Ledakan penggunaan media sosial di Indonesia telah secara dramatis mengubah bagaimana informasi dibuat, disebarluaskan, dan didistribusikan. Dalam politik elektoral, media sosial dapat dengan mudah digunakan untuk menyebarkan informasi untuk menjangkau dan mempengaruhi pemilih.
Di media sosial, para elit politik dengan sepenuh hati merangkul teknik branding komersial melalui jaringan relawan, buzzers, dan selebritas mikro, yang memenuhi ruang publik dengan pesan-pesan emosional yang dirancang untuk menumbuhkan kepercayaan terhadap merek politik mereka.Â
Misalnya terjadi dalam kampanye gubernur Jakarta 2017 dengan mencontohkan praktik politik pasca-kebenaran (post-truth) dalam memasarkan merek politik.
Sementara memfasilitasi kebebasan berekspresi, media sosial juga mendorong pengguna untuk mempraktikkan kebebasan mereka untuk membenci, di mana individu menggunakan hak mereka untuk menyuarakan pendapat mereka sambil secara aktif membungkam orang lain, dan menyediakan lahan subur untuk berkembangnya narasi sektarian dan rasis.Â
Selanjutnya, perkumpulan antar pengguna di media sosial menghasilkan pembentukan kantong algoritmik yang, pada gilirannya, menghasilkan berbagai bentuk nasionalisme kesukuan (tribalisme). Dalam beberapa kantong online ini, pengguna media sosial mengklaim dan melegitimasi nasionalisme versi mereka sendiri dengan mengecualikan kesetaraan dan keadilan bagi orang lain.
Jika demikian, lantas apa yang dimaksud kantong algoritma politik seperti yang sudah disinggung diawal?
Pengguna di media sosial terhadap informasi didorong oleh algoritma (yang di definisikan sebuah prosedur sistematis penyelesaian masalah dalam ruang terbatas) yang menyajikan informasi berdasarkan minat pribadi; ini membuat orang hanya menemukan informasi yang sesuai dengan sudut pandang mereka bersama sesama pengguna yang sama.
Potensi personalisasi online terhadap paparan informasi secara efektif mengisolasi pengguna media sosial dari beragam sudut pandang atau konten disebut gelembung filter. Akibatnya, kemunculan fenomena preferensi politik post-truth tidak terelakkan lagi. Namun sayangnya, mengambil contoh; di Facebook, orang Indonesia tidak hanya terpapar pada informasi berdasarkan preferensi politik mereka sendiri tetapi juga preferensi kontak mereka.
Pengguna Facebook Indonesia biasanya memiliki jaringan kontak yang sangat besar dan beragam (seringkali di atas 1.000 teman), yang selalu melontarkan suatu bahasan pada berbagai diskusi politik. Namun, bagi para pengguna Facebook yang anti terhadap suatu kelompok atau pro terhadap suatu kelompok, informasi dan diskusi yang tidak menyenangkan hanya menegaskan sudut pandang mereka sendiri dan mengintensifkan hubungan antagonis yang mereka kembangkan dengan yang mereka anggap lawan-lawan mereka.Â
Dalam beberapa kasus, pengguna mempertahankan "pertemanan" Facebook untuk tujuan melacak materi yang mengkonfirmasi persepsi mereka satu sama lain (atau mengidentifikasi pengguna yang berpemahaman sama). Ada juga yang memilih untuk "berhenti mengikuti", atau "menghentikan pertemanan", untuk membersihkan beranda mereka tanpa harus kehilangan kesempatan untuk mengakses informasi yang tidak menyenangkan yang diposting di beranda lawan mereka.