Mohon tunggu...
Ndiken Sergi
Ndiken Sergi Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Almasuh - Papua

Tulis dan Tulis

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Oligarki Politik dan Pilkada Kabupaten Merauke 2020

5 Juli 2020   14:03 Diperbarui: 5 Juli 2020   14:05 519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: asasi.elsam.or.id

"Bentang politik kita-lah yang berpotensi merusak bentang alam dan bentang lingkungan hidup kita". Kalimat yang diucapkan oleh salah seorang aktivis JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) bernama, Merah Johansya Ismail. Dalam sebuah presentasi terkait kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan batu-bara di Pulau Kalimantan.

Bukan saja terjadi degradasi lingkungan, tetapi aktivitas dari industri ekstraktif tersebut telah memakan korban jiwa. Sekitar 32 anak-anak mati tenggelam di dalam lubang bekas eksploitasi tambang di Kalimantan Timur. Ironis-nya lagi, perusahaan-perusahaan tambang tersebut tidak melakukan reklamasi setelah kegiatan eksploitasi telah selesai.

Bekas-bekas galian tambang batu-bara tersebut dibiarkan terbuka hingga pada akhirnya menelan korban jiwa. Kisah ini kemudian diangkat oleh Dandhy Dwi Laksono dalam sebuah film dokumenter berjudul "Sexy Killers".

Film yang membongkar kebusukan politik transaksional dalam lingkaran oligarki yang ada relevansinya dengan kontestasi Pilpres 2019. Seperti kata seorang ilmuwan politik bernama Jeffrey A. Winters "Indonesia adalah Negara demokrasi, sekaligus Negara oligarki".

Ritual demokrasi (Pemilu) adalah sebuah formalitas dan sandiwara. Seolah-olah rakyat yang menentukan siapa presiden yang diinginkan. Tetapi fakta-nya rakyat hanya memilih dan yang menentukan adalah para oligarki. Hal tersebut tergambar pada saat debat Pilpres ke-2 (dua) tentang visi-misi lingkungan hidup. Kedua kandidat tidak saling membalas argumen, melainkan hanya saling mengiyakan. Seperti sedang berkompromi.

Sebab para kandidat Pilpres 2019, entah 01 atau 02 sama-sama didukung oleh para oligarki yang sama-sama memiliki kepentingan bisnis. Meski terlihat berbeda dalam pilihan politik, tetapi dalam hal bisnis mereka memiliki kepentingan yang sama. Mereka memiliki perusahaan-perusahaan yang ter-korelasi antara satu dengan yang lainnya.

Bagaimana mungkin, orang-orang yang duduk sebagai dewan energi nasional dan menentukan arah kebijakan energi, sekaligus memiliki perusahaan-perusahaan pertambangan batu-bara yang bergerak dari hulu ke hilir (Penambangan - PLTU). Bertugas untuk menyuplai pasokan listrik di Pulau Jawa dan Bali. Dan perusahaan-perusahaan ekstraktif tersebut juga turut andil dalam proses pengrusakan lingkungan pada daerah-daerah di Kalimantan. Pulau Jawa dan Bali yang diterangi listrik sementara lingkungan di Kalimantan rusak parah. Belum lagi jika berbicara mengenai dampak negatif yang diterima oleh masyarakat sekitar akibat dari beroperasi-nya PLTU.

Mungkin itu-lah yang menyebabkan Presiden ke-4 (empat), K.H. Abdurraman Wahid alias Gus Dur hanya menjabat dalam waktu singkat. Karena Gus Dur adalah seorang presiden yang tidak terikat dalam pusaran oligarki atau para oligarki melihat karakter dan kepemimpinan Gus Dur sebagai ancaman buat eksistensi mereka. Sehingga beliau harus dilengserkan dengan cara dan alasan apa-pun.

Supaya mereka (oligarki) bebas menentukan siapa para penguasa yang dapat diajak berunding dalam proses bagi-bagi hasil dari kekuasaan. Seperti bermusyawarah untuk sebuah mufakat. Dalam konteks anda dapat apa, saya dapat apa. Bahasa keren-nya "Koalisi."

Bagi-bagi hasil kekayaan alam, berupa tambang, minyak, gas dan hasil hutan untuk di ekstraksi semaksimal mungkin. Sehingga orang yang kaya akan tetap kaya, dan orang yang miskin akan tetap miskin. Selama para penguasa (Presiden, Gubernur, Bupati/walikota) tersebut masih berkuasa, maka selama itu pula segala jenis kekayaan alam akan di sedot hingga sampai ke akar-akarnya.

