Mohon tunggu...
Paelani Setia
Paelani Setia Mohon Tunggu... Guru - Sosiologi

Suka Kajian Sosial dan Agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Media Sosial dan Politik Indonesia: Kantong Algoritma dan Narasi Kebencian

6 Juli 2020   11:13 Diperbarui: 6 Juli 2020   18:37 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: news.unair.ac.id

Hal tersebut berlaku juga di Twitter, Instagram, dan situs media sosial lainnya diperkuat oleh pertukaran pribadi pada pesan instan, yakni WhatsApp. Bahkan, percakapan ini semakin subur di WhatsApp melalui percakapan yang dirahasiakan.

Meminjam istilah W. Lance Bennett, dan Shanto Iyengar, dalam tulisannya yang berjudul The Shifting Foundations of Political Communication: Responding to a Defense of the Media Effects Paradigm (2010), dinamika tersebut disebut akan melanggengkan pembentukan "kantong algoritmik", yang dibentuk setiap sekelompok individu, yang difasilitasi oleh interaksi konstan (tidak berubah haluan) mereka, yang berupaya menciptakan identitas bersama (yang dirasakan) secara online untuk mempertahankan kepercayaan mereka dan melindungi sumber daya mereka baik ancaman nyata maupun yang dipersepsikan sendiri.

Wilayah kantong ini adalah sejenis "komunitas yang diinginkan dan direncanakan" yang dibangun secara teknologi-sosial. Lahir dari kelompok sosial dunia nyata, dan dikembangkan melalui teknologi berupa media sosial. Sesama pengguna saling membentuk satu sama lain dalam menyortir, mengklasifikasikan, hingga hierarki orang, informasi, dan preferensi politik. Lingkungan yang dipartisi dari kantong algoritmik bersifat dinamis, bukan statis; cluster bergeser dalam ukuran dan keanggotaan seiring waktu.

Di dalam kantong-kantong ini, musyawarah online skala kecil terjadi, memajukan konsensus di antara anggota dan memperkuat sentimen, keyakinan, dan pendapat yang sudah ada sebelumnya yang mereka bagikan.  Bukan informasi semata yang memfasilitasi proses amplifikasi (pengembangan) tetapi berbagi dan diskusi informasi, apakah secara negatif atau positif, yang berkorelasi dengan pendapat mereka yang sudah ada sebelumnya.

Lalu, apa contoh suatu kantong algoritma politik yang dimaksud?

Misalnya, dalam kasus Pilkada DKI Jakarta 2017, yang dipicu oleh adanya penistaan agama oleh Ahok dan aksi besar-besaran di Monas, Jakarta. Ini memunculkan kantong-kantong algoritmik berdasarkan identitas kolektif seperti "Islami" dan "liberal" yang meminta hak-hak mereka dan mengklaim ke-nasionalisme-an versi mereka, seperti Cina-Kristen, hijabi, dan pribumi, yang meningkat, memecah ruang sosial menjadi kantong-kantong yang berbasis politik identitas. 

Artinya, kantong-kantong ini didasarkan pada identitas bersama yang dipersepsikan, dan sebagian besar disatukan oleh ancaman yang disebabkan oleh orang lain.

Misalnya, kritikus Ahok yang mengidentifikasi diri sebagai pribumi yang mengaku penduduk asli Indonesia, tetapi mereka tidak setuju bahwa suatu kategori yakni orang Cina dan non-Muslim (biasanya orang Kristen). Ini adalah bukti nasionalisme kesukuan.

Sementara itu, orang Kristen Tionghoa menggunakan Ahok sebagai simbol ketidakadilan yang dilakukan terhadap minoritas sejak berdirinya Republik Indonesia sambil menyalurkan semangat nasionalisme suku-agama mereka sendiri.

Demikian pula, wacana dalam jenis kantong lainnya yang menganut bentuk keadilan eksklusif di mana ketidakadilan dilakukan terhadap yang terpinggirkan---seperti orang miskin, Papua, Ahmadiyah, Syiah, Gafatars, atau korban lain dari adanya penistaan yang sebagian besar diabaikan.

Bahkan, masing-masing mengklaim dengan menggunakan frasa "NKRI harga mati" (Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah final), yakni mantra yang sering ditimbulkan oleh rezim Orde Baru untuk menekan ideologi yang berlawanan, untuk menunjukkan nasionalismenya sambil menuduh orang lain membahayakan integritas negara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun