Mohon tunggu...
Sesti Nurlatifah
Sesti Nurlatifah Mohon Tunggu... Penulis - Institut Teknologi Sumatera

Andai semua karena Allah, mengapa begitu banyak pertimbangan manusia yang dijadikan penyebab keputusan?

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mimpi Sang Perantau

19 Juli 2024   19:19 Diperbarui: 19 Juli 2024   19:21 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Masih adakah harapan untuk kuliah, tanpa biaya orang tua?"

"Haruskah aku bekerja saja dan sedikit membuang egoku?"

"Melupakan semua tentang harapan-harapan dimasa kecil!"

"Aku ingin pulang!"

****

Seperti biasa usai mengantarkan pesanan olshop aku pergi untuk bimbel. Setiap hari menyelusuri jalan menuju tempat pemberhentian Damri, ditemani terik matahari yang menyengat tubuh berbalut kain merah maroon dan jilbab yang menjulur panjang berwarna navy sedikit terlihat anggun dan tetap semangat di tengah hirup pikuk perjalanan yang cukup melelahkan. 

Perjalanan Damri antara Caheum-Sarijadi menghabiskan waktu sampai 1jam. Belum jika ditambah macetnya jalanan kota diperbatasan Gasibu atau Gedung Sate atau bahkan di Pasteur jika menjelang sore. Tapi siang itu hanya ada aku, seorang ibu dan supir bus, penumpang cukup sepi sekali siang ini. Sesekali ku tengok jendela kaca dengan beragam pemandangan yang membius mata, hingga aku terbawa suasana teringat ibu dikampung halaman. Cianjur saat ini hanyalah kota tempat merindu sang perantau. Tapi perjalan kali ini sedikit terobati, entah mengapa ada daya tarik tersendiri hari ini. Percakapan antara kami berlangsung di dalam bus, membahas topik tentang perbedaan masakini dan masalalu yang jauh jauh berbeda. Sekarang banyak orang berilmu tetapi menyalahgunakan ilmunya, banyak ilmu tanpa diamalkan. 

"Teknologi semakin canggih, tapi adab seorang anak terhadap kedua orang tuanya semakin rusak". Sahut supir itu. 

"Dulu seorang anak menangis meminta makan kepada ibunya, tetapi sekarang kebanyakan ibu mengemis meminta makan kepada anaknya". Sambung ibu itu sambil memandang wajahku, akupun tersenyum sambil menganggukkan kepala tanda merespon pembicaraannya.

Sejenak teringat dengan kata-kata bapak "Akan tiba masanya ketika ibu menjadi ratu maka anak menjadi Tuan Putri, tetapi ketika anak menjadi ratu maka ibu dijadikan babu" Miris sekali kedengerannya, tapi memang begitulah faktanya. Tidak sedikit seorang nenek yang seharusnya istirah dan fokus ibadah dimasa tuanya, tetapi malah menghabiskan waktu hanya untuk mengasuh cucu karena ibunya harus pergi bekerja. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun