Mohon tunggu...
Arum Sato
Arum Sato Mohon Tunggu... content writer -

pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ada Doa dan Harapan di Balik Sebuah Nama Lahir, Haruskah Diganti?

12 September 2015   15:17 Diperbarui: 12 September 2015   15:32 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="repro dari Jawa Pos"][/caption]

 

Oleh Setyaningrum

What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.

William Shakespeare boleh saja berkata: apa artinya sebuah nama, bila kita memanggil mawar dengan sebutan lain tetaplah harumnya sama. Tidak demikian dengan orang Indonesia, khususnya yang terlahir beberapa tahun setelah kemerdekaan. Ada makna dibalik setiap pemberian nama untuk keturunan mereka.

Orangtua dulu menamai anak-anaknya dengan nama yang singkat, padat dan jelas. Tepatnya, pendek. Faktor agar mudah diingat mungkin dominan. Meski tak bisa ditampik lebih kepada karena nama itu yang terlintas di benak ketika tangisan bayi terdengar.

Di Jawa, tak jarang kita mendengar atau melihat langsung, orang dengan nama benda, yang mungkin jelek, jorok dan tidak bagus bentuknya, seperti: Kletong (kotoran sapi), Bagor (karung), Tomblok (keranjang dari anyaman bambu), Tumbu (bakul), Semi, Dami (daging nangka yang tidak jadi). Barangkali ada yang bisa menambahkan? Mungkin, nama-nama itu muncul ketika si bapak sedang melihat barang-barang tersebut di dekatnya ketika si jabang bayi lahir.

Ada juga yang menamai anak-anaknya dengan nama hari dalam dalam bahasa jawa. Ahad, Senen, Rebo, Kemis, atau Setu adalah nama yang sering terdengar. Hari dimana si jabang bayi lahir itulah yang dijadikan nama oleh orangtuanya. Supaya orangtua mudah mengingat.

Ada pula nama-nama yang diberikan oleh orangtua dulu yang berupa pasaran, seperti: Pon, Wage, Kliwon, Legi, dan Pahing. Dan hinggi kini nama-nama tersebut masih tetap eksis di Indonesia. Jurnalis foto senior Dahlan Rebo Pahing, misalnya.

Saya sendiri mempunyai seorang paman (almarhum) yang bernama Kliwon. Entah karena lahirnya bertepatan dengan pasaran Kliwon, saya belum sempat bertanya langsung kepada beliau.

Begitu pun nenek saya, ibu dari ibu saya, juga menamai ibu saya dengan nama yang pendek, Bibit (dibaca Bibet dengan e jahe). Kenapa? Karena, nenek dan kakek saya mengharapkan ibu saya bisa menjadi awal keturunan yang baik, mengingat anak pertama nenek saya meninggal sewaktu dalam kandungan. Dan doa serta harapan nenek dan kakek terhadap pemberian nama ibu saya terkabul. Setelah ibu saya, terlahir lagi dua anak dari nenek saya. Apakah ibu saya protes dengan nama itu? Tidak. Ibu saya menerima dengan ikhlas pemberian nama tersebut. Hingga detik ini, ibu saya tidak berfikir untuk berganti nama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun