Maraknya korupsi oleh pejabat partai politik ditambah berbagai kontroversi di tubuh partai politik itu sendiri menyebabkan lembaga ini mempunyai marwah rendah di ranah publik. Oleh karena itu, menggandeng artis merupakan salah satu upaya perbaikan citra partai yang murah dan efektif. Meski demikian, keikutsertaan artis dalam pemilu juga dipandang hanya penghias dan penghibur semata, atau dijadikan tameng agar suara rakyat tidak berpindah.
Akibatnya, kita bisa melihat bahwa percaturan politik semakin cair bahkan menghibur, tidak terkesan berat atau menyeramkan. Akan tetapi jangan melupakan sisi lainnya, yakni politik juga dianggap asal-asalan, hanya mengandalkan popularitas atau tampang semata. Jauh dari itu, ada masa depan rakyat selama lima tahun, apalagi mereka digaji oleh uang rakyat. Sungguh ironi bukan.
Pertanyaan selanjutnya yang patut digali adalah bagaimana kapabilitas mereka sebagai pemangku kebijakan dalam merumuskan Undang-Undang atau memimpin rakyat periode lima tahunan? Apakah dengan bermodalkan popularitas bisa sukses menoreh tinta emas di mata rakyat?
Paradoks Politisi Artis
Kathryn Gregg Larkin dari University of California, Los Angeles (UCLA) dalam tulisannya yang berjudul Star Power: Models for Celebrity Political Activism membagi model aktivitas politisi artis menjadi tiga model. Entertainer, orator, dan advokat. Model entertainer ditunjukkan masih dominannya politisi dalam aktivitas keselebiritiannya. Bahkan, cenderung lebih aktif sebagai artis ketimbang peran barunya sebagai politisi.
Selain itu, seorang orator tentu identik dengan pembicara handal dengan reputasi pidato dan penyampaian opini di muka publik. Politisi jenis ini sering menjadi dambaan publik oleh karena kemampuan bicaranya. Sementara, seorang advokat berkaitan dengan aktivitas pembelaan atau bantuan hukum. Namun Larkin menggarisbawahi model ini dengan seorang politisi yang berkemampuan dominan dalam komunikasi persuasif ketika pengambilan kebijakan.
Jika berkaca pada tulisan Larkin tersebut, bukan tidak mungkin banyak politisi artis yang hanya bermodel entertainer atau masih fokus pada penjiwaan keartisannya, bukan pada tugas barunya sebagai pejabat publik. Alih-alih sebagai wakil rakyat sesungguhnya, yang ada malah hanya memperjuangkan kepuasan diri demi bertambahnya popularitas seperti mengacu pada apa yang ditulis West dan Orman diatas.
Sebagai pembanding, dalam polemik UU Permusikan yang menyeret nama politisi fraksi PAN, Anang Hermansyah beberapa waktu lalu yang sempat menghebohkan publik menuai kontroversi. Belum lagi statementnya di awal yang mengatakan bahwa ia akan belajar dulu sebagai anggota DPR. Sontak hal itu membuat dirinya "dibully" warganet karena dianggap tidak tahu fungsi dan tugas anggota dewan tersebut. Oleh karena itu, hal tersebut telah menggambarkan politisi artis yang tidak paham betul bagaimana persoalan publik. Akibatnya, banyak pihak menyayangkan hal tersebut. Mau memperjuangkan hak publik bagaimana jika tugas dan wewenangnya saja tidak tahu. Dengan demikian, kapasitas politisi artis tersebut patut untuk dipertanyakan.
Walaupun demikian, tidak semua politisi artis kapasitasnya dipertanyakan. Tetap ada sosok yang dianggap mempunyai kapabilitas pengambil kebijakan publik yang baik. Salah satunya adalah Rieke Diyah Pitaloka yang getol mengawal UU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU lainnya yang dengan itu mengantarkan dirinya terpilih untuk ketiga kalinya sebagai wakil rakyat. Artis yang terkenal kala membintangi sitkom Bajaj Bajuri melalui perannya sebagai Oneng ini dianggap memiliki kemampuan advokasi yang mumpuni. Tipe politisi artis seperti Rieke ini bisa dinobatkan sebagai politisi artis yang bermodel advokat jika menurut pada tulisan Larkin.
Dengan demikian, kondisi inilah yang disebut sebagai paradoks politisi artis. Di satu sisi popularitasnya akan mengantarkan dirinya sebagai pemenang pemilu, di sisi lain bisa saja merugikan pemilih karena abai terhadap kualifikasi mereka sebagai pengambil kebijakan.
Selain itu, jika melihat trennya, terdapat dampak perolehan suara signifikan pada parpol pengusung politisi artis ini. PDIP sebagai pemenang Pemilu 2019 lalu kerapkali disebut-sebut menerima dampak dari strategi ini meskipun di dorong oleh kekuatan popularitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya. Belum lagi Partai NasDem yang menjadi kekuatan baru oleh karena banyaknya caleg artis pada pemilu tersebut sehingga memperoleh suara 9,9% hasil real count KPU.