Mohon tunggu...
Setio Budianto
Setio Budianto Mohon Tunggu... Guru - Saya adalah seorang Praktisi dan Akademisi Pariwisata, juga Guide Berbahasa Inggris. Disamping itu menulis buku fiksi dan non fiksi

Saya menyukai Pariwisata dan kebudayaan, sejarah terutama masa klasik Hindu Buddha. Juga menyukai perjalanan wisata serta topik mengenai lingkungan hidup serta pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Tarian Bocah Perkebunan (1) 2011 : Hari Penentuan

28 Mei 2023   21:55 Diperbarui: 17 Juni 2023   09:25 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

TARIAN BOCAH PERKEBUNAN

PROLOG

Negara Republik Indonesia, diakhir dasawarsa enam puluhan bagai telur diujung tanduk. Ekonomi terpuruk, inflasi membumbung tinggi mencapai langit. Barang-barang kebutuhan pokok tak terjangkau, terutama oleh orang kebanyakan. Hanya orang kaya saja yang mampu membeli.  Jurang menganga begitu lebar antara yang berpunya dan kaum papa.  Memperoleh beras bak mencari sepotong jarum di tumpukan jerami. Sandang, pangan dan papan hanya beda setipis rambut dengan masa Penjajahan Jepang. Transportasi sulit, listrik tidak ada, banjir acapkali mendera, mayoritas murid kesekolah masih bertelanjang kaki.

Presiden selaku mandataris MPR bergerak secepat kilat. Era politik dengan hingar-bingarnya diakhiri. Dengan suatu prinsip sederhana dan rasional : jutaan rakyat Indonesia akan tetap terombang-ambing saja, bagai apung dipermainkan gelombang bila kondisi politik tetap riuh rendah seperti ini. Dalam cerita sejarah apa saja, dari Fir’aun hingga Perang Dunia, tetap rakyat kecillah yang jadi korban. Gajah berjuang sama gajah, pelanduk mati di tengah-tengah. Dimulailah era baru, dengan bidang Ekonomi sebagai putra mahkota. Air jernih ikannya jinak. Sayup-sayup terdengar Gaung REPELITA membahana. Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote.

Jangan harap jerih payah yang diupayakan semudah membalikkan telapak tangan. Sumberdaya manusia dan mental sungguh tak bisa hanya diperbaiki dalam hitungan bulan. Bagai menegakkan benang basah. Pengaruh penjajahan dengan ide-ide feodal selama berabad-abad, dan konflik dalam negeri berkepanjangan menyisakan lobang-lobang yang teramat dalam, dan sukar untuk ditambal. Disemua sektor, pengaruh itu telah lama masuk. Tak terkecuali di perkebunan sebagai "anak emas" Pemerintah Kolonial pada masa Cultuur Stelsel atau Tanam Paksa. Pundi-pundi Kerajaan menggelembung, karena jutaan komoditi dikapalkan ke Eropa.

Di tangan Republik sudah banyak perubahan besar di perkebunan resmi milik Pemerintah. Sektor ini menjadi lebih manusiawi dan humanis. Tantangan sedikit banyak tetap ada dari oknum internal yang anti perubahan. Semuanya masih bisa dimaklumi. Tapi tidak demikian halnya yang terjadi di perkebunan-perkebunan partikelir milik perorangan. Virusnya begitu mendarah daging. Terlanjur masuk ke tulang sungsum segelintir oknum penguasa lokal dengan keturunannya, yang menjadi Raja-Raja kecil di pedalaman.  Di Tahun 1967 ini, agaknya Kisah Saijah dan Adinda dalam Max Havelaar masih sangat relevan untuk dibaca ulang...

Bagian Kesatu

HARI PENENTUAN

Brakk…terdengar pintu dibanting keras. Birowo benar-benar geram. Untuk apa anak miskin itu datang lagi? Ia tutup wajahnya dengan telapak tangan. Birowo benar-benar pusing tujuh keliling. Dikacaukannya rambut dan juga seisi kamar itu. Luluh lantak bak kapal karam! Istrinya, Viona segera datang mendengar ribut-ribut di dalam.

“Ada apa Mas? Aduh, kamar sampai berantakan begini?” Viona memandang keheranan.

“Ahh…bagaimana tidak pusing! Pagi tadi Ayah memaki-maki aku didepan si Kacong sialan itu!” ujar Birowo dengan muka merah padam.

“Kacong? Anak mandor dulu?!” Viona bertanya lagi, wajahnya sedikit tegang. Ia kenal betul nama itu. Bertiga mereka menuntut ilmu ditempat yang sama saat SMP.

“Siapa lagi! Dari dulu selalu jadi duri dalam daging! Muak aku sekarang…makin muakk!!” teriak Birowo melotot dengan pandangan nanar.

“Sudah, sudah Mas. Sabar, emosi ya emosi, tapi tolong dipikir jernih! Jangan sampai kau berbuat nekat!”

Viona mencium gelagat tidak enak. Kemarahan Birowo kali ini tidak seperti biasanya. Mungkin dimaki ayahnya itu suatu hal yang masih bisa diterimanya. Namun, kedatangan Kacong kembali? Setelah sekian lama ia hilang tak tentu rimba? Apalagi Kacong tak lagi udik seperti dulu. Ia sekarang lebih necis dan perlente. Tubuhnya juga lebih terawat. Dan yang paling mengejutkan semua orang, ia datang mengemudi mobil premium mewah dengan beberapa orang asing. Penampilannya dengan dulu saat anak-anak sudah berubah, bagai bumi dan langit. Penduduk sampai terheran-heran melihatnya. Diam-diam mereka mengagumi semua hal tentang Kacong : keberhasilannya, kesuksesannya. Pendek kata, kini ia tak lagi dapat dipandang sebelah mata. Anak Kampung yang dulu miskin itu telah menjelma menjadi pengusaha sukses.

Bagi Birowo, tentu itu adalah hal yang menyakitkan. Dunia seolah dijungkirbalikkan. Siapa yang tak kenal Birowo anak pejabat perkebunan kelas satu yang tak dapat dinomorduakan? Siapa yang tidak kenal anak emas perkebunan yang dengan kata-katanya pegawai perkebunan rendahan tunduk? Dan kini semua musnah dengan kedatangan Kacong yang dielu-elukan banyak orang.

Kacong yang dulu dengan mudahnya dihukum hanya gara-gara ia mengadu. Kacong yang orang tuanya dipecat sebagai mandor gara-gara ia tak suka. Semuanya mengendap dan memuncak di ubun-ubun sehingga keputusannya sudah bulat. Kacong harus lenyap! Itu saja.

Maka Birowo berlari menuju ke brankas tempat penyimpanan senjata api miliknya. Dibukanya cepat-cepat dan ditemukannya sebuah pistol berkaliber besar. Viona yang mengetahui hal itu terperanjat dan berusaha mengejar. Namun sayang, ia kalah cepat. Birowo yang kesetanan sudah sampai di pintu garasi dan beberapa detik kemudian terdengar suara mobilnya menderu, meninggalkan halaman.

Tak sulit bagi Birowo untuk menemukan lokasi dimana Kacong berada. Ia hapal betul setiap inci daerah ini. Setiap tamu yang datang akan menginap di Wisma Permata, penginapan paling luks milik perkebunan. Dan kini ia sudah sampai di halaman penginapan. Suasana penginapan yang hening petang itu terkoyak oleh kedatangan Birowo yang datang untuk melabrak Kacong. Tanpa ba-bi-bu, ia ketuk pintu keras-keras!

“Kacong! Keluar Kau!!” Birowo mengetuk pintu dengan gusar. Ia ingin menyelesaikan semuanya. Kacong rupanya sedang Sholat Mahgrib. Dari jarak beberapa meter, ia mendengar suara orang menggedor-gedor pintu dengan keras. Karena gelagat yang tidak beres, Kacongpun mengambil sikap waspada.

“Hoi, pengecut! Rupanya kau tak berani keluar!” sekarang Birowo semakin gusar. Para tamu penting yang datang dengan Kacong kebetulan berada di bangunan lain di samping penginapan.

Mendengar ribut-ribut, dua orang bule tinggi besar pun datang. Badan mereka yang kekar membuat nyali Birowo ciut juga. Kakinya yang tadi tegak sekarang agak goyah. Ia sedikit nervous dan tak dapat mengendalikan diri.

Who are you?” Fitz yang berkepala plontos melotot ke arahnya. Sorot matanya menandakan ia sangat terganggu dengan kedatangan Birowo.

I’m, I am Birowo,” jawabnya terbata-bata.

What are you doing here?!!” seorang bule lagi lebih galak bertanya.

I am…I’m looking for Ka…Kacong...” jawabnya dengan suara tergetar. Kedua bule itu terlanjur marah. Disaat itulah Kacong muncul dari dalam. Lalu ia mendekati keduanya. Akhirnya mereka berdua mundur beberapa langkah.

Relax, Fitz,…it’s not your business. It’s my own business. Please get in…Ok?” bujuk Kacong. Awalnya keduanya tetap di tempat. Lalu sejurus kemudian mereka masuk kembali ke dalam.

Okay!” mereka menjawab serempak. Kini hanya Kacong saja yang berhadapan dengan Birowo.

“Wo…! Kau itu anak orang kaya. Kau lulusan luar negeri pula. Bagus sekali etikamu bertamu. Sampai beberapa tamu penting terganggu karena ulahmu!” Kacong menyindir tajam.

“Aku tak peduli! Saat ini juga, kuminta kau angkat kaki dari daerah ini! Atau kau pulang tinggal nama!” tanpa basa-basi Birowo mengancam.

“Apa hakmu mengatur hidupku?! Mau aku ke lobang semut sekalipun, itu bukan urusanmu! Roda berputar, Woo! Kau dulu memang Raja disini…tapi itu dulu!!” Seru Kacong takkalah sengit.  

“Kau jangan bermimpi, Cong … Kau dan keluargamu dari kasta rendah. Jangan seperti pungguk merindukan bulan!” Birowo masih berusaha mengumpulkan sisa – sisa tenaga dan jiwanya untuk dapat menjatuhkan mental Kacong. Namun…

“Dasar kepala batu! Pantas saja usaha ayahmu membesarkan perkebunan diambang bangkrut! Ternyata sumber malapetakanya adalah kau,  anaknya sendiri. Anaknya sungguh pintar mengelola perkebunan, sampai – sampai semua aset dijual dan diambang musnah!"

“Cong, cukup!”

Sekarang kemarahan Birowo sudah sampai ubun-ubun. Diambilnya sepotong kayu agak besar yang tergeletak di tanah, dan dengan membabi buta dipukulkannya ke arah Kacong! Namun Birowo, sepanjang hidupnya adalah anak manja, anak rumahan yang cengeng. Dengan mudahnya Kacong mengelak dan Bugg… Birowo justru kehilangan keseimbangan lalu terjatuh. Celakanya, kepalanya terantuk batu hitam di halaman dan currr… darah mengucur  dari pelipisnya. Kacong terkesiap. Secara refleks ia coba menolong Birowo. Bagaimanapun ia tak tega. Namun, secepat kilat pula Birowo mengambil pistol disakunya dan segera ia arahkan itu ke arah Kacong.

 “Tamat riwayatmu, Cong. Semua akan segera berakhir!” hardik Birowo. Matanya menatap nanar. Kacong terperanjat, tak disangkanya Birowo senekat itu! Jantung Kacong bergetar, napasnya turun naik. Puluhan tahun ia menghirup udara dunia, baru kali ini ia ditodong pistol seseorang,  dan orang itu adalah Birowo! Teman kecil sekaligus musuh bebuyutannya. Ia  ternganga.

“Wo, Jangan…!” Kacong memekik. Ia melihat Birowo semakin kalap, kini matanya mendelik seolah akan keluar dari rongga.

“Kacong! Kedatanganmu kemari hanya akan mengganggu kenyamananku selama ini, maka lebih baik kau kulenyapkan!”. Bersamaan dengan itu terdengar suara senjata api menyalak. Dorr… dorr… dua kali!

Secara refleks Kacong yang semasa remaja pernah ikut karate menjatuhkan diri ke samping. Namun sial, peluru sempat bersarang di lengannya, menyerempet siku sebelah kanan… dan …

“Ahhhk…” Ia pun roboh dengan tangan bersimbah darah. Matanya berkunang – kunang, tak dapat melihat dengan jelas keberadaan Birowo. Samar ia melihat Birowo mendekat dan mengarahkan pistol ke kepalanya. Namun Kacong tak dapat berbuat apa-apa, tangan kanannya yang tertembus peluru sungguh sakit bukan kepalang.

“Ha ha ha….Merengeklah… teriaklah Cong! Di tempat ini hanya ada kita berdua. Kau dan aku…Semuanya telah berakhir. Selamat tinggal Cong!” Bersamaan dengan pelatuk pistol yang ditekan, dari belakang seseorang memukul tengkuk Birowo dengan sebilah kayu. Bugg… pukulan itu begitu keras. Sekilas Birowo menoleh ke belakang sebelum terhuyung – huyung dan ambruk. Ia jatuh pingsan! Si penyerang  berlari ke arah Kacong yang terkapar. Dan tangan yang memegang pistol pun menembak tak terarah…

“Cong… Cong… Kau tidak apa – apa?” tanya orang itu panik sambil mengguncang tubuh Kacong yang jatuh pingsan. Sejurus kemudian ia mengambil HP dan mencoba menelpon ambulan. Disaat itulah ia tidak menyadari bahwa Birowo sudah siuman dan kini telah memegang pistolnya kembali!

“Ha ha ha… dua sahabat miskin yang kompak. Baik Leh… sekalian kau kulenyapkan bersama Kacong!”. Terdengar Birowo menyebut nama orang tersebut. Ternyata penolong itu adalah Soleh, sahabat kecil Kacong. Disaat yang bersamaan terdengar teriakan keras dari balik penginapan.

  “Saudara Birowo! Jatuhkan pistol anda, dan menyerahlah! Anda telah dikepung petugas!” Mendengar suara gaduh beberapa menit lalu, rupanya pengelola diam – diam menghubungi kepolisian terdekat. Tak kurang dari delapan anggota polisi bersenjata lengkap kini telah mengepung Birowo dari segala penjuru!

“Angkat tangan! Jatuhkan senjata sekarang juga! Anda sudah terkepung!” seru Iptu Bismo. Mendengar ancaman itu, bukannya takut justru Birowo semakin nekat. Tanpa kata, ia langsung mengarahkan laras pistolnya ke asal suara! Ke arah polisi – polisi dibalik tembok. Dorr… dorr…

“Jangan dikira aku takut! Mau polisi empat, lima, bahkan satu markas kesini, aku tak akan mundur!”

Disaat itulah kembali ia arahkan pistol ke kepala Kacong yang sudah tak berdaya. Sepersekian detik sebelum pelatuk pistol ditekan, tiba – tiba dari arah berlawanan muncul tembakan cepat mengarah ke kaki Birowo. Dorr-dorr-dorr… Birowo pun roboh dengan kaki bersimbah darah. Suasana begitu mencekam… Disaat yang bersamaan hujan turun pula dengan derasnya. Halaman pavilliun itu pun banjir oleh darah… Pelan – pelan polisi – polisi itu keluar dari persembunyian. Mereka menghampiri Kacong yang terengah – engah … Ia memandang ke langit seolah tak percaya. Ya Allah...Aku masih masih hidup! 

“Semuanya sudah usai Pak… sudah berakhir…” Iptu Bismo mendekat dan berbisik…Di kejauhan terdengar raungan sirine mobil polisi dan ambulan bersahutan. Mendung yang tebal mencekam dan menutupi bulan perlahan tersibak… seolah ikut menyaksikan bahwa kisah perseteruan ini telah berakhir…

                                                                                                                 BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun