Mohon tunggu...
Paelani Setia
Paelani Setia Mohon Tunggu... Guru - Sosiologi

Suka Kajian Sosial dan Agama

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Berniat Kuliah S-2, Coba Pikirkan 3 Hal Ini

24 Juli 2020   23:20 Diperbarui: 25 Juli 2020   04:56 1845
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Gillian Callison dari Pixabay

Ketiga alasan ini mungkin tidak mengikutsertakan apa rencana kerja, apa rencana karir, seberapa siapkah finansial, hingga manajemen waktu untuk belajar di tengah berbagai kesibukan setiap hari kedepannya.

Bisa melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi merupakan suatu kebanggan tersendiri, apalagi jika hal tersebut menjadi sebuah cita-cita sejak kecil. Termasuk melanjutkan studi ke jenjang S2 atau masgister.

Namun, sebelum melanjutkan S2, atau jenjang setelah tamat S1 ini, tampaknya harus memikirkan hal-hal berikut sebagai sebuah alternatif paradigma kita.

Menariknya, dalam beberapa kasus seringkali ditemukan berbagai alasan mengapa seseorang mau melanjutkan pendidikan ke jenjang S2, ada yang karena belum mendapatkan pekerjaan, kekuatan finansial, tuntutan kantor/pekerjaan, hingga hanya ingin dapat gelar saja.

Ketiga alasan di bawah ini mungkin tidak mengikutsertakan apa rencana kerja, apa rencana karir, seberapa siapkah finansial, hingga manajemen waktu untuk belajar di tengah berbagai kesibukan setiap hari kedepannya.

Namun demikian, alasan-alasan ini dirasa penting karena berhubungan dengan peranan kita dalam masyarakat sebagai sarana kontribusi atas pendidikan yang kita raih. Jika, alasan untuk bekerja tentunya bisa menjadi sumber pundi-pundi uang, kesiapan finansial akan memperlancar proses pembelajaran, dan manajemen waktu akan memuluskan tujuan.

Namun, ketiga alasan ini akan semakin meneguhkan kedudukan sebagai bagian dari generasi bangsa yang bisa memperoleh jenjang pendidikan yang menuntut harus berperan banyak bagi masyarakat diluar sana.

Lantas, apa saja ketiga alasan tersebut?

Alasan pertama, siap sering menulis

Menulis merupakan suatu kewajiban bagi seorang mahasiswa, atau akademisi, terutama bagi mahasiswa S2. Kebutuhan menulis bukan hanya sekedar untuk tujuan skripsi, atau tesis, jauh dari itu kemampuan menulis adalah senjata bagi seorang akademisi dalam menuangkan pikiran, gagasan, atau bahkan kritik.

Menulis juga merupakan suatu kewajiban bagi mahasiswa yang berkuliah di kampus Indonesia. Apa sebabnya? Sebab hampir seluruh kampus Indonesia masih mewajibkan mahasiswanya membuat riset berupa tulisan (skripsi), bukan suatu produk tertentu hasil percobaan atau hasil praktek.

Jauh dari itu, menulis merupakan senjata yang tidak akan sirna ditelan waktu. Sebuah tulisan bahkan akan tetap hidup, meski si penulis telah tiada. 

Namun, problem baru dalam dunia menulis adalah semakin berkuasanya budaya menonton, menonton video, menonton Youtube, menonton Instagram, dan tontonan lain yang dianggap lebih cepat dan menyenangkan. Buktinya, orang bahkan lebih senang menonton video, tinimbang harus membaca berita.

Problem ini sangat serius bagi bangsa Indonesia kini. Oleh karena itu, tidak berlebihan tampaknya apabila memelihara budaya menulis bagi mahasiswa dan bagi yang ingin kuliah S2 adalah suatu kewajiban. Ini akan berharga ketika tradisi budaya baca yang minim, dan semakin minim, maka tradisi menulis sedikitnya mampu memerangi problem tersebut.

Problem lain yang mungkin muncul, jika tidak terbiasa menulis, apa yang harus saya lakukan agar terbiasa menulis? Sebuah istilah yang cocok bagi kita semua adalah: "sedikit-sedikit, lama-lama jadi bukit". Maksudnya, sedikit-sedikit menulis, lama-lama tulisan menjadi bukit.

Atau, jika dulu mengingat masa lalu tentang tugas menulis 'diary', itu kebiasaan yang layak untuk kembali dilakukan kini. Menulis merupakan sebuah proses yang akan tumbuh apabila dilakukan berulang kali, dilatih, dan bahkan dipaksakan.

Atau, mengapa ketika kita senang berbicara, berulang kali, bahkan apapun dibicarakan, lebih-lebih digosipkan, tapi mengapa selalu tidak apabila menulis? Ini pula yang seringkali menjadi problem lain bangsa kita, lebih senang berbicara, termasuk bukan pada tempatnya, seperti haters, mem-bully, mencaci-maki, tapi sangat jarang menulis gagasan yang membangun.

Jadi, tidak sulit rasanya jika berniat S2 dan siap untuk selalu menulis.

Alasan kedua, siap ketika ada yang meragukan

Persoalan keyakinan memang selalu pelik untuk dipikirkan, terlebih bagaimana jika orang lain tidak meyakini kita. Tentulah tugas kita adalah meyakinkannya, dan membuktikan kesungguhan kita.

Ketika kita diragukan, tampaknya bukan persoalan hanya kala berniat melanjutkan S2 saja, dalam kehidupan lainnya, persoalan ini selalu datang dan mungkin pernah mengampiri siapapun.

Sah-sah saja jika demikian, itu tandanya kita memiliki peluang bagus untuk membuktikan keraguan yang orang lain sematkan.

Mengapa kita harus siap melawan orang-orang yang meragukan? Hal ini karena menjadi mahasiswa berarti menjadi seorang maha-nya pelajar, menjadi siswa level paling tinggi, dan menjadi pelajar yang sudah belajar selama belasan tahun lamanya. Bukan waktu sebentar, apalagi minim pengalaman, tapi banyak pengalaman. 

Jadi, apa yang menyebabkan ada orang-orang meragukan kita? Bukannya kita telah melewati banyak waktu, halang-rintang menjadi seorang pelajar, yang dengan itu harusnya kita kuat, dan mampu melawan keraguan?

Problem yang sering muncul biasanya lahir dari faktor internal, dan faktor eksternal. Faktor internal bisanya berkaitan dengan kemampuan yang kita miliki sendiri, entah itu tidak sepintar yang lain, tidak sehebat yang lain, tidak se-kreatif yang lain, tidak sebagus yang lain, hingga tidak-tidak lainnya. Tapi coba kita bayangkan, apakah kita seburuk itu? Tentunya tidak demikian bukan?!

Sebenarnya tugas kita adalah terus dan terus menggali potensi yang kita miliki, keraguan karena faktor ini disebabkan oleh kemalasan kita sendiri menggali dan menemukan potensi tersembunyi. Lebih-lebih hanya terbawa arus saja, orang lain suka ini, saya pun harus seperti dia, jika demikian apa bedanya dengan dedaunan kering yang terbawa arus sungai, terombang-ambing, tidak berdaya.

Apakah tidak tertarik menjadi seorang ikan yang mampu melawan arus air? Saya yakin pasti semua orang tertarik.

Belum terlambat bagi kita untuk menemukan potensi diri sebelum melanjutkan S2 ini, banyak hal dan faktor yang bisa kita pertimbangkan, termasuk jurusan, dan kecintaan pada apa yang bisa kita korbankan dan siap perjuangkan.

Faktor eksternal, yakni faktor-faktor dari luar dan lingkungan yang ada. Selain tentu berkaitan dengan siapa yang meragukan kita, dimensi lainnya seperti diragukan karena kualitas kampusnya tidak bagus, jurusannya yang tidak akreditasi A, alumninya yang biasa saja, hingga gengsinya rendah. Hal-hal tersebut seringkali terjadi oleh orang-orang yang mungkin saja ada di sekeliling kita.

Tapi, bagaimana jika keraguan yang dialamatkan kepada kita tersebut dibuktikan dengan karya kita dan prestasi kita yang membanggakan?

Yang pasti semua orang ingin memperoleh pendidikan dengan kualitas bagus, kompetitif, dan bergengsi. Menjadi mahasiswa kampus terkenal dengan reputasi tinggi tentu menjadi dambaan anak negeri, tetapi jika hal tersebut tidak terjadi, lantas apakah belajar di kampus lain terbukti tidak melahirkan kesuksesan? Tentulah hal ini tidak!

Jadi, alasan kedua ini selain memerlukan waktu, juga memerlukan kesabaran bagaimana seharusnya kita memanaj orang-orang yang meragukan kualitas kita, kualitas kampus yang kita tuju, dan kualitas lain yang selalu menjadi alasan. Menikmati proses yang akan kita kerjakan selama S2 dengan kesungguhan akan berdampak luar biasa bagi perjuangan di hari esok.

Alasan ketiga, tentukan sikap politik

Kehidupan kita di negeri ini mau tidak mau akan tetap berhubungan dengan dunia politik, bahkan hari ini kala kebebasan berpendapat dilindungi dan diberikan seluas-luasnya, itu juga merupakan proses politik.

Memutuskan diri untuk tetap netral-netralan tidak elok bagi seorang mahasiswa, terlebih tugasnya yang selalu menjadi bahasan diskusi, yaitu: "agen perubahan". Siapa yang tidak bangga menjadi agen perubahan tentunya, tapi pada prakteknya apakah tugas mahasiswa kini sudah demikian?

Pada dasarnya menentukan pilihan politik berupaya mengembalikan marwah mahasiswa sebagai bagian dari agen perubahan. Dan harusnya hal ini tidak dilupakan begitu saja demi alasan memperoleh pekerjaan, bergaji tinggi melalui kuliah, tapi apakah kita lupa tugas yang disematkan kepada kita sebagai mahasiswa? Sungguh berat bukan?

Menentukan sikap politik juga bermanfaat bagi terpupuknya jiwa kepedulian sebagai makhluk sosial, utamanya sebagai warga negara yang peka dengan permasalahan bangsa ini. Karena bagaimana pun suara kita adalah berharga dan menentukan perubahan masa depan.

Yang terpenting juga adalah tetap menjaga idealisme pada tujuan positif, menentukan sikap politik tidaklah elok jika hanya untuk kepentingan atau dukungan pada satu kelompok (misalnya parpol), dan melupakan kebijaksanaan atau sikap keadilan.

Menentukan pilihan politik juga bukan hanya suatu modal ketika kita diberikan kesempatan berpolitik praktis kelak, jauh dari itu, melalui politik kita peduli akan bangsa ini. 

Tidak melewatkan satu isu yang berkembang, selalu memiliki pandangan tentang problem tertentu, dan menggunakan perspektif keilmuan kita dalam menganalisa suatu permasalahan adalah suatu kewajiban bagi kita semua, utamanya yang memiliki latar pendidikan.

Jadi, sebagai mahasiswa jenjang S2 harusnya sudah memiliki jiwa berpolitik yang positif, menularkannya lewat organisasi, gerakan-gerakan sosial, menjadi volunteer acara peduli sosial, hingga menjadi aktivis peduli hak-hak minoritas merupakan cara terbaik menjadi. Dan yang terpenting, melupakan sikap anti-politik yang terjadi dulu dan berusaha tidak memikirkan politik  adalah cara yang tidak elegan bagi sang agen perubahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun