Mohon tunggu...
Setiyowati
Setiyowati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mulutku harimau-ku. Maka saya menulis.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hak Aborsi Bagi Perempuan Korban Perkosaan

21 November 2023   16:51 Diperbarui: 21 November 2023   16:51 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(INA Photo Agency/Evan Praditya)

Kasus tersebut sesuai dengan data yang diperoleh Kementerian PPPA, bahwa jumlah kasus berdasarkan tempat kejadian terbanyak yaitu ditemui di rumah dan pelaku merupakan orang yang memiliki kekerabatan darah dengan korban.

Kasus WA menyita perhatian publik karena WA divonis 6 bulan penjara atas dakwaan aborsi. WA ditangkap setelah warga menemukan jasad janin di kebun sawit. Penjatuhan hukuman terhadap WA ini menimbulkan protes dari pegiat perempuan dan anak di Jambi. 

Perdebatan muncul antara para pegiat perempuan dan anak dengan jaksa. Jaksa menilai WA bersalah karena menurut hasil autopsi janin yang diaborsi berusia 6 bulan sedangkan para pegiat perempuan dan anak di Jambi berpandangan bahwa WA merupakan korban perkosaan dan masih di bawah umur sehingga tidak layak untuk dihukum.

 

UU Nomor 36 Tahun 2009

Perdebatan yang timbul berkaitan dengan peraturan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada Pasal 75 ayat (2) poin b yang menyatakan bahwa pelarangan aborsi dikecualikan bagi kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Namun berdasarkan pasal 76 UU Nomor 36 tahun 2009, aborsi yang dilakukan WA tetap termasuk pelanggaran. 

Hal ini berkaitan karena pada Pasal 76 poin a berbunyi "aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terkahir, kecuali dalam hal kedaruratan medis". Adanya batasan 6 minggu ini yang menjadi perdebatan tidak hanya di ranah hukum nasional tetapi juga internasional. 

Putusan vonis 6 bulan terhadap WA kemudian memasuki proses banding di Pengadilan Tinggi Jambi dan korban ditangguhkan penahanannya dan memutuskan melepaskan WA dari segala tuntutan dengan pertimbangan aborsi yang dilakukan WA dilakukan dalam keadaan daya paksa. Menanggapi keputusan dari Pengadilan Tinggi Jambi, JPU melakukan kasasi ke Mahkamah Agung. Langkah yang diambil JPU ini banyak mendapat kecaman dari berbagai lapisan masyarakat. Pada Juli 2019, Mahkamah Agung memutuskan membebaskan WA dari hukuman.

(BBC.com/Davies Surya)
(BBC.com/Davies Surya)

FORENSIK KLINIK

Kasus penanganan hukum yang berlarut-larut ini tentu melelahkan fisik dan berdampak pada psikologis korban. Ketidaktahuan WA mengenai apa yang seharusnya dilakukan pasca kejadian perkosaan adalah hal yang umum ditemui pada perempuan korban perkosaan. Selain ketidaktahuan, korban perkosaan juga cenderung malu untuk menceritakan kejadian yang dialaminya. 

Melihat kondisi seperti ini, Kombes Pol Sumy Hastry Purwanti berinovasi dengan pembentukan forensik klinik yang merupakan satu unit layanan yang terdapat di Instalasi Pusat Pelayanan Terpadu RS Bhayangkara TK II Semarang. Forensik klinik (forklin) ini diharapkan menjadi sarana dan prasarana penanganan korban kekerasan seksual pada perempuan dan anak secara terpadu yang komprehensif. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun