Saya tidak pernah menyangka bahwa pada akhirnya, sebagai recruiter, saya betul-betul harus bekerja dari rumah. Khususnya selama pandemi berlangsung. Sudah tiga bulan saya bekerja dari rumah. Proses wawancara kerja dengan banyak kandidat pun mau tidak mau harus dilakukan secara online. Bisa melalui fitur voice call, video call, atau melalui telepon biasa.
Sebetulnya, proses wawancara kerja secara online sudah biasa dilakukan di era disruptif seperti sekarang ini. Namun, nggak bisa dimungkiri, wawancara kerja secara konvensional, tatap muka dan bertemu langsung, tetap lebih berkesan bagi saya selaku recruiter. Sebab, saya bisa bertanya sekaligus mengobservasi gestur serta attitude dari para pelamar kerja yang datang secara langsung, tanpa harus direpotkan oleh sinyal yang mandek.
Secara teknis, sinyal yang nggak stabil selalu menjadi perkara utama bagi para pekerja yang sedang bekerja dari rumah, termasuk saya sebagai recruiter. Lha gimana, saya biasa melakukan proses wawancara kerja dengan mengandalkan koneksi internet yang kuat. Kalau sinyal lemot sedikit aja, komunikasi jadi terhambat. Suara putus-putus, nggak jelas, atau delay.
Sebab itu, proses wawancara kerja jadi kurang nyaman. Saya sudah tanya panjang lebar, bukannya segera mendapat jawaban akan pertanyaan tersebut, malah ditanya balik sama kandidat, "Maaf, Pak. Pertanyaannya boleh diulang? Suaranya putus-putus..."
Capek, sih. Tapi, beruntung percakapan antara saya dengan kandidat di akhir sesi wawancara kerja nggak sampai di level saling berkata...
"Terima kasih, atas waktunya, nanti akan saya hubungi kembali jika ada proses selanjutnya, ya. Silakan ditutup teleponnya."
"Sama-sama, Pak. Bapak aja yang tutup teleponnya, Pak."
"Anda saja."
"Bapak aja, Pak."
"....."
Itu baru kendala yang saya rasakan dari sisi teknis. Belum lagi para kandidat dengan segala ketidaksiapannya saat dijadwalkan dan mengikuti wawancara kerja secara online. Tingkah lakunya suka ngadi-ngadi. Dan ini saya alami secara langsung selama tiga bulan terakhir. Mulai dari saat saya memberi info/mengundang wawancara kerja secara online, sampai dengan saat proses wawancara kerja berlangsung.
Pertama, ketidaksiapan para kandidat saat menanggapi undangan wawancara kerja secara online.
Saya terbiasa menggunakan cara berlapis agar para kandidat bisa notice soal ini. Via fitur yang terdapat pada platfrom pencarian kerja, email, WhatsApp, dan yang terakhir, SMS. Seharusnya, undangan wawancara bisa diterima dengan baik, dibaca, paling tidak melalui salah satu platform tersebut. Namun, selalu saja ada kandidat yang tidak memberi respon sama sekali, dan baru membalas dua minggu kemudian.
"Pak, lowongan kerjanya masih tersedia, nggak?"
.....
Dua minggu kemarin ke mana aja, Sabeni. Hal seperti ini sudah saya alami bukan hanya sekali, tapi, berkali-kali. Fyi aja nih, kandidat juga bisa ghosting dari para HRD.
Kemudian, bagaimana absurd dan nyelenehnya cara para kandidat merespon pesan singkat via SMS, email, atau WhatsApp, ketika saya menyampaikan undangan wawancara. Ada yang bisa menyampaikan dengan formal, seperti:
"Baik, Pak. Terima kasih sudah review CV saya dan undangan interviewnya. Saya akan stand by pada waktu yang sudah diinfokan."
Tapi, tidak sedikit yang hanya menjawab "Ok." Nggak masalah, sih. Paling tidak memberi konfirmask. Namun, ada pula yang merespon dengan kalimat yang semuanya capslock.
"BAIK, PAK. TERIMA KASIH ATAS INFONYA."
Saya sempat bingung, ini sengaja atau nggak. Apakah karena terlalu semangat dapat undangan interview? Dibanding hanya berasumsi, akhirnya saya balas pesan tersebut.
"OK, MAS. MOHON STAND BY PADA WAKTU YANG SUDAH DIINFOKAN."
Dalam keadaan sedikit mangkel, tidak lama saya mendapat balasan lagi dari kandidat tersebut.
"SIAP, PAK. SAYA AKAN STAND BY."
Agar tidak larut dalam berbalas pesan capslock, akhirnya saya putuskan untuk tidak membalas lagi.
Kedua, saat proses wawancara kerja secara online berlangsung.
Saran saya, jika mengikuti proses wawancara kerja online, ada baiknya infokan beberapa orang di rumah. Agar komunikasi tidak terganggu dan bisa dipahami bahwa yang bersangkutan---para kandidat---sedang dalam proses interview.
Jangan sampai seperti kandidat yang saya wawancara. Di tengah perbincangan, terdengar suara, "MBA! TOLONG BELIIN SAYUR DI WARUNG!" kemudian, langsung dibalas, "IYA, BU. AKU LAGI INTERVIEW SEBENTAR."
Maksud saya, boleh saja berbalas obrolan dengan orang di rumah. Saya bisa memahami sekaligus memaklumi. Tapi, tolong bicaranya jangan di dekat lubang speaker earphone atau handphone, Mz, Mb. Kuenceng banget kedengerannya. Saya jadi berasa kena marah. Hiks.
Ketiga, sepanjang wawancara berlangsung, saya dipanggil "Bu".
Memang, wawancara kerja online, apalagi hanya fitur voice call atau telepon reguler, bikin kita nggak tahu orang yang kita ajak komunikasi gestur dan ekspresinya seperti apa dan bagaimana. Suara saya memang terdengar cempreng ketika ditelepon. Tapi, foto profil di email juga nomor WhatsApp saya terpampang jelas bahwa saya lelaki.
Nah, selama interview berlangsung, saya selalu dipanggil "Bu" oleh salah satu kandidat. Saya sih sebetulnya santai aja, maklum. Salah satu resiko punya suara cempreng dan nggak bertatap muka saat interview. Tapi, btw, nama saya kan "Seto" ya, Mz, Mb. Kalaupun mau panggil saya dengan "Bu", please sebut nama saya secara lengkap saja. Jangan cuma "Set". Nggak enak dengernya.
"Maaf, Bu Set, apakah saya boleh bertanya tentang proses selanjutnya? Begini, Bu Set..."
Buset, deh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H