Saat aku meledak berkali-kali, aku hanya melihat tawa yang kosong dari mereka. Sang pemilik pabrik juga tertawa kosong seperti seluruh tubuhnya baru terisi penuh oleh minuman keras. Aku jijik melihat mereka mempermainkan tubuhku begitu rupa. Aku jadi stres berat. Perlakuan mereka menyalahi takdir yang seharusnya kugenggam untuk membahagiakan hati orang setulus-tulusnya.
Ketika malam itu berakhir, mereka mematikan lampu ruangan dan meninggalkan banyak sekali rokok-rokok berserakan. Aku lega karena aku tidak diletuskan semuanya. Masih tersisa beberapa batang. Aku harap saat pagi tiba, Kirani melihatku dan membawaku ke rumahnya. Aku ingin sekali diajak dia main-main menggantikan boneka dan omelan ibunya yang sering didapatnya setiap hari.
Pagi itu pun tiba. Aku melihat Kirani tersenyum riang sekali. Hampir tidak ada cacat atau cela dengan kekecewaan dan keresahan pada wajahnya. Ia tampak puas sekali. Padahal Kirani baru bekerja di pabrik ini beberapa hari. Belum ada seminggu, tapi sudah membuatku sangat berharga dan beruntung pernah terlahir ke dunia.
Ia bercerita bahwa sepulang kerja mau diajak piknik oleh bapaknya yang baru pulang dari perantauan. Ia mau diajak ke Taman Pintar di Yogyakarta yang selalu ia idam-idamkan. Meski sekolahnya sudah putus, tetapi keinginannya untuk belajar tidak pernah pupus. Ia mengekspresikan kebahagiaannya itu dengan memeluk benda-benda di dalam ruangan pabrik.
Namun ketika ia melihat bekas rokok berserakan di lantai, wajahnya berubah jadi masam. Aku maklum, sebab selama ini yang membersihkan ruangan pagi-pagi hanya Kirani. Lalu ia mengumpulkan puntung rokok itu jadi satu dan menaruhnya di antara tubuhku. Ia juga menaruh botol-botol minuman keras yang bau busuk di antara tubuhku.
Aku kaget ketika ia justru mengambil korek api yang ditinggalkan pemilik pabrik ti atas meja dan membakar bekas rokok. Saat itu aku ingin berteriak keras-keras. Aku ingin menghentikannya, tetapi tidak bisa. Aku ingin menutup mataku, tetapi aku tidak bisa.
"Nah, sekarang sudah benar-benar bersih dan rapi," katanya sembari menyulutkan api ke batang-batang rokok.
Dalam beberapa detik, terjadi letusan dahsyat di dalam ruangan pabrik. Untuk pertama kalinya aku meledak sangat kuat. Semua di dalam ruangan pabrik juga meledak. Aku benci mengakuinya saat melihat tabung gas justru tertawa keras-keras dan membuatku meledak lebih keras lagi. Tapi saat itu aku merasa mungkin hanya ilusi. Sampai ketika aku menyadari ruangan telah berasap, dan aku pun terbang menyatu dengan udara.
Kirani tergeletak dengan posisi telungkup. Banyak bercak darah di kulit dan rambut tipisnya. Detak jantungnya tak bisa kudengar lagi.
Saat orang-orang datang dan saling menyalahkan satu sama lain, telingaku sudah tuli, mataku buta, dan hatiku mati rasa. Apakah benar kalau aku diciptakan untuk membahagiakan orang-orang? Aku ingin sekali menghadap Tuhan dan bertanya, "Apakah aku masih layak untuk hidup?"
Pertanyaan itu hanya mengambang di udara. Tanpa ada jawaban sama sekali. Kini aku tahu, kehadiranku bukan hanya untuk membahagiakan orang-orang, tetapi juga untuk membuat orang bersedih.