Mohon tunggu...
Paelani Setia
Paelani Setia Mohon Tunggu... Guru - Sosiologi

Suka Kajian Sosial dan Agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Media Sosial dan Politik Indonesia: Kantong Algoritma dan Narasi Kebencian

6 Juli 2020   11:13 Diperbarui: 6 Juli 2020   18:37 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: news.unair.ac.id

Dalam konteks ini, praktik pelabelan juga berfungsi untuk menggambarkan musuh (atau orang luar) dalam hal perbedaan, penyimpangan, dan ancaman. Misalnya, "kafir" adalah salah satu istilah yang paling sering digunakan oleh para pencela Ahok untuk melabeli pendukungnya. 

Demikian pula, orang-orang yang dianggap Cina-Indonesia diberi label "orang kafir Cina" (Cina kafir), sebuah istilah yang juga biasa digunakan untuk menggambarkan Ahok. 

Pelecehan lain yang digunakan oleh penentang Ahok adalah amoral (maksiat), haram (haram), pembohong, penipu, bodoh, dan berudu. 

Pendukung Ahok juga tidak kekurangan label untuk lawan mereka.  Mereka menuduh mereka sebagai anti-nasionalistis menggunakan istilah-istilah seperti anti-Pancasila, anti-keanekaragaman (anti ke-Bhinneka-an), dan pengkhianat (tukang makar).  Mereka juga menggambarkan mereka sebagai radikal, Wahabi yang menyimpang, murtad (takfiri), "preman berjubah" (preman berjubah), teroris, dan pendukung ISIS. 

Termasuk penghinaan lain yang digunakan untuk menentang para penentang Ahok adalah "suku idiot" (bani koplak), "orang onta", "orang bumi datar", "orang pemarah", dan "gerombolan yang marah".

Contoh-contoh ini menunjukkan bagaimana kedua kubu pro dan kontra menunjukkan efek homogenitas out-group di mana masing-masing cenderung memandang lawan-lawan mereka sebagai buruk secara homogen (mereka semua sama), dan orang-orang dalam kelompok sebagai heterogen.

Pembalikan posisi korban-pelaku, selalu berujung klaim "kita bukan rasis, mereka adalah rasis yang sebenarnya," juga sering ditemukan, bersama dengan pengkambinghitaman dan pembangunan teori konspirasi. 

Walhasil, dengan dinamika tersebut, pemanfaatan media sosial sebagai alat politik dalam kampanye pemilihan semakin memperdalam perpecahan di antara kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat dan memperkuat kebencian dan intoleransi satu sama lain. 

Jika hal ini terus menerus terjadi, penggunaan media sosial dalam politik akan gelap dan suram, tetapi hal tersebut bisa memunculkan percikan harapan dalam jaringan aktivis yang tumbuh meski kecil yang mengikat individu yang sebelumnya terputus yang berfokus pada masalah keadilan, kesetaraan, dan pluralisme di luar identitas politik.

Jika jaringan ini terus berkembang dan berkembang, baik online maupun offline, mereka mungkin memberi kita harapan untuk Indonesia yang lebih adil, inklusif, dan majemuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun