Mohon tunggu...
Setyo Budiantoro
Setyo Budiantoro Mohon Tunggu... Konsultan - Percikan pemikiran tentang transformasi pembangunan

Nexus Strategist, Development Economist, Entrepreneur, Writer https://www.budinomic.info/

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menangkal Kutukan Periode Kedua (1)

7 April 2020   11:26 Diperbarui: 7 April 2020   11:40 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengenakan batik hitam yang mensimbolkan kewibawaan, keberanian, kekuatan, ketenangan, percaya diri dan dominasi, Presiden Joko Widodo menyampaikan telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan. 

Perppu itu memang sangat dibutuhkan untuk menstimulus perekonomian yang terancam lumpuh karena Covid-19. Defisit APBN, akan mencapai 5 persen dari PDB dan melampaui batas sebelumnya 3 persen.

Total tambahan belanja dan pembiayaan APBN jumbo sebesar Rp 405,1 triliun, akan digelontorkan. Tambahan anggaran akan dialokasikan ke berbagai sektor, bidang kesehatan Rp 75 triliun, jaring pengaman sosial Rp 110 triliun, insentif perpajakan dan kredit usaha rakyat Rp 70,1 triliun, serta pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional Rp 150 triliun. Paket yang cukup komplit ini diharapkan akan mampu memerangi dampak Covid-19 yang melumpuhkan agregat sisi permintaan dan penawaran sekaligus.

Indonesia punya pengalaman pahit dengan krisis moneter 1998 dan krisis dunia 2008, sehingga penanganan menghadapi krisis ekonomi saat ini cukup terukur. Kebijakan stimulus fiskal tersebut juga telah diorkestrasikan pelonggaran sektor moneter. Meski sempat terjadi capital flight akibat kepanikan pasar dan dollar sempat mendekati Rp 17 ribu, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dengan percaya diri tetap menurunkan BI rate.

Sikap confidence dari Perry, penjelasan jernih dan dialogis, kemudian menenangkan pasar. Untunglah hal itu juga sejalan dengan "indeks kepanikan" (volatility index) global yang mulai mereda. Bila pasar dalam keadaan panik, biasanya mereka akan melepas portofolio dan beralih ke dolar Amerika sebagai safe haven. 

Bila pasar dunia panik, tidak mungkin bisa melawan penguatan dolar. Inilah yang membuat dolar hampir mencapai Rp 17 ribu, ditambah lagi kepercayaan pasar yang tergerus terhadap kemampuan pemerintah Indonesia menangani Covid-19.

Sumber: CNBC
Sumber: CNBC

Persuasi Perry yang menyampaikan fundamental ekonomi yang kuat dan Indonesia tidak mengalami krisis ekonomi, bersamaan indeks kepanikan yang mereda dan indeks dolar yang menurun, ini segera membalik kondisi pasar uang dan pasar modal. Intervensi BI terhadap rupiah di saat yang tepat juga membuahkan hasil, nilai dolar makin menjauhi level Rp 17 ribu. Lalu, Perry juga berkomitmen bahwa akan menjaga dolar tidak akan melambung mencapai Rp 17 ribu.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang anjlok beberapa hari berwarna merah darah dan perdagangan bursa juga sempat dihentikan beberapa kali, berbuah manis. IHSG langsung melejit hijau dan kinerjanya melampaui pasar bursa lain di Asia. Mereka yang mempunyai nyali, masuk bursa ketika "berdarah-darah" (buy on weakness) dan cermat melihat valuasi berbagai emiten terlalu rendah, kini panen keuntungan.

Blunder Pemerintahan 

Sayangnya, gestur kewibawaan Presiden Jokowi segera ambyar dalam hitungan hari. Dan ironisnya, longsor kepercayaan itu justru terjadi karena internal pemerintahan sendiri. 

Arah ketegasan kebijakan mudik lebaran tidak jelas, maju mundur. Dari sebelumnya mudik dilarang karena mengantisipasi resiko penularan Covid-19, namun tiba-tiba diperbolehkan asal dengan karantina diri selama 14 hari. Tidak jelas, apa yang akan dilakukan bila karantina sukarela tidak dilakukan dan siapa yang bisa mengawasi jutaan orang mudik?

Di luar domain kompetensinya, tiba-tiba Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, menyampaikan bahwa virus Covid-19 tidak akan bertahan di iklim tropis. 

Pernyataan ini menimbulkan polemik, pertanyaan sederhana muncul. Bila tak mampu bertahan di iklim tropis, kenapa ratusan orang mati dan ribuan orang di Indonesia terinfeksi? 

Lalu, untuk apa kita harus mengurung diri di rumah dan tidak boleh beraktifitas? Sementara itu beberapa waktu lalu, Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mengklarifikasi mitos bahwa virus Covid-19 akan mati dalam cuaca yang panas.

Covid-19 kini telah menginfeksi pada lebih dari 190 negara. Negara dengan kematian terbesar hingga hari ini adalah Itali yang mendekati 16 ribu, lalu disusul Spanyol, Amerika dan Inggris. Bila melihat lebih dalam lagi, kematian akibat Covid-19 pada beberapa negara itu terutama di kota-kota tertentu. 

Data dari Financial Times menunjukkan New York dan London akan segera menjadi episentrum baru bila melihat tren data, sementara itu pembatasan sosial (lockdown) di Italia dan Spanyol telah mampu mulai menurunkan kurva kematian.

Sumber: Financial Times
Sumber: Financial Times

Bila melihat kota di dunia yang menjadi korban terbesar Covid-19, pada umumnya mereka adalah kota-kota besar yang sangat kosmopolit bertemunya berbagai warga dunia dan tak mengherankan bila transmisi virus dengan mudah terjadi. 

Keterlambatan mengantisipasi Covid-19 tampaknya menjadi bencana. Presiden Donald Trump yang meremehkan Covid-19 dan bahkan sempat mengeluarkan pernyataan rasis, kini terkena batunya.

Amerika Serikat kini memiliki penduduk terbesar (hampir 3 kali lipat Italia) yang terjangkit Covid-19 dan mungkin sekaligus dengan kematian terbesar dunia, serta berpusat di New York. 

Semenjak 31 Maret hingga kini, rerata lebih dari 25 ribu orang terjangkit dan lebih dari seribu orang di negeri Paman Sam mati per hari akibat Covid-19. Horor yang mengerikan ini mungkin tak pernah terbayangkan dalam fantasi film Holywood sekalipun.

Fokus PSBB

Terlepas soal tropis atau bukan tropis, pembelajaran dari berbagai negara di dunia memperlihatkan perlunya mengisolasi wilayah paling parah terinfeksi Covid-19. 

Dalam hal ini, pemerintah sebenarnya telah menetapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sebagai langkah mengatasi penyebaran. Oleh sebab itu, pemerintah harus fokus menjalankan kebijakan dan tak perlu menambah polemik baru yang justru menggerus kepercayaan publik.

Dari data yang ada, DKI Jakarta dan Jawa Barat adalah provinsi yang paling banyak terinfeksi Covid-19. Bila provinsi DKI Jakarta hampir merata di seluruh kotanya terinfeksi, namun Jawa Barat hanya pada wilayah tertentu saja. Menjelang Idul Fitri, mudik lebaran kini sangat berisiko menyebarkan Covid-19 dari kota besar ke berbagai daerah di Indonesia.

Belajar dari Wuhan ketika mengalami pandemi Covid-19, pemerintah China segera menutup kota yang berpenduduk 11 juta orang tersebut. Namun, mengingat situasi makin parah maka pemerintah China menambah penutupan kota di sekitar Wuhan sehingga total penduduk yang diisolasi 60 juta orang. 

Selain itu, Tahun Baru China yang biasa dirayakan dengan pulang kampung seperti tradisi lebaran juga dilarang.

Bila pulang kampung diperbolehkan, Covid-19 bisa berisiko menyebar pada 1,4 miliar penduduk China di berbagai wilayah. Tampaknya pemerintah China tak mau mengambil resiko itu dan ternyata berhasil. Grafik dari Financial Times memperlihatkan, kematian di Wuhan akibat Covid-19 terus menurun dengan cepat.

Risiko yang sama akan terjadi bila pulang kampung mudik lebaran terjadi di Indonesia. Kepulangan penduduk Jakarta dan sekitarnya, berisiko menyebarkan Covid-19 pada 260 juta penduduk di berbagai wilayah Indonesia. 

Pembatasan sosial berskala besar kini perlu dijalankan pada Jakarta dan daerah sekitarnya, dengan melakukan pelarangan mudik seperti yang telah diwacanakan pemerintah sebelumnya.

Universal Basic Income

Bila sebelumnya yang paling terdampak Covid-19 adalah sektor tradisional serta usaha mikro dan kecil yang tidak menggunakan digital technology dan mengandalkan pendapatan harian, kini akibat lamanya tanpa aktivitas maka ratusan ribu kelas menengah juga ikut terpukul. 

Penundaan maupun pemotongan gaji bahkan pemutusan hubungan kerja, kini telah melanda di sektor pariwisata, perhotelan, jasa dan bahkan manufaktur, akibat tak ada pemasukan maupun produksi. Cash flow perusahaan tidak kuat untuk menggaji atau mempertahankan karyawan.

Bagi pekerja informal dan buruh yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya, bila tanpa ada pendapatan adalah hal yang mustahil. Bagaimana mereka bisa makan sementara biaya hidup tinggi dan tak ada pekerjaan? Lebih baik mereka pulang kampung, karena biaya hidup lebih rendah dan bisa bertemu keluarga.

Bagi pekerja sektor formal yang terdampak serta belum diberhentikan kerja, kini adalah masa puasa yang panjang tanpa kepastian kapan selesai dan mengurangi konsumsi. Bagi yang diberhentikan kerja, ini adalah masa sangat sulit karena tidak ada pendapatan dan hampir mustahil mencari kerja baru sesuai bidangnya karena aktivitas ekonomi berhenti.

Kini adalah saatnya pemerintah mendatangkan bantuan tunai (helicopter money) untuk daerah yang secara ketat menjalankan pembatasan sosial berskala besar. Stimulus fiskal pemerintah seharusnya difokuskan pada mereka yang terdampak tersebut secara universal melalui pemberian "tunjangan pemasukan dasar" (basic income). 

Terutama pekerja sektor informal dan pekerja yang terdampak langsung Covid-19 akan sangat terbantu, sehingga mereka tetap bisa tinggal di Jakarta dan sekitarnya. Lalu, secara umum ini juga dimaksudkan tetap menjaga agregat daya beli sehingga dapat menghindari kelesuan ekonomi yang mengarah pada resesi.

Jumlah penduduk di Jakarta kini sekitar 10 juta, bila ditambahkan kota sekitarnya yaitu Bekasi, Depok dan Tangerang sekitar 6 juta maka total penduduk 16 juta. Dengan asumsi setiap keluarga terdiri dari 4 orang, maka terdapat 4 juta keluarga. 

Melalui transfer tunjangan pemasukan sebesar Rp 2 juta, maka kebutuhan total untuk semua keluarga sebesar Rp 8 triliun.

Nilai Rp 8 triliun mungkin terlihat besar, namun dari total stimulus Rp 405 triliun tentu mudah dialokasikan. Nilai itu sebenarnya juga kecil bila dibandingkan risikonya apabila para penduduk itu meninggalkan Jakarta dan sekitarnya. Bila Covid-19 menyebar ke seluruh Indonesia, pada akhirnya ekonomi Indonesia bisa lumpuh.

Nasib Indonesia kini ditentukan kepatuhan mereka untuk tidak bepergian ke kampung halaman masing-masing. Ini seperti halnya negeri China waktu pandemi awal Corona, sangat tergantung pada penduduk Wuhan yang tidak meninggalkan kotanya waktu tahun baru China. 

Jadi sekali lagi, nilai Rp 8 triliun sebenarnya sangatlah kecil dibandingkan risiko yang ditanggung Indonesia secara keseluruhan, baik secara kesehatan maupun ekonomi.

Baca selanjutnya: Blunder Ekonomi.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun