Mohon tunggu...
Seto Wicaksono
Seto Wicaksono Mohon Tunggu... Human Resources - Recruiter

Menulis, katarsis. | Bisa disapa melalui akun Twitter dan Instagram @setowicaksono.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Kesehatan Mental Karyawan: Masalah Serius yang Sebaiknya Menjadi Perhatian Perusahaan

24 Desember 2022   08:30 Diperbarui: 25 Desember 2022   00:51 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi para pekerja, bicara soal kesehatan mental di ruang lingkup pekerjaan itu problematik sekaligus dilematis. 

Sebab, akan selalu ada momen menyebalkan ketika seorang pekerja sudah mengumpulkan keberanian untuk bicara secara terbuka mengenai persoalan yang sedang dihadapi kepada atasan atau rekan kerja lainnya.

Komentar seperti, "Ngapain, sih, sampai kayak gitu?", "Bukannya bersyukur masih bisa kerja, malah kebanyakan ngeluh," atau yang paling parah, "Lemah banget, gitu aja langsung stres dan mumet." Pasti sudah familier didengar di lingkungan sekitar kalian, kan? Niat mau curhat, malah dihujat.

Kalaupun mau dipendam, rasanya bikin sesak dan bukan solusi. Sebab, di sisi yang berseberangan, butuh stress release melalui bercerita dengan rekan kerja atau kerabat.

Melalui Womenlead Magdalene, survei yang dilakukan oleh Indonesian Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) pada Desember 2020, sebanyak 38 persen karyawan di Indonesia mengalami kesehatan mental yang memburuk. 

Masih dalam survei yang sama, ada temuan lain mengenai masalah kesehatan mental berdasarkan usia. Sebanyak 24 persen kelompok pekerja berusia 45-60 tahun mengalami dampak negatif pandemi bagi kesehatan mentalnya. Sedangkan kelompok pekerja berusia 25-34 tahun mencapai 49 persen.

Berdasar pada survei tersebut, komentar akan generalisasi generasi tertentu yang katanya rentan stres, menjadi tidak relevan lagi. Sebab, berapa pun usia seseorang, siapa pun itu, menghadapi dinamikanya masing-masing.

Survei dengan hasil yang tak kalah menarik pun dilakukan oleh Michael Page. Melalui dataindonesia.id, sebanyak 68 persen pekerja Indonesia rela korbankan gaji, promosi, atau bonus demi mendapatkan kondisi kesehatan mental, kebahagiaan, dan kesejahteraan yang lebih baik. 

Survei tersebut memberi gambaran bahwa, saat ini, sebagian pekerja mulai aware soal kesehatan mental di ruang lingkup pekerjaan masing-masing.

Namun, perlu disadari juga bahwa, di sisi lain, kesehatan mental masih menjadi pembahasan yang cukup tabu di dunia kerja. Lantaran, sebagian perusahaan, atasan, atau rekan kerja melihat para pekerja yang merasa butuh bantuan profesional untuk masalah psikologis yang dialami, masih bisa bekerja seperti biasanya. 

Malah, tidak jarang terlihat biasa saja dari luar---meski sebetulnya sedang tidak baik-baik saja dari dalam.

Saya cukup yakin, tidak ada pekerja mana pun yang ingin mengalami gangguan kesehatan mental. Namun, realitas tidak selalu sejalan dengan harapan. Segala tuntutan, beban, dan target kerja di kantor yang tidak disangka-tidak dinyana, selalu menyapa para pekerja tanpa persiapan apa pun. 

Alhasil, efek laten pun satu per satu berdatangan. Mulai dari motivasi kerja yang menurun, merasa cemas yang berlebihan selama bekerja, bahkan pada titik tertentu, kinerja menurun drastis.

Lantas, apa yang sebaiknya dilakukan oleh pekerja maupun perusahaan agar lebih aware dengan kesehatan mental?

Sebagai pekerja yang menghadapi dinamika serupa meski tak selalu sama dan melakukan konsultasi dengan Psikolog agar bisa mendapat insight yang lebih baik, ada beberapa saran yang bisa saya bagikan.

Pertama, hindari self diagnose

Hal umum yang paling sering dan mudah dilakukan oleh kebanyakan orang saat mengalami suatu situasi dan kondisi atau gejala sakit tertentu adalah self diagnose. 

Tinggal googling, baca beberapa artikel, kemudian langsung memberi label pada diri sendiri bahwa sedang mengalami kondisi A, sakit B, dan lain sebangsanya.

Perlu disadari bahwa self diagnose bisa menjadi racun untuk diri sendiri. Khusus bagi para pekerja, akan berpengaruh kepada performa selama bekerja. 

Boleh saja jika menyadari ada situasi atau kondisi emosi yang kurang atau tidak membikin nyaman selama bekerja. Namun, tidak perlu sampai mendiagnosa diri sendiri.

Kedua, ambil jeda dan evaluasi manajemen waktu

Melalui SWA Online Magazine, WorkMi, perusahaan penyedia Employee Assistance Program, melakukan analisis kesehatan mental kepada 2.000 klien WorkMi berdasarkan Kessler Psychological Distress Scale. 

Melalui asesmen tersebut, sebanyak 16,42% responden mengalami distress sangat tinggi dan sebanyak 23,45% mengalami distress tinggi. Lima permasalahan terbesarnya antara lain: worklife-balance (13,24%), beban kerja tinggi (12,97%), deadline yang padat (12,78%), kurangnya dukungan (8,70%), dan ambiguitas peran (6,31%).

Melalui asesmen tersebut, terselip insight bahwa, betapa pentingnya mengambil jeda dan evaluasi manajemen waktu atas apa yang dikerjakan di kantor. Sadari bahwa diri kita perlu jeda, beristirahat, dan menikmati hari libur. 

Selain itu, penting untuk memberi apresiasi, berterima kasih terhadap diri sendiri. Lantaran sudah bertahan menghadapi segala dinamika pekerjaan.

Selain itu, kebiasaan multitasking dalam bekerja juga punya peranan penting dalam menghasilkan gangguan kecemasan maupun stres. Melalui KlikDokter, peneliti dari University of California, Irvine, menemukan bahwa orang yang bekerja multitasking memiliki detak jantung dan tingkat stres yang tinggi dibandingkan yang tidak.

Bahkan, dalam studi University of London pada tahun 2015, menyebutkan bahwa dampak multitasking mengakibatkan turunnya IQ hingga 15 poin. Penurunan tersebut membuat poin IQ setara dengan usia anak 8 tahun.

Beberapa tugas dari kantor, mungkin sulit atau tidak bisa ditolak. Dibanding memaksa diri untuk multitasking agar pekerjaan cepat selesai, pengerjaan tugas satu per satu dan jika sudah selesai baru berpindah mengerjakan tugas lainnya, masih bisa diterapkan.

Ketiga, temui profesional untuk mendapat arahan yang baik dan sesuai

Tidak ada pilihan lain, bukan? Dibanding self diagnose atau sembarang bercerita kepada orang lain dengan respons yang, mungkin saja akan membikin emosi makin nggak karuan, akan lebih bijak jika berkonsultasi dengan profesional atau ahlinya. Sebab, selain didengar, akan ada insight sekaligus treatment yang sesuai dengan dinamika yang dihadapi.

Bagaimana sebaiknya peran perusahaan atau atasan jika ada pekerja yang butuh penanganan psikologis?

Tidak bisa tidak. Saat ini, perusahaan serta jajaran manajemen secara perlahan maupun bertahap, mesti aware dengan kesehatan mental para karyawannya. 

Apalagi, tantangan beserta dinamika yang dihadapi oleh perusahaan dan karyawan terus berubah, bertambah, dan bertumbuh tiap waktu. Jadi, perlu adaptasi dari sisi treatment yang diberikan kepada para karyawan saat ada kendala dari sisi kesehatan mental.

Ketersediaan Psikolog di kantor, fasilitas konseling yang bersifat rahasia, sampai dengan acara semacam day care atau employee care tentu sangat mungkin diusahakan.

Selain itu, atasan langsung juga punya peranan penting. Hal yang sangat mungkin dilakukan adalah, menjadi pemimpin yang baik bagi tim jika sedang menghadapi persoalan serupa. 

Bisa dengan beberapa cara, seperti: menjadi pendengar yang baik, menghindari komentar yang bersifat menghakimi, serta proaktif menanyakan apa yang butuh/perlu dibantu. 

Terakhir, ciptakan tempat kerja yang ramah kesehatan mental. Penerapan worklife-balance, bisa menjadi salah satu opsi. Apalagi, sulit dimungkiri beban kerja berlebih bisa menjadi pemicu stres di kantor.

Perlu diingat: saya, kamu, kalian, kita semua, boleh bekerja sekeras apa pun. Namun, jangan lupa juga bahwa diri ini berhak beristirahat--menikmati jeda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun