Mohon tunggu...
Seto Permada
Seto Permada Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis Konten

Penulis Cerpen

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ledakan di Hari Rabu

6 April 2018   16:52 Diperbarui: 6 April 2018   17:04 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku melihat tubuhku meletus dan terburai. Tercampur dengan udara. Asap dari tubuhku yang mengepul membawa kerumitan dan kegelisahan di antara para pekerja pabrik. Mereka mengeluarkan suara-suara yang tidak kusukai.

Saat aku berubah jadi bening, kulihat sesosok anak kecil tengah tergeletak di antara mesin-mesin dengan posisi telungkup. Darah membercak di antara sela-sela rambutnya yang tipis. Namanya Kirani.

Ia gadis yang mungil, cantik, dan lucu, saat pertama kali aku melihatnya. Di antara para pekerja di pabrik, hanya dia yang paling ceria dan semangat bekerja. Ia berceloteh pada setiap benda yang dipegangnya ketika pagi sebelum pekerja lain masuk. Ia pernah mengatakan padaku tentang cita-citanya yang ingin menjadi seorang pramugari.

Ketika aku bertanya alasannya apa, dia menjawab, "Aku ingin terbang dan melintasi dunia."

Ah, anak kecil, cita-citanya selalu setinggi langit. Aku sangat sedih ketika melihat banyak anak kecil yang tidak tahu cita-cita mereka sendiri.

Aku sering hadir pada waktu ulang tahun, pasar malam, dan acara-acara penting. Sampai-sampai aku pernah merasa kalau tanpa kehadiranku, pasti acara-acara seperti itu tidak akan meriah dan mengundang decak kagum. Di saat orang-orang melihatku seperti orang tua yang bijak, sebisa mungkin aku menghibur mereka dengan warna-warnaku yang indah dan gemerlapan di langit.

Saat aku melihat Kirani, aku jadi jarang tidur dan sering melamun. Dia anak yang sangat rajin. Masuk 2 jam sebelum jam kerja dimulai. Perhatiannya pada benda-benda sekitar itulah yang membuatku mengagumi dirinya. Adakah yang lebih suci daripada cita-cita dan perhatian?

Umurnya masih 13 tahun, tapi aku telah banyak menghirup aroma keibuan dari dalam dirinya. Ia sanggup menundukkan bunga-bunga di teras gedung. Ia juga bisa membuat bunga-bunga lekas mekar menjelang matahari terbit. Ketika ada kucing dan tikus berselisih tentang takdir, ia membantu mereka jadi sepasang sahabat yang akrab. Pun saat seekor jangkrik terjepit di mesin, ia membantunya melepaskan binatang malang itu dari kesulitan dengan lidi sapu.

"Apa kamu kesakitan?" begitu kata Kirani saat jangkrik itu berhasil dikeluarkan dari kesulitan dengan lidi yang runcing ujungnya.

Jangkrik itu tidak bicara apa-apa. Seolah ketakutan melihat Kirani, ia melompat dengan gesit dari satu jejak ke jejak lain. Kirani hanya melihat jangkrik itu dengan wajah yang polos.

Pada pagi-pagi seperti itulah Kirani selalu membuatku semakin mengaguminya. Ia sering bercerita banyak hal yang terjadi sebelum datang ke pabrik. Seperti saat lelucon guyuran air yang ia terima dari ibunya gara-gara terlambat bangun yang seharusnya sudah mencuci piring sebelum pukul 5 pagi.

Ia juga bercerita tentang kejadian di jalan-jalan yang dilewatinya. Katanya, ia pernah menyelamatkan seekor kucing yang tersesat mencari ibunya. Ia bercerita padaku, rupanya saat anak kucing dilepas, ibunya tidak lagi kenal padanya.

Ia ingin merawat kucing kecil yang ditemui di jalan itu, tapi takut kalau tidak dibolehkan ibunya. Akhirnya ia hanya minta maaf pada kucing kecil itu. Kucing itu membuntuti Kirani, tetapi gadis kecil itu bilang tidak boleh.

"Di pabrik bising sekali. Lagi pula di sana tidak ada ikan yang bagus untuk kesehatanmu," cerita Kirani padaku tentang kucing itu.

Banyak sekali kisah-kisah meluncur dari sela-sela bibirnya yang tipis dan kemerahan itu. Wajahnya yang sebulat tomat itu mengesankan kalau ia memang ditakdirkan menjadi seorang gadis yang layak dicintai.

Kadang-kadang aku ingin sekali memeluk tubuhnya. Aku juga ingin bercerita tentang hari-hari yang kulalui. Tapi keinginanku terhalang oleh takdir. Aku hanya bisa mendengar tanpa bisa menanggapi. Aku hanya bisa melihat tanpa bisa membuat kami saling berpandangan. Aku hanya bisa mengaguminya tanpa bisa membuatnya kagum padaku.

Pabrik tempat tinggalku sudah sangat tua. Namun peralatan, perlengkapan, serta mesin-mesin di dalamnya tidak pernah diganti oleh pemiliknya. Sementara bahan-bahan untuk membuatku tetap ada selalu datang setiap hari. Aku tidak pernah menghitung berapa kali aku dipasarkan. Mereka menciptakanku dengan tujuan untuk membahagiakan hati orang-orang dengan warna dan cahaya yang kukeluarkan.

Sejak aku mengagumi dan jatuh cinta pada Kirani, tujuan keberadaanku tidak lagi penting. Pernah terbersit keinginan di luar nalar: seandainya aku jadi manusia, mungkin lebih banyak lagi yang akan mengagumiku. Lebih daripada itu, aku bisa mengajak Kirani bercerita dan membicarakan hal-hal di masa depan, termasuk pernikahan.

Pikiran-pikiran seperti itulah yang kerap membuatku kehilangan jati diri. Toh, aku tetap tercipta sebagai benda yang jauh dari sifat kemanusiaan.

Saat hari Rabu kelabu itu tiba, aku tidak pernah berhenti mengutuk diri sendiri. Semalam penuh pemilik pabrik tempat tinggalku menenggak minuman keras banyak sekali. Ia mengajak teman-temannya berpesta di ruangan yang biasa kupakai untuk tidur dan melamun.

Malam itu sangat berisik. Mereka membicarakan hal-hal yang menurutku sangat bodoh. Seperti perselingkuhan, aktivitas di lingkungan prostitusi, dan tempat-tempat menjijikkan.

Pada puncak acara, mereka meminta pemilik pabrik ini meledakkanku banyak-banyak. Sungguh, saat-saat seperti itu aku tidak ingin meledak. Aku yang tercipta untuk membahagiakan orang-orang tentu tidak suka dengan cara seperti itu. Aku tidak cocok untuk orang yang suka mabuk-mabukan. Kebahagiaan yang mereka ekspresikan sangat semu.

Saat aku meledak berkali-kali, aku hanya melihat tawa yang kosong dari mereka. Sang pemilik pabrik juga tertawa kosong seperti seluruh tubuhnya baru terisi penuh oleh minuman keras. Aku jijik melihat mereka mempermainkan tubuhku begitu rupa. Aku jadi stres berat. Perlakuan mereka menyalahi takdir yang seharusnya kugenggam untuk membahagiakan hati orang setulus-tulusnya.

Ketika malam itu berakhir, mereka mematikan lampu ruangan dan meninggalkan banyak sekali rokok-rokok berserakan. Aku lega karena aku tidak diletuskan semuanya. Masih tersisa beberapa batang. Aku harap saat pagi tiba, Kirani melihatku dan membawaku ke rumahnya. Aku ingin sekali diajak dia main-main menggantikan boneka dan omelan ibunya yang sering didapatnya setiap hari.

Pagi itu pun tiba. Aku melihat Kirani tersenyum riang sekali. Hampir tidak ada cacat atau cela dengan kekecewaan dan keresahan pada wajahnya. Ia tampak puas sekali. Padahal Kirani baru bekerja di pabrik ini beberapa hari. Belum ada seminggu, tapi sudah membuatku sangat berharga dan beruntung pernah terlahir ke dunia.

Ia bercerita bahwa sepulang kerja mau diajak piknik oleh bapaknya yang baru pulang dari perantauan. Ia mau diajak ke Taman Pintar di Yogyakarta yang selalu ia idam-idamkan. Meski sekolahnya sudah putus, tetapi keinginannya untuk belajar tidak pernah pupus. Ia mengekspresikan kebahagiaannya itu dengan memeluk benda-benda di dalam ruangan pabrik.

Namun ketika ia melihat bekas rokok berserakan di lantai, wajahnya berubah jadi masam. Aku maklum, sebab selama ini yang membersihkan ruangan pagi-pagi hanya Kirani. Lalu ia mengumpulkan puntung rokok itu jadi satu dan menaruhnya di antara tubuhku. Ia juga menaruh botol-botol minuman keras yang bau busuk di antara tubuhku.

Aku kaget ketika ia justru mengambil korek api yang ditinggalkan pemilik pabrik ti atas meja dan membakar bekas rokok. Saat itu aku ingin berteriak keras-keras. Aku ingin menghentikannya, tetapi tidak bisa. Aku ingin menutup mataku, tetapi aku tidak bisa.

"Nah, sekarang sudah benar-benar bersih dan rapi," katanya sembari menyulutkan api ke batang-batang rokok.

Dalam beberapa detik, terjadi letusan dahsyat di dalam ruangan pabrik. Untuk pertama kalinya aku meledak sangat kuat. Semua di dalam ruangan pabrik juga meledak. Aku benci mengakuinya saat melihat tabung gas justru tertawa keras-keras dan membuatku meledak lebih keras lagi. Tapi saat itu aku merasa mungkin hanya ilusi. Sampai ketika aku menyadari ruangan telah berasap, dan aku pun terbang menyatu dengan udara.

Kirani tergeletak dengan posisi telungkup. Banyak bercak darah di kulit dan rambut tipisnya. Detak jantungnya tak bisa kudengar lagi.

Saat orang-orang datang dan saling menyalahkan satu sama lain, telingaku sudah tuli, mataku buta, dan hatiku mati rasa. Apakah benar kalau aku diciptakan untuk membahagiakan orang-orang? Aku ingin sekali menghadap Tuhan dan bertanya, "Apakah aku masih layak untuk hidup?"

Pertanyaan itu hanya mengambang di udara. Tanpa ada jawaban sama sekali. Kini aku tahu, kehadiranku bukan hanya untuk membahagiakan orang-orang, tetapi juga untuk membuat orang bersedih.

Kirani, surga mana yang dipilihkan Tuhan untukmu?

Gadis kecil itu yang membuatku mengakhiri anggapan bahwa aku diciptakan untuk membahagiakan orang-orang. Dua bulan lagi Tahun Baru, aku tidak ingin hadir di sana. Aku ingin mati dan bertemu dengan Kirani. Aku ingin meminta maaf padanya dan mengajaknya berbicara baik-baik.

***

Purworejo, 18 Januari 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun