Sebaliknya, ketika hujan, penumpang tak ada tempat berteduh dari siraman air dari langit. Saya belum pernah mengalami sendiri, kehujanan ketika menunggu Commuter Line di Stasiun Pasar Senen. Hujan, sebagai berkah dari Tuhan, tapi juga bisa berubah menjadi musibah ketika kita salah memperlakukannya.
Sudah saatnya kita berhenti menyalahkan hujan, ketika ternyata ia datang sebagai musibah. Sudah saatnya kita mengevaluasi, barangkali kita salah memperlakukan hujan. Kita tidak siap dengan kedatangannya. Kita mengangapnya sepele.
Kondisi peron 6 Stasiun Pasar Senen, yang tidak beratap, saya kira itu merupakan kondisi yang kurang pas. Terkecuali bila air yang turun bisa langsung mengalir ke mana semestinya ia ditampung. Namun yang terjadi, tampungan tidak ada. Di area depan tangga, tanpa atap atau kanopi. Maka, ketika hujan tiba, mengalirlah air ke tempat yang lebih rendah, yaitu turun ke lorong bawah tanah.
Tergenangnya lorong Stasiun Pasar Senen harus menjadi evaluasi untuk instansi terkait. Untuk langkah aman dan cepat, bisa memasang atap pada peron 6. Selain melindungi penumpang dari hujan serta panas, bisa menambah sejuk dan artistik peron tersebut.
Barangkali, kalau ada, saluran air pada lorong bawah tanah tersebut rusak dan waktunya memperbaiki. Stasiun Pasar Senen, berserta lorong bawah tanah dibangun pada tahun 1916 ketika zaman Belanda. Stasiun besar itu telah mengalami beberapa kali renovasi. Bisa jadi, renovasi telah mengubah beberapa bentuk maupun konstruksinya. Apalagi yang berkaitan dengan saluran air.
Itu saja uneg-uneg saya. Demi kemajuan transportasi favorit saya. Terima kasih. Salam Kompasiana. Salam Clickompasiana.
Jakarta, 30 Juli 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H