Mohon tunggu...
Setyo Budiantoro
Setyo Budiantoro Mohon Tunggu... Konsultan - Percikan pemikiran tentang transformasi pembangunan

Nexus Strategist, Development Economist, Entrepreneur, Writer https://www.budinomic.info/

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menangkal Kutukan Periode Kedua (1)

7 April 2020   11:26 Diperbarui: 7 April 2020   11:40 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sayangnya, gestur kewibawaan Presiden Jokowi segera ambyar dalam hitungan hari. Dan ironisnya, longsor kepercayaan itu justru terjadi karena internal pemerintahan sendiri. 

Arah ketegasan kebijakan mudik lebaran tidak jelas, maju mundur. Dari sebelumnya mudik dilarang karena mengantisipasi resiko penularan Covid-19, namun tiba-tiba diperbolehkan asal dengan karantina diri selama 14 hari. Tidak jelas, apa yang akan dilakukan bila karantina sukarela tidak dilakukan dan siapa yang bisa mengawasi jutaan orang mudik?

Di luar domain kompetensinya, tiba-tiba Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, menyampaikan bahwa virus Covid-19 tidak akan bertahan di iklim tropis. 

Pernyataan ini menimbulkan polemik, pertanyaan sederhana muncul. Bila tak mampu bertahan di iklim tropis, kenapa ratusan orang mati dan ribuan orang di Indonesia terinfeksi? 

Lalu, untuk apa kita harus mengurung diri di rumah dan tidak boleh beraktifitas? Sementara itu beberapa waktu lalu, Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mengklarifikasi mitos bahwa virus Covid-19 akan mati dalam cuaca yang panas.

Covid-19 kini telah menginfeksi pada lebih dari 190 negara. Negara dengan kematian terbesar hingga hari ini adalah Itali yang mendekati 16 ribu, lalu disusul Spanyol, Amerika dan Inggris. Bila melihat lebih dalam lagi, kematian akibat Covid-19 pada beberapa negara itu terutama di kota-kota tertentu. 

Data dari Financial Times menunjukkan New York dan London akan segera menjadi episentrum baru bila melihat tren data, sementara itu pembatasan sosial (lockdown) di Italia dan Spanyol telah mampu mulai menurunkan kurva kematian.

Sumber: Financial Times
Sumber: Financial Times

Bila melihat kota di dunia yang menjadi korban terbesar Covid-19, pada umumnya mereka adalah kota-kota besar yang sangat kosmopolit bertemunya berbagai warga dunia dan tak mengherankan bila transmisi virus dengan mudah terjadi. 

Keterlambatan mengantisipasi Covid-19 tampaknya menjadi bencana. Presiden Donald Trump yang meremehkan Covid-19 dan bahkan sempat mengeluarkan pernyataan rasis, kini terkena batunya.

Amerika Serikat kini memiliki penduduk terbesar (hampir 3 kali lipat Italia) yang terjangkit Covid-19 dan mungkin sekaligus dengan kematian terbesar dunia, serta berpusat di New York. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun