Mohon tunggu...
Seto Wicaksono
Seto Wicaksono Mohon Tunggu... Human Resources - Recruiter

Menulis, katarsis. | Bisa disapa melalui akun Twitter dan Instagram @setowicaksono.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Mencantumkan Syarat Non-Job Hopper Itu Meresahkan Bagi Para Pelamar Kerja

19 Agustus 2024   19:00 Diperbarui: 20 Agustus 2024   07:35 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi melamar kerja: fizkes via Kompas.com

Kian hari, syarat yang ditampilkan di beberapa iklan lowongan kerja nyaris membikin para pelamar kerja mumet.

Sebagian di antaranya bahkan dirasa kurang objektif sesuai kebutuhan, terkesan diada-adain, sampai menipiskan harapan kandidat karena persyaratan yang dianggap di luar batas kewajaran.

Teranyar, fenomena syarat non-job hopper yang dicantumkan di iklan lowongan kerja menjadi tema yang lagi ramai dibicarakan.

FYI, jika disederhanakan, non-job hopper bisa diartikan sebagai bukan pekerja yang punya prinsip menjadikan suatu perusahaan sebagai batu loncatan atau biasa dikenal juga dengan istilah "kutu loncat".

Bagi sebagian pelamar kerja maupun pekerja yang masih aktif, ketika melihat persyaratan tersebut, rasanya nggak masuk akal dan cukup diskriminatif---jika tidak ditelusuri lebih lanjut terlebih dahulu dalam prosesnya. Apalagi ditambah dengan embel-embel pengalaman sebelumnya harus bisa divalidasi /dibuktikan.

Oke, barangkali kita cukup paham poin di mana perusahaan sedang membutuhkan kandidat yang berpengalaman. Namun, untuk syarat non-job hopper? Rasanya nggak perlu dicantumkan dan cukup dilakukan validasi secara internal.

Bisa dilakukan dengan cara cek CV kandidat, melakukan background check ke perusahaan sebelumnya, atau menyertakan paklaring untuk kelengkapan berkas.

Ayolah, para HRD. Dengan mencantumkan syarat non-job hopper di iklan lowongan kerja di berbagai job portal, nggak akan membikin para kandidat job hopper itu sendiri menjadi enggan, ragu, atau takut melamar.

Toh, pada akhirnya mereka akan tetap apply untuk coba-coba, kan? Kalian nggak lupa akan hal ini, kan, para HRD?

Ingat, lho, mau bagaimana pun, screening CV atau profil kandidat tetap harus dilakukan. Bahkan, jika diperlukan, background check juga termasuk. Untuk kebutuhan audit di waktu tertentu, kelengkapan berkas pun mesti rutin dilakukan pengecekan.

Gini, lho. Mencantumkan syarat non-job hopper di iklan loker, selain nggak efektif, berpotensi menghambat branding perusahaan. Alasannya? Sini, biar saya kasih gambarannya sedikit.

Pertama, menjadi job hopper atau tidak, adalah pilihan pekerja

Sekadar mengingatkan saja, bukan kuasa para HRD/perusahaan untuk mengatur atau berharap apakah (calon) karyawan punya kecenderungan menjadi job hopper atau tidak. Dengan segala pengalaman yang sudah dilalui di dunia kerja, hal tersebut menjadi bagian dari pilihan dan/atau pertimbangan para pelamar kerja.

Maksud saya, berlandaskan hal tersebut, masa sih HRD/perusahaan dengan gampangnya membenturkan segala motif pelamar kerja melalui syarat di info loker yang agak nganu? Ingat, di sisi lain, kandidat selalu punya celah untuk bluffing atau faking good, lho. Jadi, apakah syarat tersebut akan berfungsi sebagaimana mestinya?

Kedua, situ yang insecure, pelamar kerja yang tersungkur

Sebagai HRD, saran saya, mesti lebih berhati-hati dan mawas diri sebelum menayangkan info loker di beragam job portal. Sebab, jika tidak, malah jadi bumerang, bahan perbincangan, sekaligus punya kecenderungan diskriminatif. Hal ini, tidak bisa tidak, belakangan menjadi hal yang seringkali disorot oleh para kandidat.

Branding perusahaan menjadi kurang baik, pelamar menjadi berkurang, alhasil, HRD kesulitan menemukan kandidat yang sesuai untuk menempati suatu posisi. Akhirnya, para pelamar kerja malah banyak yang terpaksa digugurkan sejak awal karena suatu hal yang dipaksakan.

Ketiga, dibanding insecure, perusahaan justru perlu melakukan evaluasi

Disadari atau tidak, mencantumkan syarat non-job hopper (bukan pekerja kutu loncat) boleh jadi representasi dari bagaimana HRD/perusahaan insecure terhadap calon karyawannya. Apakah calon karyawan akan loyal? Atau hanya beberapa minggu, bulan, atau paling lama bekerja setahun langsung minggat begitu saja?

Begini. Ada banyak faktor karyawan loyal atau tidak ketika bekerja di suatu perusahaan. Lingkungan kerja yang kondusif, fair, dan supportif.

Benefit yang sesuai dengan kesepakatan, proses pengembangan karir yang menjanjikan, menjadi sedikit hal yang seringkali dipertimbangkan oleh karyawan untuk bertahan di suatu perusahaan.

Jadi, tidak ada salahnya untuk melakukan evaluasi mengenai hal tersebut---dibanding insecure sejak awal melakukan proses perekrutan.

Terakhir, sedikit masukan tambahan saja dari saya. Bagi para HRD, saya paham betul, menayangkan info lowongan kerja menjadi wewenang atau tugas kalian.

Namun, jika memang ragu dengan beberapa persyaratan yang akan ditampilkan, nggak ada salahnya kok untuk konsultasi kepada atasan atau user. Apakah layak atau nggak untuk ditayangkan. Sekiranya sudah pas atau perlu ada yang dievaluasi.

Jika perlu, boleh dicek juga, apakah sudah sesuai dengan aturan dan tepat sasaran---sesuai kebutuhan?

Sebab, sulit dimungkiri bahwa, dua fungsi yang berjalan beriringan dari menayangkan iklan lowongan kerja di job portal mana pun, tujuannya mesti sama: mendapatkan karyawan sesuai kebutuhan dan mencapai branding perusahaan agar dapat dikenal lebih baik oleh para calon karyawan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun