Visualisasi Suara Hatiku

21 Agustus 2022   14:17 Diperbarui: 21 Agustus 2022   14:21 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Rara sedang bergegas menuruni tangga untuk bersantap pagi. Sedangkan sang ibu sudah tiba beberapa saat sebelumnya.

"Kamu ngga telat kak?"

"Kok tahu ini aku?"

"Getaran tangganya beda"

Mendengar jawaban tersebut, Rara langsung terdiam dan menunjukkan raut masam.

 Begitulah cuplikan salah satu adegan dalam film Imperfect karya sineas berbakat Indonesia, Ernest Prakasa. Adapun film ini diangkat dari novel best seller karya Meira Anastasia, sang istri tercinta yang juga didapuk sebagai penulis skenario. Sebagai ciri khas, Ernest kerap menyentil realita yang ada dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia melalui karya-karyanya. Dalam film ini, yang mendapat giliran untuk disentil adalah "standar kecantikan wanita" berikut "kesempurnaan" yang menyertainya.

"Imperfect" secara harfiah memang bermakna "ketidaksempurnaan". Lalu benar saja, selama 113 menit, penonton disuguhi oleh parade perbandingan antara "sempurna" dan "tidak sempurna" yang melekat pada kecantikan wanita. Poin-poin yang selama ini dianut dalam kehidupan sosial masyarakat dikemas dengan cerdas oleh Ernest. Penonton pun tidak perlu mengerutkan dahi, karena pesan yang terkandung dalam film disajikan dengan gamblang dan mudah dicerna.

Premis cerita yang diangkat dalam film ini sebenarnya cukup sederhana. Yakni bagaimana seorang wanita bernama Rara berusaha keras untuk memenuhi "standar kecantikan" agar memperoleh jabatan yang diidamkannya. Memang miris rasanya, karena Rara digambarkan sebagai sosok yang cakap dengan kualitas kinerja yang mumpuni. Namun bagi pimpinannya, kemampuan saja tidak cukup. Rara masih diharuskan untuk memperbaiki penampilan fisiknya sebagai syarat untuk bisa menempati jabatan tersebut. Nah, sangat menggambarkan realita bukan? Apakah kamu pernah berada dalam posisi yang sama seperti Rara?

Itulah pertanyaan yang bergelayut di benak penulis ketika menyaksikan film ini. Dan jawaban penulis adalah, "Ya ampun..... ini gue banget!". Yah..... bagaimana tidak? Rasanya kok benar-benar menohok gitu loh. Secara refleks, penulis terkenang dengan berbagai momen tidak mengenakkan yang mirip dengan beberapa adegan dalam Imperfect.

Ada banyak kegetiran yang dirasakan oleh penulis selama menjalani hidup sebagai wanita yang "tidak memenuhi standar kecantikan". Tidak berkulit putih, bertubuh langsing, dan berparas rupawan. Otak sih cemerlang, tangan juga terampil (eh penulis bukan sedang narsis ya hehehe). Namun seperti halnya yang dirasakan oleh Rara, bagi sebagian orang apalah artinya kemampuan tanpa penampilan fisik yang menawan.

Mendengar atau membaca komentar-komentar tidak mengenakkan terkait penampilan fisik bukanlah hal yang baru. Berat badan, ukuran anggota tubuh tertentu, kondisi wajah, rambut, hingga gaya berbusana, semuanya kena! Siapa yang melontarkan? Bisa siapa saja. Stranger bisa. Teman sendiri bisa. Bahkan keluarga juga bisa. Seperti halnya yang dialami oleh Rara, komentar pahit justru seringkali datang dari ibunya sendiri. Bahkan Rara juga kerap dibandingkan dengan sang adik yang "sempurna". Hingga akhirnya Rara merasakan dilema, meyakini bahwa dirinya "tidak cantik" dan harus berubah.   

"Oh iya ya..... Aku nggak cantik". Inilah keyakinan yang dulu dianut oleh penulis, sama seperti Rara. Terlebih jika penulis sedang bercermin atau melihat foto diri, maka kalimat sesat itulah yang muncul dalam benak. Sebuah hasil yang dipetik walaupun tidak pernah berkeinginan untuk menumbuhkannya. Berada dalam lingkup sosial yang sudah mengamini "standar kecantikan" buatan industri ternyata banyak pengaruhnya ketika menilai diri sendiri. Tanpa disadari, rentetan poin yang membedakan antara "cantik" dan "tidak cantik" melekat kuat dalam benak penulis. Tidak dapat dipungkiri bahwa selalu ada rasa iri yang muncul ketika melihat mbak-mbak yang "cantik". Rasa rendah diri pun juga tak kuasa ditolak ketika sedang hang out bersama teman-teman yang "cantik". Kalau difoto juga lebih suka ramean, soalnya kalau sendiri suka nggak pedean hehehe.......

Masih ada efek samping lain yang dirasakan penulis berkat konsep "standar kecantikan" yang menyebalkan ini. Asli loh, selama belasan tahun lamanya, penulis tidak pernah bisa memuji penampilan diri sendiri. Seringnya sih kritik. "Kenapa aku gini sih? Aku juga pengen kayak mereka. Aku pengen cantik!".

Karena sudah banyak protes ke diri sendiri, penulis akhirnya bergerak. Prosesnya sih mirip seperti Rara. Menurut penulis, ini bisa disebut sebagai rumus "3D". Diet? Dandan? Dressed up? Semua sudah dilewati! Bahkan kondisi lemas seperti yang dialami Rara akibat diet ketat juga sudah penulis rasakan. 

Bedanya, kalau Rara masih dilengkapi dengan olahraga, sedangkan penulis mager untuk urusan satu itu hehehe. Yang membedakan lagi adalah tujuannya. Kalau Rara berproses demi jabatan, maka penulis tergerak oleh rasa "jijik" yang muncul ketika bercermin. Nah, itu dia letak salahnya, motivasi yang kurang tepat.

Baik penulis maupun Rara sama-sama berproses tanpa memahami terlebih dahulu apa itu makna "cantik" yang sesungguhnya. Yang sesuai dengan nilai diri dan menampilkan "kecantikan" yang tersembunyi. 

Fokus hanya ditujukan pada rupa dan fisik belaka. Nah celakanya, ketika sudah "cantik", ternyata semesta tidak langsung bernuansa ceria. Sorak sorai juga tidak langsung membahana hingga ke angkasa. Tidak! Tidak seperti kisah-kisah Disney ataupun Barbie yang happy ending.

Rara yang berhasil menjalani proses memang pada akhirnya memperoleh jabatan yang dituju. Namun seiring berjalannya waktu, dia menghadapi kenyataan bahwa menjadi "cantik" justru menjauhkan dirinya dari orang-orang yang tersayang. 

Api mulai menyala dalam relasi Rara dengan keluarga, sahabat, hingga pacarnya. Sedangkan bagi penulis, berbagai ucapan tidak mengenakkan kembali hadir mewarnai hidup. Yang membedakan adalah konteksnya. Setelah berproses, tidak sedikit komentar bernada seksis, tidak senonoh, dan cenderung merendahkan yang diterima oleh penulis. 

Loh gimana sih? Sudah "cantik" kok masih belum tenang juga........

Rara akhirnya melakukan refleksi diri. Begitu juga dengan penulis. Kami menimbang beratnya proses yang sudah dijalani dan hasil yang diperoleh. Kami menyadari bahwa menjadi "cantik" ternyata bisa berujung pada sedikit lupa daratan. 

Mulanya terlalu mabuk dengan sanjungan dan mengabaikan yang ada di sekitar. Terlalu sibuk untuk melayang dan lupa untuk menapak ke tanah. Dan baru tersadar ketika api sudah terlanjur berkobar. Hingga akhirnya...... setitik sinar menyeruak dalam otak, membimbing untuk berdamai dengan diri sendiri.

Baik penulis maupun Rara kemudian melakukan redefinisi atas makna "cantik". Semua deskripsi buatan industri yang disodorkan melalui media kami tinggalkan! Kami abaikan! Kami belajar untuk menumbuhkan sikap welas asih pada diri sendiri. Tidak menuntut secara berlebihan agar sesuai dengan apa yang ada dalam konstruksi sosial. Menerima apa yang sudah diberikan Tuhan dan menikmati kedamaian yang sesungguhnya telah dimiliki namun terabaikan sebelumnya.

Rara tidak lagi diet ketat. Beberapa kilogram yang sempat hilang kemudian kembali lagi. Uniknya, Rara justru lebih happy jika seperti itu. Hubungan yang sempat merenggang dalam lingkup sosialnya juga sudah membaik. Sedangkan penulis, ya happy juga. Rasanya sih...... sudah bodo amat. Komentar sumir tetap ada dan tidak bisa dihindari. Sakit hati juga pasti muncul secara refleks. Terkadang masih juga curcol di media sosial. Ya habisnya.... gimana dong? Kalau menggunakan istilah masa kini, namanya "kzl" (re: kesal) begitu. Walaupun demikian, penulis sudah menempatkan sepasukan satria baja hitam di dalam pikiran. Maksudnya, punya tameng gitu loh.

Penulis belajar bahwa mustahil untuk bisa mengontrol ucapan atau sikap orang lain. Oleh karena itu, yang perlu dikontrol adalah diri sendiri. Segala ucapan atau sikap yang buruk dari orang lain tidak perlu diinternalisasi dalam pikiran. Buang-buang waktu dan energi, percaya deh. Alihkan waktu dan pikiran untuk hal lain yang lebih bermakna dalam hidup. Demikian pula dengan Rara, selepas refleksi diri kemudian menjadi lebih fokus untuk berkarya.

Sebagai seorang manajer riset pemasaran pada sebuah jenama produk kecantikan, Rara berhasil membuat gebrakan. Di akhir cerita, dia memperlihatkan bahwa tidak ada rumus pasti untuk "cantik". Tidak ada ketentuan yang mengatur warna kulit, model rambut, hingga bentuk dan ukuran tubuh. Dia berhasil menunjukkan kecantikan khas Indonesia yang lebih inklusif dan tidak terkotakkan oleh standar yang menyesatkan. Apa yang mulanya dipandang "tidak sempurna" ternyata tetap "cantik" kok. Ingat John Legend? Dalam salah satu mega hits ciptaannya terlantun "Love your curves and all your edges, all your perfect imperfections................"

 Yups! Apa yang dipandang "tidak sempurna" ternyata tetap bisa menjadi "sempurna". Kembali ke cara pandang masing-masing. Mau mengikuti konsep busuk yang menyesatkan atau secara mandiri menanamkan makna yang tidak menyakiti diri sendiri.

Jika kamu sudah menjalani hari dengan senyuman lebar penuh percaya diri dengan segala yang ada padamu, penulis ucapkan selamat! Wow! Kamu hebat!

Namun jika kamu sedang berada dalam situasi menyebalkan yang pernah dialami Rara dan penulis, tetaplah berjuang!  

Tentukan makna cantikmu. Cantiklah untuk dirimu sendiri. Berilah cinta dan sayang yang melimpah pada dirimu agar tetap tegak berdiri dalam menghadapi angin kehidupan yang tak pernah pasti.

Akhir kata, pssssttt...... kamu cantik dan kamu berharga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun