Ia juga bercerita tentang kejadian di jalan-jalan yang dilewatinya. Katanya, ia pernah menyelamatkan seekor kucing yang tersesat mencari ibunya. Ia bercerita padaku, rupanya saat anak kucing dilepas, ibunya tidak lagi kenal padanya.
Ia ingin merawat kucing kecil yang ditemui di jalan itu, tapi takut kalau tidak dibolehkan ibunya. Akhirnya ia hanya minta maaf pada kucing kecil itu. Kucing itu membuntuti Kirani, tetapi gadis kecil itu bilang tidak boleh.
"Di pabrik bising sekali. Lagi pula di sana tidak ada ikan yang bagus untuk kesehatanmu," cerita Kirani padaku tentang kucing itu.
Banyak sekali kisah-kisah meluncur dari sela-sela bibirnya yang tipis dan kemerahan itu. Wajahnya yang sebulat tomat itu mengesankan kalau ia memang ditakdirkan menjadi seorang gadis yang layak dicintai.
Kadang-kadang aku ingin sekali memeluk tubuhnya. Aku juga ingin bercerita tentang hari-hari yang kulalui. Tapi keinginanku terhalang oleh takdir. Aku hanya bisa mendengar tanpa bisa menanggapi. Aku hanya bisa melihat tanpa bisa membuat kami saling berpandangan. Aku hanya bisa mengaguminya tanpa bisa membuatnya kagum padaku.
Pabrik tempat tinggalku sudah sangat tua. Namun peralatan, perlengkapan, serta mesin-mesin di dalamnya tidak pernah diganti oleh pemiliknya. Sementara bahan-bahan untuk membuatku tetap ada selalu datang setiap hari. Aku tidak pernah menghitung berapa kali aku dipasarkan. Mereka menciptakanku dengan tujuan untuk membahagiakan hati orang-orang dengan warna dan cahaya yang kukeluarkan.
Sejak aku mengagumi dan jatuh cinta pada Kirani, tujuan keberadaanku tidak lagi penting. Pernah terbersit keinginan di luar nalar: seandainya aku jadi manusia, mungkin lebih banyak lagi yang akan mengagumiku. Lebih daripada itu, aku bisa mengajak Kirani bercerita dan membicarakan hal-hal di masa depan, termasuk pernikahan.
Pikiran-pikiran seperti itulah yang kerap membuatku kehilangan jati diri. Toh, aku tetap tercipta sebagai benda yang jauh dari sifat kemanusiaan.
Saat hari Rabu kelabu itu tiba, aku tidak pernah berhenti mengutuk diri sendiri. Semalam penuh pemilik pabrik tempat tinggalku menenggak minuman keras banyak sekali. Ia mengajak teman-temannya berpesta di ruangan yang biasa kupakai untuk tidur dan melamun.
Malam itu sangat berisik. Mereka membicarakan hal-hal yang menurutku sangat bodoh. Seperti perselingkuhan, aktivitas di lingkungan prostitusi, dan tempat-tempat menjijikkan.
Pada puncak acara, mereka meminta pemilik pabrik ini meledakkanku banyak-banyak. Sungguh, saat-saat seperti itu aku tidak ingin meledak. Aku yang tercipta untuk membahagiakan orang-orang tentu tidak suka dengan cara seperti itu. Aku tidak cocok untuk orang yang suka mabuk-mabukan. Kebahagiaan yang mereka ekspresikan sangat semu.