Kalau-pun terjadi pergantian kekuasaan, mereka (oligarki) dengan kekuatan uang-nya akan memastikan bahwa sang penguasa baru harus tetap dapat melindungi kepentingan bisnis mereka. Dengan tujuan menjamin keamanan, pelonggaran kebijakan (tender proyek), akses perizinan, bahkan hingga pembiaran pelanggaran hukum.

Yang harus diingat adalah kekayaan alam seperti, minyak bumi, gas alam, dan bahan tambang (batu-bara, nikel, emas ), itu sifatnya tidak dapat diperbaharui. Dengan kata lain sekali pakai langsung habis. Nah, pada saat sumber daya alam yang dimaksud-kan tersebut telah dieskploitasi sampai habis. Masa depan Indonesia ini nantinya mau dibawah kemana ? Mau Jadi seperti Libya dan Suriah sebagai negara gagal atau seperti Cina sebagai Negara industrialisasi?

Mudah-mudahan saja apa yang dikatakan Prabowo Subianto tentang bubar-nya Indonesia pada tahun 2030 tidak terjadi. Akibat dari kerakusan dan keserahkahan segelintir orang yang kaya raya. Dalam melakukan eksploitasi dan ekstraksi sumber daya alam secara maksimal dan masif.

Sebab kalau sampai terjadi konflik sosial imbas dari resesi ekonomi, maka yang jadi korban adalah rakyat jelata. Sedangkan para oligarki tersebut pasti mereka akan lari keluar negeri. Karena kekayaan hasil jarahan mereka disimpan pada bank-bank luar negeri.

Jadi menurut, Jeffrey A. Winters sifat oligarki yang ada di Indonesia berupa, ideologi "bagi-bagi" (musyawarah/mufakat; gotong-royong) dan ini sudah menjadi DNA didalam sistem per-politik-kan Indonesia. Sudah "mendarah daging" dalam sistem per-politik-kan. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan, mengapa kasus korupsi di Indonesia susah untuk diberantas oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

PILKADA KABUPATEN MERAUKE 2020

Kabupaten Merauke yang terdiri dari morfologi dan topografi hamparan tanah datar yang subur, mempunyai luas wilayah 46.792 Km2 jika di konversi ke hektar: 4.679.200 ha. 

"Tak mengherankan jika tahun 1939, hingga era tahun 1960-an penjajah Belanda memilih daerah yang berbatasan dengan Papua New Guinea di sebelah timur, dan laut Arafura serta Australia di sebelah selatan ini sebagai kawasan sentra produksi padi dengan nama Proyek Padi Kumbe." (Johanes Gluba Gebze, AnimHa Dari TImur Nusantara, K-M Ag Book, hal 131).

Artinya dengan alam raya yang subur dan mempunyai prospek strategis untuk investasi agribisnis, maka Kabupaten Merauke tidak terlepas dari pantauan para oligarki yang berada di pusat mau-pun di daerah.

Celah yang dapat dipakai oleh para pemodal untuk melancarkan aksi mereka adalah, melalui pembiayaan dana untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Ruang demokrasi (Pemilu) ini yang sering dimanfaatkan oleh para pemodal dalam berkamuflase.

Menurut riset komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2015, untuk menjadi bupati dan walikota membutuhkan dana antara 20-30 Milyar. Sedangkan rata-rata laporan LHKPN ( Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaraan Negara) para calon kepala daerah berkisar antara 4 - 6 Milyar. Sementara kalau kita lihat, kebutuhan Pilbup berkisar diantara 20-30 Milyar.

Melihat komparasi tersebut, maka kita dapat menyimpulkan bahwa disini-lah peluang terjadinya "politik transaksional". Proses negosiasi antara para calon kandidat dengan para pemodal (oligarki politik lokal/nasional).

Bagi para calon kandidat yang tidak punya modal sebesar itu, mereka akan melakukan politik transaksional untuk mendapatkan suntikan dana segar dari para pemodal. Sebagai bekal mereka untuk mengarungi percaturan politik (Pra Kampanye, Kampanye hingga Pencoblosan).

"Apa yang terjadi dari kolaborasi itu? sudah pasti yang terbangun adalah kokohnya politik kartel. Ciri dari politik kartel adalah, pengusaha, pejabat, dan politisi saling berkawan dan mengamankan kepentingan dan membangun kelompok mapan baru (status-quo) yang kuat. Mereka berasal dari hulu sampai hilir kekuasaan." (Lamadi De Lamato, Papua Di Titik Nol, La-Keda Institue, 2011, hal 117).

Konsekuensinya adalah modal untuk keperluan pilkada tersebut harus dikembalikan pada saat calon bupati itu terpilih menjadi kepala daerah pilihan rakyat. Melalui ritual demokrasi yang disebut Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah). Terlihat demokratis karena dilakukan secara jujur, adil, langsung, umum, bebas dan rahasia. Tetapi masyarakat "akar rumput" tidak mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi dibalik layar Pilkada itu.

Imbas dari kesepakatan terselubung itu, masyarakat jelata yang akan menanggung akibatnya. Konspirasi politik antara calon bupati dengan para pemodal akan berpengaruh pada visi-misi dari calon kandidat. Sekali-pun tidak tercantum didalam visi-misi para kandidat, tetapi para pemodal akan mendapatkan akses yang mudah dari sang penguasa untuk mencaplok proyek-proyek "balas budi" dengan nilai yang fantastis.

Maka tidak heran kalau didalam visi-misi para calon bupati tersebut, akan lebih dominan mengakomodasi kepentingan para pemodal (oligarki politik lokal/nasional). Misalnya modernisasi pembangunan (Taman kota, Tugu, dan Patung), infrastruktur, MIFEE, dll.

Sedangkan persoalan perampasan Hak-hak masyarakat adat oleh perusahaan sawit tidak mendapatkan perhatian dari para calon kandidat. Persoalan marginalisasi Orang Asli Papua Selatan (Malind Anim) disemua bidang kehidupan (sosial, politik, ekonomi, dll). Dikarenakan terjadi migrasi antar pulau secara masif, tidak mendapatkan perhatian dari para calon kandidat. Persoalan sumber daya manusia Orang Asli Papua Selatan (Malind Anim) yang semakin mengkhawatirkan, tidak mendapat perhatian dari para calon kandidat.

Kepentingan rakyat Asli Papua Selatan (Malind Anim) jarang diakomodir kedalam visi-misi para calon kandidat dan persoalan-persoalan tersebut dibiarkan tinggal menahun menjadi penyakit kronis. Para kandidat terperangkap dan tersandera oleh kepentingan dari kaum kapitalis dan oligarki lokal atau nasional. Sehingga kepentingan masyarakat pribumi ikut tergadaikan.

Isu-isu yang berkaitan dengan pengrusakan lingkungan, marginalisasi pribumi, pelanggaran HAM, jarang mendapat perhatian dari para calon Bupati-Wakil Bupati yang di backup oleh para pemodal.

Karena pada dasarnya para Pemodal tidak terlalu mementingkan persoalan seperti itu. Yang menjadi konsentrasi mereka (pemodal) adalah bagaimana uang mereka bisa kembali, bagaimana bisa mempertahankan eksistensi kekuasaan mereka dan bagaimana bisa meningkatkan jumlah kekayaan pribadi mereka.

Sementara masyarakat pribumi sedang berpikir bagaimana untuk bisa makan, bagaimana bisa sekolah-kan anak mereka, dan bagaimana bisa bertahan hidup dari hari ke hari.

Oleh karena itu pada saat Pilkada bulan Desember 2020 nanti, gunakanlah hak pilihmu sebaik mungkin. Lima menit didalam bilik suara akan menentukan masa depan mu selama lima tahun kedepan.

Jangan hanya karena godaan uang Rp. 50.000 kemudian anda menggadaikan nasibmu kepada orang yang salah. Orang yang akan memberikan dan me-nan-da-tangan-ni ijin kepada perusahaan-perusahaan untuk mengeskploitasi sumber daya alam. Orang yang hanya berempati pada kepentingan kaum pemodal, dari pada kepentingan masyarakat pribumi yang semakin mengkhawatirkan.

Sebelum anda menjatuhkan pilihan pada salah satu kontestan, sebaiknya gali informasi sebanyak mungkin tentang para calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Merauke. Bagaimana figur-nya, karakternya, karir-nya, visi-misinya dan lain-lain. Sehingga anda nantinya tidak seperti sedang memilih "Tikus Berbulu Domba". (baca: Tikus Berbulu Domba)

"Bentang politik kita-lah yang berpotensi merusak bentang alam dan bentang lingkungan hidup kita". Merah Johansya Ismail aktivis JATAM (Jaringan Advokasi Tambang).

_ADN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun