KEKERASAN DI INDONESIA
Sejak tahun 2020, kasus kekerasan di Indonesia setiap tahun terus meningkat. Delapan puluh persen dari korban kekerasan merupakan perempuan dan 20% sisanya merupakan laki-laki.Â
Fakta tersebut tidak mengejutkan karena dilihat dari segi fisik, perempuan cenderung lebih lemah. Faktor sosial dan budaya juga dinilai turut berpengaruh terhadap tren meningkatnya angka kekerasan pada perempuan.Â
Jenis kekerasan yang dialami oleh korban dibagi menjadi 7 kategori oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Kategori tersebut meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, eksploitasi, trafficking, penelantaran, dan lainnya.
Jenis kekerasan seksual, fisik, dan psikis menjadi jenis kekerasan yang paling tinggi dialami oleh korban. Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada tahun 2020 terjadi kekerasan di Indonesia sebanyak 27.466 kasus.Â
Jenis kekerasan seksual mendominasi dengan 8.210 kasus (29,89%), diikuti kekerasan fisik sebanyak 7.916 kasus (28,82%), dan kekerasan psikis sebanyak 6.479 kasus (23,59%). Stagnansi mengenai ketiga jenis kekeraasan di Indonesia yang terjadi sejak tahun 2020 hingga saat ini menjadi bahan kajian yang perlu untuk terus ditingkatkan.
Kekerasan seksual yang dialami oleh korban perempuan menjadi pemicu penting dalam perumusan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Hal ini dikarenakan mengingat dampak dari kekerasan seksual dalam bentuk perkosaan dapat berdampak kehamilan tidak diinginkan oleh korban perempuan.Â
Perempuan dengan rentang usia 13-17 tahun menjadi korban kekerasan seksual yang paling banyak. Usia remaja, kemiskinan, dan ketidakpahaman mengenai tindak lanjut yang harus dilakukan pasca perkosaan menjadikan permasalahan yang dialami oleh korban.
HAK ABORSI
Fakta yang mengejutkan bahwa perempuan korban perkosaan bisa terancam pidana seperti kasus yang terjadi di Jambi pada tahun 2017 yang menimpa WA, seorang remaja berusia 15 tahun yang diperkosa oleh kakak kandungnya berkali-kali di rumahnya hingga hamil.Â
Kasus tersebut sesuai dengan data yang diperoleh Kementerian PPPA, bahwa jumlah kasus berdasarkan tempat kejadian terbanyak yaitu ditemui di rumah dan pelaku merupakan orang yang memiliki kekerabatan darah dengan korban.
Kasus WA menyita perhatian publik karena WA divonis 6 bulan penjara atas dakwaan aborsi. WA ditangkap setelah warga menemukan jasad janin di kebun sawit. Penjatuhan hukuman terhadap WA ini menimbulkan protes dari pegiat perempuan dan anak di Jambi.Â
Perdebatan muncul antara para pegiat perempuan dan anak dengan jaksa. Jaksa menilai WA bersalah karena menurut hasil autopsi janin yang diaborsi berusia 6 bulan sedangkan para pegiat perempuan dan anak di Jambi berpandangan bahwa WA merupakan korban perkosaan dan masih di bawah umur sehingga tidak layak untuk dihukum.
Â
UU Nomor 36 Tahun 2009
Perdebatan yang timbul berkaitan dengan peraturan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada Pasal 75 ayat (2) poin b yang menyatakan bahwa pelarangan aborsi dikecualikan bagi kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Namun berdasarkan pasal 76 UU Nomor 36 tahun 2009, aborsi yang dilakukan WA tetap termasuk pelanggaran.Â
Hal ini berkaitan karena pada Pasal 76 poin a berbunyi "aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terkahir, kecuali dalam hal kedaruratan medis". Adanya batasan 6 minggu ini yang menjadi perdebatan tidak hanya di ranah hukum nasional tetapi juga internasional.Â
Putusan vonis 6 bulan terhadap WA kemudian memasuki proses banding di Pengadilan Tinggi Jambi dan korban ditangguhkan penahanannya dan memutuskan melepaskan WA dari segala tuntutan dengan pertimbangan aborsi yang dilakukan WA dilakukan dalam keadaan daya paksa. Menanggapi keputusan dari Pengadilan Tinggi Jambi, JPU melakukan kasasi ke Mahkamah Agung. Langkah yang diambil JPU ini banyak mendapat kecaman dari berbagai lapisan masyarakat. Pada Juli 2019, Mahkamah Agung memutuskan membebaskan WA dari hukuman.
FORENSIK KLINIK
Kasus penanganan hukum yang berlarut-larut ini tentu melelahkan fisik dan berdampak pada psikologis korban. Ketidaktahuan WA mengenai apa yang seharusnya dilakukan pasca kejadian perkosaan adalah hal yang umum ditemui pada perempuan korban perkosaan. Selain ketidaktahuan, korban perkosaan juga cenderung malu untuk menceritakan kejadian yang dialaminya.Â
Melihat kondisi seperti ini, Kombes Pol Sumy Hastry Purwanti berinovasi dengan pembentukan forensik klinik yang merupakan satu unit layanan yang terdapat di Instalasi Pusat Pelayanan Terpadu RS Bhayangkara TK II Semarang. Forensik klinik (forklin) ini diharapkan menjadi sarana dan prasarana penanganan korban kekerasan seksual pada perempuan dan anak secara terpadu yang komprehensif.Â
Forklin juga menyediakan pelayanan medis, medikolegal, hukum, psikologis, rohani, sosial, rumah aman, rehabilitasi, dan pendidikan kesehatan. Fitur aduan melalui aplikasi online juga disediakan dengan harapan agar korban tidak perlu malu dan bimbang untuk memulai bercerita mengenai kejadian perkosaan yang korban alami.
REFERENSI
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Jenis Kekerasan yang dialami Korban. Jakarta: KEMENPPPA; 2023.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Jumlah Kasus berdasarkan Tempat Kejadian. Jakarta: KEMENPPPA; 2023.
Nordiansyah, E. (2023, 4 Juni). 4.280 kasus kekerasan seksual terjadi di Indonesia sepanjang 2023. Metrotvnews.com. https://www.metrotvnews.com/read/k8oCL0dL-4-280-kasus-kekerasan-seksual-terjadi-di-indonesia-sepanjang-2023.
Pemerintah Indonesia. 2009. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Lembaran Negara RI Tahun 2009, No. 144. Sekretariat Negara. Jakarta.
Purwanti, S. (2021). Kekerasan Seksual pada Perempuan, Solusi Integratif dari Forensik Klinik. Jakarta: Rayyana Komunikasindo.
Tambunan, I. (2018, 9 Agustus). Janggal, anak korban pemerkosaan divonis bersalah karena aborsi. Kompas.id. https://www.kompas.id/baca/utama/2018/08/09/janggal-anak-korban-perkosaan-divonis-bersalah-karena-aborsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H