Mohon tunggu...
Paelani Setia
Paelani Setia Mohon Tunggu... Guru - Sosiologi

Suka Kajian Sosial dan Agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Media Sosial dan Politik Indonesia: Kantong Algoritma dan Narasi Kebencian

6 Juli 2020   11:13 Diperbarui: 6 Juli 2020   18:37 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: news.unair.ac.id

Selanjutnya, sudah barang tentu jika kantong-kantong algoritma berupa kelompok-kelompok di media sosial dengan politik identitas tersebut juga berdampak pada menguatnya tribalisme.

Lantas, mengapa tribalisme semakin subur?

Pelabelan dan Narasi Kebencian 

Kantong algoritmik yang muncul akan menghasilkan berbagai bentuk nasionalisme kesukuan, yang, menurut Hannah Arendt, dalam bukunya The Origins of Totalitarianism (1973), bersifat ekspansionis dan inheren (melekat) terkait dengan imperialisme modern.

Walaupun itu bukan bentuk tatanan politik yang ideal, Arendt menegaskan bahwa negara, sampai taraf tertentu, akan membatasi potensi ekspansifitas (perluasan) nasionalisme.

Misalnya, kembali dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, nasionalisme menjadi suku dan berpusat pada identitas yang sama dan politik mengikat orang dalam kesatuan transendental.

Akibatnya terjadi narasi kebencian dan klaim mereka musuh dan mereka kawan. Narasi kebencian ini disebabkan oleh adanya polarisasi besar di media sosial antar dua kubu yang berseteru yang mengatasnamakan perjuangan keadilan.

Kembali pada kasus Pilkada DKI Jakarta 2017, polarisasi antara kedua kubu sangat menonjol sehingga mengaburkan kelompok lain. Misalnya, beberapa pengguna media sosial mengkritik Ahok karena anti-miskin, proelite, dan jauh dari prinsip keadilan, bukan karena ras atau etnisnya

Percakapan media sosial tentang Pilkada yang sudah terpolarisasi menjadi semakin terfragmentasi dalam setelah kasus penistaan agama.

Sementara situs media sosial memungkinkan pengguna untuk menggunakan kebebasan berbicara, ini juga mendorong orang untuk menggunakan kebebasan untuk membenci. Individu sering menggunakan ungkapan "kebebasan berbicara" untuk mempertahankan hak mereka sendiri untuk menyuarakan pendapat, mereka secara aktif berusaha untuk membungkam orang lain.

Ketika politisi dan partai politik Indonesia semakin banyak menjual merek politik mereka, bahkan kepribadian lebih penting daripada kebijakan.  Politik yang didorong oleh kepribadian telah mendorong praktik pelabelan di antara pengguna media sosial. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun