Deddy Mizwar, Dede Yusuf, Pasha 'Ungu' atau Sigit Purnomo Syamsuddin Said, Anang Hermansyah, hingga Hengki Kurniawan merupakan beberapa nama yang tergolong artis yang kini atau pernah menduduki posisi sebagai pejabat publik. Atau menyandang status sebagai "politisi artis". Sebelum menjadi pejabat publik, siapa yang tidak kenal terhadap nama-nama beken tersebut. Mereka tergolong sebagai artis papan atas Indonesia yang popularitasnya tidak di ragukan lagi.
Dalam dunia politik, popularitas juga menjadi dambaan tersendiri. Alasannya tentu dengan popularitas bisa mengantarkan seseorang pada kekuasaan politik atau elektoral. Hal ini terjadi dalam partai politik karena memanfaatkan popularitas dianggap mampu mendulang suara dalam pemilu. Implikasinya banyak parpol di Indonesia yang menggaet artis untuk maju dalam gelaran pemilu.
Sebelumnya, Partai Amanat Nasional (PAN) dianggap sebagai partai yang terkenal sebagai 'partai artis'. Bukan tanpa alasan, terdapat nama-nama beken sebagai ikon partai semisal Eko Patrio, Desy Ratnasari, hingga Primus Yustisio yang berhasil melenggang ke Senayan. Bahkan, kini tampaknya hampir seluruh partai politik memiliki kader yang berlatarbelakang artis.
Pada pemilu 2019 lalu, partai pimpinan Surya Paloh atau Nasional Demokrat (NasDem) mempunyai 37 artis yang dicalonkan pada pemilu legislatif. Disusul PDIP dengan 16 orang, PAN 9 orang, Partai Perindo 7 orang, Partai Gerindra 6 orang, PKB 6 orang, Partai Berkarya 4 orang, Partai Demokrat 4 orang, dan Partai Golkar 3 orang. Terbaru, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) juga kerap disebut partai ala selebritis dengan gayanya yang milenial termasuk di dalamnya terdapat nama penyanyi Giring 'Nidji' sebagai mantan caleg partai tersebut.
Namun demikian, selain popularitas, hal lain yang ditunggu publik adalah sejauh mana peran mereka sebagai penyambung lidah rakyat. Bagaimana pun popularitas bukan segalanya, jauh dari itu ada pengalaman dan kemampuan yang mumpuni agar kiprah mereka bisa merepresentasikan suara rakyat.
Sementara, saat ini partai politik sebagai wadah calon-calon pemimpin juga dinilai instan dalam memilih wakil-wakilnya, termasuk para artis. Ketimbang memilih kadernya yang sudah jelas teruji, parpol justru banyak memilih artis-artis dengan modal popularitas. Lantas, apakah hal tersebut merupakan keinginan yang bersangkutan atau hanya kepentingan parpol semata sebagai 'jualan' suara? Kalau pun berhasil, sejauh mana peran mereka dalam kancah perpolitikan nasional?
Syahwat Pribadi Atau Parpol?
Artis dengan segala kepopulerannya tentu sangat menguntungkan jika dimanfaatkan dalam arena politik. Bahkan, seperti sudah disebutkan sebelumnya, hampir seluruh partai politik di Indonesia memboyong artis sebagai calon anggota legislatif hingga calon kepala daerah. Kepopuleran artis yang sudah terbangun menguntungkan partai untuk agenda promosi agar tidak perlu keluar banyak uang. Terlebih jika terjadi kekosongan kader partai yang mumpuni, menggaet artis bisa menjadi langkah mudah untuk mendulang suara rakyat.
Tentunya sah-sah saja jika artis yang terjun ke dunia politik ini memiliki kapabilitas dan kualitas yang baik melalui pengalaman di dunia politik atau pemerintahan. Namun, jika melihat artis di Indonesia justru banyak yang secara tiba-tiba terjun ke dunia politik tanpa berbekal pengalaman, bahkan jauh dari proses kaderisasi atau perekrutan partai politik.
Darrell M. West dan John Orman dalam bukunya Celebrity Politics menjelaskan fenomena ini sebagai ajang "pemenuhan kepopuleran" artis akibat perkembangan media dan demokrasi. Melalui media para artis akan semakin mendulang popularitas untuk citra dirinya, khususnya televisi yang banyak ditonton banyak orang. Sementara melalui demokrasi, para artis merasa menjadi figuran yang benar-benar dipilih masyarakat untuk menyempurnakan ketenarannya.
Dengan demikian, timbul pertanyaan baru, dimana para kader partai berada? Apakah terdapat masalah dalam kaderisasi sehingga partai politik lebih memilih artis sebagai 'politisi karbitan' ketimbang kadernya sendiri? Bukankah kemunculan artis bisa jadi pertanda bahwa kaderisasi partai mengalami kemandekan karena tidak bisa memunculkan nama-nama kader baru yang mampu mendulang suara. Atau pun jika partai politik memiliki kader yang mumpuni tetapi kemudian lebih memilih artis, apakah hal tersebut merupakan kehendak pelakunya atau hanya syahwat politik partai politik belaka demi mendulang suara sebanyak-banyaknya?
Maraknya korupsi oleh pejabat partai politik ditambah berbagai kontroversi di tubuh partai politik itu sendiri menyebabkan lembaga ini mempunyai marwah rendah di ranah publik. Oleh karena itu, menggandeng artis merupakan salah satu upaya perbaikan citra partai yang murah dan efektif. Meski demikian, keikutsertaan artis dalam pemilu juga dipandang hanya penghias dan penghibur semata, atau dijadikan tameng agar suara rakyat tidak berpindah.
Akibatnya, kita bisa melihat bahwa percaturan politik semakin cair bahkan menghibur, tidak terkesan berat atau menyeramkan. Akan tetapi jangan melupakan sisi lainnya, yakni politik juga dianggap asal-asalan, hanya mengandalkan popularitas atau tampang semata. Jauh dari itu, ada masa depan rakyat selama lima tahun, apalagi mereka digaji oleh uang rakyat. Sungguh ironi bukan.
Pertanyaan selanjutnya yang patut digali adalah bagaimana kapabilitas mereka sebagai pemangku kebijakan dalam merumuskan Undang-Undang atau memimpin rakyat periode lima tahunan? Apakah dengan bermodalkan popularitas bisa sukses menoreh tinta emas di mata rakyat?
Paradoks Politisi Artis
Kathryn Gregg Larkin dari University of California, Los Angeles (UCLA) dalam tulisannya yang berjudul Star Power: Models for Celebrity Political Activism membagi model aktivitas politisi artis menjadi tiga model. Entertainer, orator, dan advokat. Model entertainer ditunjukkan masih dominannya politisi dalam aktivitas keselebiritiannya. Bahkan, cenderung lebih aktif sebagai artis ketimbang peran barunya sebagai politisi.
Selain itu, seorang orator tentu identik dengan pembicara handal dengan reputasi pidato dan penyampaian opini di muka publik. Politisi jenis ini sering menjadi dambaan publik oleh karena kemampuan bicaranya. Sementara, seorang advokat berkaitan dengan aktivitas pembelaan atau bantuan hukum. Namun Larkin menggarisbawahi model ini dengan seorang politisi yang berkemampuan dominan dalam komunikasi persuasif ketika pengambilan kebijakan.
Jika berkaca pada tulisan Larkin tersebut, bukan tidak mungkin banyak politisi artis yang hanya bermodel entertainer atau masih fokus pada penjiwaan keartisannya, bukan pada tugas barunya sebagai pejabat publik. Alih-alih sebagai wakil rakyat sesungguhnya, yang ada malah hanya memperjuangkan kepuasan diri demi bertambahnya popularitas seperti mengacu pada apa yang ditulis West dan Orman diatas.
Sebagai pembanding, dalam polemik UU Permusikan yang menyeret nama politisi fraksi PAN, Anang Hermansyah beberapa waktu lalu yang sempat menghebohkan publik menuai kontroversi. Belum lagi statementnya di awal yang mengatakan bahwa ia akan belajar dulu sebagai anggota DPR. Sontak hal itu membuat dirinya "dibully" warganet karena dianggap tidak tahu fungsi dan tugas anggota dewan tersebut. Oleh karena itu, hal tersebut telah menggambarkan politisi artis yang tidak paham betul bagaimana persoalan publik. Akibatnya, banyak pihak menyayangkan hal tersebut. Mau memperjuangkan hak publik bagaimana jika tugas dan wewenangnya saja tidak tahu. Dengan demikian, kapasitas politisi artis tersebut patut untuk dipertanyakan.
Walaupun demikian, tidak semua politisi artis kapasitasnya dipertanyakan. Tetap ada sosok yang dianggap mempunyai kapabilitas pengambil kebijakan publik yang baik. Salah satunya adalah Rieke Diyah Pitaloka yang getol mengawal UU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU lainnya yang dengan itu mengantarkan dirinya terpilih untuk ketiga kalinya sebagai wakil rakyat. Artis yang terkenal kala membintangi sitkom Bajaj Bajuri melalui perannya sebagai Oneng ini dianggap memiliki kemampuan advokasi yang mumpuni. Tipe politisi artis seperti Rieke ini bisa dinobatkan sebagai politisi artis yang bermodel advokat jika menurut pada tulisan Larkin.
Dengan demikian, kondisi inilah yang disebut sebagai paradoks politisi artis. Di satu sisi popularitasnya akan mengantarkan dirinya sebagai pemenang pemilu, di sisi lain bisa saja merugikan pemilih karena abai terhadap kualifikasi mereka sebagai pengambil kebijakan.
Selain itu, jika melihat trennya, terdapat dampak perolehan suara signifikan pada parpol pengusung politisi artis ini. PDIP sebagai pemenang Pemilu 2019 lalu kerapkali disebut-sebut menerima dampak dari strategi ini meskipun di dorong oleh kekuatan popularitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya. Belum lagi Partai NasDem yang menjadi kekuatan baru oleh karena banyaknya caleg artis pada pemilu tersebut sehingga memperoleh suara 9,9% hasil real count KPU.
Oleh karena itu, bukan tidak mungkin jika para artis-artis yang sudah terpilih saat itu hingga kini sudah menghiasi jajaran wakil rakyat. Namun, hingga kini perannya belum terlihat. Memang budaya wakil rakyat kita seringkali demikian, sering muncul sebelum pemilu, lenyap setelah menang pemilu.
Dengan demikian, dalam konteks ini, sikap partai politik yang banyak memanfaatkan artis menunjukkan boleh jadi mereka hanya fokus pada keuntungan suara elektoral dan justru mengesampingkan pola kaderisasi di tubuh partai itu sendiri.
Akhirnya, jika partai politik hanya berpaku pada popularitas semata dan kondisi ini dibiarkan terus berlangsung tentu akan berbahaya di masa depan. Bagaimana pun kaderisasi, regenerasi, serta kualifikasi kader yang mumpuni harus diperbaiki ke depannya demi politik yang menyelamatkan rakyat. Walaupun demikian, jika para politisi artis membekali diri dengan kompetensi, bukan tidak mungkin akan mampu menjalankan tugasnya dengan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H