Mohon tunggu...
Setyoningsih Subroto
Setyoningsih Subroto Mohon Tunggu... Dosen - Pekerja

Kutu buku, penyesap kopi, pencabik senar

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Film Imperfect: Visualisasi Suara Hatiku

21 Agustus 2022   14:17 Diperbarui: 21 Agustus 2022   14:21 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada banyak kegetiran yang dirasakan oleh penulis selama menjalani hidup sebagai wanita yang "tidak memenuhi standar kecantikan". Tidak berkulit putih, bertubuh langsing, dan berparas rupawan. Otak sih cemerlang, tangan juga terampil (eh penulis bukan sedang narsis ya hehehe). Namun seperti halnya yang dirasakan oleh Rara, bagi sebagian orang apalah artinya kemampuan tanpa penampilan fisik yang menawan.

Mendengar atau membaca komentar-komentar tidak mengenakkan terkait penampilan fisik bukanlah hal yang baru. Berat badan, ukuran anggota tubuh tertentu, kondisi wajah, rambut, hingga gaya berbusana, semuanya kena! Siapa yang melontarkan? Bisa siapa saja. Stranger bisa. Teman sendiri bisa. Bahkan keluarga juga bisa. Seperti halnya yang dialami oleh Rara, komentar pahit justru seringkali datang dari ibunya sendiri. Bahkan Rara juga kerap dibandingkan dengan sang adik yang "sempurna". Hingga akhirnya Rara merasakan dilema, meyakini bahwa dirinya "tidak cantik" dan harus berubah.   

"Oh iya ya..... Aku nggak cantik". Inilah keyakinan yang dulu dianut oleh penulis, sama seperti Rara. Terlebih jika penulis sedang bercermin atau melihat foto diri, maka kalimat sesat itulah yang muncul dalam benak. Sebuah hasil yang dipetik walaupun tidak pernah berkeinginan untuk menumbuhkannya. Berada dalam lingkup sosial yang sudah mengamini "standar kecantikan" buatan industri ternyata banyak pengaruhnya ketika menilai diri sendiri. Tanpa disadari, rentetan poin yang membedakan antara "cantik" dan "tidak cantik" melekat kuat dalam benak penulis. Tidak dapat dipungkiri bahwa selalu ada rasa iri yang muncul ketika melihat mbak-mbak yang "cantik". Rasa rendah diri pun juga tak kuasa ditolak ketika sedang hang out bersama teman-teman yang "cantik". Kalau difoto juga lebih suka ramean, soalnya kalau sendiri suka nggak pedean hehehe.......

Masih ada efek samping lain yang dirasakan penulis berkat konsep "standar kecantikan" yang menyebalkan ini. Asli loh, selama belasan tahun lamanya, penulis tidak pernah bisa memuji penampilan diri sendiri. Seringnya sih kritik. "Kenapa aku gini sih? Aku juga pengen kayak mereka. Aku pengen cantik!".

Karena sudah banyak protes ke diri sendiri, penulis akhirnya bergerak. Prosesnya sih mirip seperti Rara. Menurut penulis, ini bisa disebut sebagai rumus "3D". Diet? Dandan? Dressed up? Semua sudah dilewati! Bahkan kondisi lemas seperti yang dialami Rara akibat diet ketat juga sudah penulis rasakan. 

Bedanya, kalau Rara masih dilengkapi dengan olahraga, sedangkan penulis mager untuk urusan satu itu hehehe. Yang membedakan lagi adalah tujuannya. Kalau Rara berproses demi jabatan, maka penulis tergerak oleh rasa "jijik" yang muncul ketika bercermin. Nah, itu dia letak salahnya, motivasi yang kurang tepat.

Baik penulis maupun Rara sama-sama berproses tanpa memahami terlebih dahulu apa itu makna "cantik" yang sesungguhnya. Yang sesuai dengan nilai diri dan menampilkan "kecantikan" yang tersembunyi. 

Fokus hanya ditujukan pada rupa dan fisik belaka. Nah celakanya, ketika sudah "cantik", ternyata semesta tidak langsung bernuansa ceria. Sorak sorai juga tidak langsung membahana hingga ke angkasa. Tidak! Tidak seperti kisah-kisah Disney ataupun Barbie yang happy ending.

Rara yang berhasil menjalani proses memang pada akhirnya memperoleh jabatan yang dituju. Namun seiring berjalannya waktu, dia menghadapi kenyataan bahwa menjadi "cantik" justru menjauhkan dirinya dari orang-orang yang tersayang. 

Api mulai menyala dalam relasi Rara dengan keluarga, sahabat, hingga pacarnya. Sedangkan bagi penulis, berbagai ucapan tidak mengenakkan kembali hadir mewarnai hidup. Yang membedakan adalah konteksnya. Setelah berproses, tidak sedikit komentar bernada seksis, tidak senonoh, dan cenderung merendahkan yang diterima oleh penulis. 

Loh gimana sih? Sudah "cantik" kok masih belum tenang juga........

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun